Translate

Sabtu, 22 Juni 2013

Multikultural Citizenship Oleh Will Kymlicka

Chapter 1 : Introduction

Saat ini kurang lebih terdapat  184 negara merdeka yang memiliki keragaman 600 bahasa dengan 5000 etnik kelompok. Keanekaragaman ini memiliki berberapa konsekuensi, isu minoritas dan mayoritas semakin meningkat seiring dengan  isu bahasa, otonomi daerah, politik representasi, kurikulum pendidikan, klaim tanah, imigrasi, kebijakan naturalisasi,  bahkan simbol nasional, pilihan lagu kebangsaan, atau, hari linur nasional.Sejak berakhirnya perang dingin, konflik etno-cultural menjadi sumber utama politik kekerasan didunia. Dan menunjukkan adanya. Tulisan ini merupakan perspektif baru dalam melihat permasalahan ini, tulisan ini ingin kembali memperlihatkan  pandangan umum atau landskap- untuk mengidentifikasi konsep utama dan prinsipal, yang memungkinkan untuk diakumulasikan, sehingga dapat mengklarifikasi bangunan blok mendasar dalam pendekatan liberal mengenai hak-hak minoritas.

Tradisi politik barat cinderung sunyi dalam isu ini. sebagian besar komunitas organisasi multi etnis melalui rekaman sejarah telah bersifat multi etnis. Tetapi teori politik barat dioperasikan  dengan model idealis yang mengikuti masyarakat.

Untuk mencapai politik homogenitas yang ideal, pemerintah melalui potongan sejarah memiliki beragam variasi kebijakan untuk golongan minoritas. Beberapa golongan minoritas  secara psikis dihilangkan, dengan permbersihan etnik maupun genosida. Kelompok minoritas dipaksa untuk mengadopsi bahasa, agama, dan adat istiadat mayoritas. Dalam kasus lain, keberadaan minoritas selalu terancam, disegregasikanm  secara psikis dan didiskriminasikan secara ekonomi, dan menjegal hak-hak politik mereka.  Beragam strategi juga dilakukan atas dasar fakta sejarah akan bagaimana melindungi golongan minoritas, dan untuk  mengatur konflik potensial yang muncul antara budaya minoritas dan mayoritas.  Misalnya saja dengan apa yang telah dilakukan oleh Jerman dan Polandia untuk  menjamin etnis minoritas dengan adanya hak-hak politik. 

Setelah perang dunia II, pendekatan baru untuk menjamin hak-hak minoritas benar-benar dibutuhkan. Harapan kaum liberal, hak-hak asasi manusia  dapat mengatasi permasalahan  konflik minoritas. Daripada dilindungi secara langsung, kelompok minoritas dapat dilindungi secara tidak langsung dengan jaminan hak-hak sipil secara mendasar dan hak politik untuk semua individu dari keanggotaan kelompok.  Hak-hak mendasar seperti:  kebebasan berbicara, berasosiasi, . dimana atribut individu.  Keberadaan hak individu  dilindungi, kaum liberal berpendapat”tidak ada hak lain yang lebih dibutuhkan  untuk memberikan keanggotaan dengan etnik yang spesifik atau minoritas nasional.

  Kecinderungan umum dari gerakan pasca perang untuk mempromosikan Hak Asas untuk mengatasi permasalahan minoritas nasional dibawah batasan masalah, tanpa merujuk keanggotaan dalam kelompok etnik. Identitas, mereka harap konsisten dengan hak-hak yang lain. Tapi usaha yang dilakukan sangat privat dan bukan arena agensi public untuk menyerang hukum identitas  atau ketidakmampuan anggota identitas etnis dan cultural. Pemisahan antara negara dan etnisitas menghalangi hukum atau pengakuan pemerintah terhadap kelompok etnis atau fungsi dari criteria etnis dalam distribusi hak-hak, sumber-sumber, dan kewajiban-kewajiban.
       
       Banyak kalangan liberal, khususnya kiri, membuat sebuah pengecualian dengan affirmative action untuk kelompok-kelompok rasial yang diinginkan. Namun hal ini adalah aturan yang menjamin pengecualian. Affirmative action adalah pembelaan berupa tindakan sementara yang dibutuhkan untuk mempercepat terbentuknya masyarakat yang “colour-blind”. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki tahun-tahun silam yang penuh diskriminasi dan mendekatkan kita pada bagian masyarakat yang sejak awal memisahkan negara dan etnisitas. Sehingga UN atau PBB melalui Convension on Racial Discrimination mendukung program affirmative action apabila terjadi diskriminasi untuk sementara waktu dan memperbaiki karakter yang ada. Pemisahan negara dan etnisitas adalah sesuatu yang jauh dari  ideal dan affirmative action adalah sebuah metode yang mencoba untuk mencapai ideal itu sendiri. 

            Beberapa kalangan liberal, khususnya kanan, berpikir affirmative action adalah hal yang counter-productive dalam mempengaruhi masyarakat “colour-blind” dengan kebijakan-kebijakan yang diukur dengan ras “count by race”. Mereka berargumen bahwa affirmative action memperburuk masalah yang ada karena dalam memecahkan masalah orang-orang dibuat “sadar” akan perbedaan kelompok dan menimbulkan rasa benci kepada kelompok yang berbeda.  Perdebatan mengenai affirmative action merupakan kajian populer dalam demokrasi liberal. 

            Namun, setelah post-war, kalangan liberal baik kanan ataupun kiri melanjutkan untuk menolak ide perbedaan “permanen” dalam hak-hak atau status anggota dari kelompok tertentu. Secara khusus mereka menolak klaim bahwa hak khusus spesifik kelompok perlu diakomodasi untuk membawa perbedaan cultural, lebih dari untuk memperbaiki sejarah diskriminasi. Seperti halnya kita mengulang kembali ide perlawanan etnis spesifik atau kelompok nasional yang harus diberikan identitas politik permanen atau status konstutisional.

            Bagaimanapun, itu semakin menjelaskan bahwa hak minoritas tidak bisa disimpulkan dibawah kategori hak asasi. Standar hak asasi tradisional tidak mampu untuk memutuskan beberapa pertanyaan penting dan controversial tentang budaya minoritas: bahasa mana yang diakui oleh parlemen, birokrasi, dan pengadilan? Haruskah etnik dan kelompok nasional berbeda diajari bahasa ibu? Haruskah batasan internal (daerah legislative, provinsi dan negara) digambarkan sangat format budaya minoritas di dalam mayoritas di sebuah daerah lokal? Haruskah kekuatan pemerintah berpindah dari level pusat untuk lebih lokal atau level daerah dikontrol melalui minoritas khusus, terbagi dalam isu sensitif imigrasi, komunikasi dan edukasi? Haruskah jabatan politik disistribusikan sesuai dengan prinsip nasional atau proporsionalitas etnik? Haruskah tanah air tradisional dari orang-orang asli dipesan untuk keuntungan mereka dan dilindungi dari pelanggaran oleh penghuni tetap dan sumber pembangun? Apakah kewajiban dari minoritas untuk menggabungkan? Apakah tingkat integrasi cultural dapat diperlukan oleh imigrasi dan pengungsi sebelum mereka memperoleh kewarganegaraan?

            Masalahnya bukan karena doktrin hak asasi tradisional memberikan jawaban salah kepada kita, namun untuk pertanyaan ini seringkali malah tidak member jawaban sama sekali. Hak untuk bebas berbicara tidak menjelaskan seperti apa kebijakan berbahasa yang pantas itu; hak untuk memilih tidak menjelaskan bagaimana batasan politik harus digambarkan atau bagaimana kekuasaan harus didistribusikan diantara level-level pemerintah; hak untuk mobilisasi tidak menjelaskan apakah sebuah imigrasi pantas dan bagaimana kebijakan naturalisasi itu. Pertanyaan ini ditinggalkan untuk proses biasa dari mayoritas pembuat keputusan di negara. Hasilnya, saya berargumen, hal tersebut membuat kultur minoritas diserang dan timbul ketidakadilan dalam kuasa mayoritas dan memicu konflik etno-kultural.

            Untuk memecahkan pertanyaan ini kita perlu menambahkan prinsip hak asasi tradisional dengan teori hak minoritas. Meskipun teori ini sulit dijelaskan untuk kasus Eropa dan Uni Soviet. Perselisihan melampaui otonomi lokal, penggambaran batasan, hak bahasa, dan kebijakan naturalisasi menimbulkan banyak konflik kekerasan di daerah. ada sedikit harapan bahwa akan timbul kedamaian yang stabil apabila diperbaiki, atau dasar hak asasi dihargai sehingga isu hak minoritas dapat dipecahkan. 

            Ini tidak mengejutkan, karena hak monoritas dikembalikan kepada keunggulan dalam hubungan internasional. Sebagai contoh the Conference on Security and Co-operation di Eropa (SCCE) diadopsi sebuah deklarasi dalam Right of National Minorities pada tahun 1991 dan PBB mendebatkan antara Declaration on the Rights of Person Belonging to National atau Ethnic, Religious,  and Linguistic Minorities (1993) dan sebuah Draft Universal Declaration on Indigenous Rights (1988). The Council of Europ mengadopsi sebuah deklarasi tentang hak bahasa minoritas pada tahun 1992 (the European Charter for Regional or Minority Languages).  

            Bagaimanapun deklarasi ini mengundang kontroversi, beberapa diadopsi secara tergesa-gesa, untuk mencegah peningkatan konflik di Eropa Timur. Dan hasilnya sungguh tidak jelas, dan mereka lebih termotivasi oleh kebutuhan untuk meredakan minoritas yang gemar berperang daripada berusaha menghadirkan keadilan. Keduanya menggunakan pembenaran atas dasar hak dengan batasan yang tidak jelas.
Saya percaya hal ini legitimate dan tidak dapat dihindari untuk menambahkan hak asasi tradisional ke dalam hak minoritas. Sebuah teori komprehensif tentang keadilan dalam negara multicultural akan memasukkan hak universal, menentukan individu tanpa memperhatikan keanggotaan kelompok, dan perbedaan hak kelompok tertentu atau “status special” untuk budaya minoritas. 

            Menyadari hak minoritas jelas berbahaya. Hak bahasa minoritas digunakan dan disalahgunakan tidak hanya oleh Nazi tetapi juga dipertahankan atau dibela untuk pemisahan rasial dan politik apharteid. Dia juga digunakan nasionalist  dan fundamentalis yang intolerant dan suka berperang sebagai sebuah pembenaran atas dominasi terhadap orang-orang di luar kelompok mereka, dan penindasan terhadap pengkhianat dalam kelompok. Teori liberal tentang hak asasi harus menjelaskan bagaimana hak minoritas hidup bersama hak asasi, dan bagaimana hak minoritas dibatasi oleh prinsip kebebasan individual, demokrasi, dan keadilan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar