Chapter
1 : Introduction
Saat ini kurang lebih terdapat 184 negara merdeka yang memiliki keragaman
600 bahasa dengan 5000 etnik kelompok. Keanekaragaman ini memiliki berberapa
konsekuensi, isu minoritas dan mayoritas semakin meningkat seiring dengan isu bahasa, otonomi daerah, politik
representasi, kurikulum pendidikan, klaim tanah, imigrasi, kebijakan naturalisasi, bahkan simbol nasional, pilihan lagu
kebangsaan, atau, hari linur nasional.Sejak berakhirnya perang dingin, konflik
etno-cultural menjadi sumber utama politik kekerasan didunia. Dan menunjukkan
adanya. Tulisan ini merupakan perspektif baru dalam melihat permasalahan ini,
tulisan ini ingin kembali memperlihatkan
pandangan umum atau landskap- untuk mengidentifikasi konsep utama dan
prinsipal, yang memungkinkan untuk diakumulasikan, sehingga dapat
mengklarifikasi bangunan blok mendasar dalam pendekatan liberal mengenai
hak-hak minoritas.
Tradisi politik barat cinderung sunyi dalam isu ini.
sebagian besar komunitas organisasi multi etnis melalui rekaman sejarah telah
bersifat multi etnis. Tetapi teori politik barat dioperasikan dengan model idealis yang mengikuti
masyarakat.
Untuk mencapai politik homogenitas yang ideal, pemerintah
melalui potongan sejarah memiliki beragam variasi kebijakan untuk golongan
minoritas. Beberapa golongan minoritas
secara psikis dihilangkan, dengan permbersihan etnik maupun genosida.
Kelompok minoritas dipaksa untuk mengadopsi bahasa, agama, dan adat istiadat
mayoritas. Dalam kasus lain, keberadaan minoritas selalu terancam,
disegregasikanm secara psikis dan
didiskriminasikan secara ekonomi, dan menjegal hak-hak politik mereka. Beragam strategi juga dilakukan atas dasar
fakta sejarah akan bagaimana melindungi golongan minoritas, dan untuk mengatur konflik potensial yang muncul antara
budaya minoritas dan mayoritas. Misalnya
saja dengan apa yang telah dilakukan oleh Jerman dan Polandia untuk menjamin etnis minoritas dengan adanya
hak-hak politik.
Setelah perang dunia II, pendekatan baru untuk menjamin
hak-hak minoritas benar-benar dibutuhkan. Harapan kaum liberal, hak-hak asasi
manusia dapat mengatasi
permasalahan konflik minoritas. Daripada
dilindungi secara langsung, kelompok minoritas dapat dilindungi secara tidak
langsung dengan jaminan hak-hak sipil secara mendasar dan hak politik untuk
semua individu dari keanggotaan kelompok.
Hak-hak mendasar seperti:
kebebasan berbicara, berasosiasi, . dimana atribut individu. Keberadaan hak individu dilindungi, kaum liberal berpendapat”tidak
ada hak lain yang lebih dibutuhkan untuk
memberikan keanggotaan dengan etnik yang spesifik atau minoritas nasional.
Kecinderungan umum dari gerakan pasca perang untuk
mempromosikan Hak Asas untuk mengatasi permasalahan minoritas nasional dibawah
batasan masalah, tanpa merujuk keanggotaan dalam kelompok etnik. Identitas, mereka harap konsisten dengan hak-hak yang lain.
Tapi usaha yang dilakukan sangat privat dan bukan arena agensi public untuk
menyerang hukum identitas atau ketidakmampuan
anggota identitas etnis dan cultural. Pemisahan antara negara dan etnisitas
menghalangi hukum atau pengakuan pemerintah terhadap kelompok etnis atau fungsi
dari criteria etnis dalam distribusi hak-hak, sumber-sumber, dan
kewajiban-kewajiban.
Banyak kalangan liberal, khususnya
kiri, membuat sebuah pengecualian dengan affirmative action untuk
kelompok-kelompok rasial yang diinginkan. Namun hal ini adalah aturan yang
menjamin pengecualian. Affirmative action adalah pembelaan berupa tindakan sementara
yang dibutuhkan untuk mempercepat terbentuknya masyarakat yang “colour-blind”.
Hal ini bertujuan untuk memperbaiki tahun-tahun silam yang penuh diskriminasi
dan mendekatkan kita pada bagian masyarakat yang sejak awal memisahkan negara
dan etnisitas. Sehingga UN atau PBB melalui Convension on Racial Discrimination
mendukung program affirmative action apabila terjadi diskriminasi untuk
sementara waktu dan memperbaiki karakter yang ada. Pemisahan negara dan
etnisitas adalah sesuatu yang jauh dari
ideal dan affirmative action adalah sebuah metode yang mencoba untuk
mencapai ideal itu sendiri.
Beberapa kalangan liberal, khususnya
kanan, berpikir affirmative action adalah hal yang counter-productive dalam
mempengaruhi masyarakat “colour-blind” dengan kebijakan-kebijakan yang diukur
dengan ras “count by race”. Mereka berargumen bahwa affirmative action
memperburuk masalah yang ada karena dalam memecahkan masalah orang-orang dibuat
“sadar” akan perbedaan kelompok dan menimbulkan rasa benci kepada kelompok yang
berbeda. Perdebatan mengenai affirmative
action merupakan kajian populer dalam demokrasi liberal.
Namun, setelah post-war, kalangan
liberal baik kanan ataupun kiri melanjutkan untuk menolak ide perbedaan
“permanen” dalam hak-hak atau status anggota dari kelompok tertentu. Secara
khusus mereka menolak klaim bahwa hak khusus spesifik kelompok perlu
diakomodasi untuk membawa perbedaan cultural, lebih dari untuk memperbaiki
sejarah diskriminasi. Seperti halnya kita mengulang kembali ide perlawanan etnis
spesifik atau kelompok nasional yang harus diberikan identitas politik permanen
atau status konstutisional.
Bagaimanapun, itu semakin
menjelaskan bahwa hak minoritas tidak bisa disimpulkan dibawah kategori hak
asasi. Standar hak asasi tradisional tidak mampu untuk memutuskan beberapa
pertanyaan penting dan controversial tentang budaya minoritas: bahasa mana yang
diakui oleh parlemen, birokrasi, dan pengadilan? Haruskah etnik dan kelompok
nasional berbeda diajari bahasa ibu? Haruskah batasan internal (daerah
legislative, provinsi dan negara) digambarkan sangat format budaya minoritas di
dalam mayoritas di sebuah daerah lokal? Haruskah kekuatan pemerintah berpindah
dari level pusat untuk lebih lokal atau level daerah dikontrol melalui
minoritas khusus, terbagi dalam isu sensitif imigrasi, komunikasi dan edukasi?
Haruskah jabatan politik disistribusikan sesuai dengan prinsip nasional atau
proporsionalitas etnik? Haruskah tanah air tradisional dari orang-orang asli
dipesan untuk keuntungan mereka dan dilindungi dari pelanggaran oleh penghuni
tetap dan sumber pembangun? Apakah kewajiban dari minoritas untuk
menggabungkan? Apakah tingkat integrasi cultural dapat diperlukan oleh imigrasi
dan pengungsi sebelum mereka memperoleh kewarganegaraan?
Masalahnya bukan karena doktrin hak
asasi tradisional memberikan jawaban salah kepada kita, namun untuk pertanyaan
ini seringkali malah tidak member jawaban sama sekali. Hak untuk bebas
berbicara tidak menjelaskan seperti apa kebijakan berbahasa yang pantas itu;
hak untuk memilih tidak menjelaskan bagaimana batasan politik harus digambarkan
atau bagaimana kekuasaan harus didistribusikan diantara level-level pemerintah;
hak untuk mobilisasi tidak menjelaskan apakah sebuah imigrasi pantas dan
bagaimana kebijakan naturalisasi itu. Pertanyaan ini ditinggalkan untuk proses
biasa dari mayoritas pembuat keputusan di negara. Hasilnya, saya berargumen,
hal tersebut membuat kultur minoritas diserang dan timbul ketidakadilan dalam
kuasa mayoritas dan memicu konflik etno-kultural.
Untuk memecahkan pertanyaan ini kita
perlu menambahkan prinsip hak asasi tradisional dengan teori hak minoritas.
Meskipun teori ini sulit dijelaskan untuk kasus Eropa dan Uni Soviet.
Perselisihan melampaui otonomi lokal, penggambaran batasan, hak bahasa, dan
kebijakan naturalisasi menimbulkan banyak konflik kekerasan di daerah. ada
sedikit harapan bahwa akan timbul kedamaian yang stabil apabila diperbaiki,
atau dasar hak asasi dihargai sehingga isu hak minoritas dapat dipecahkan.
Ini tidak mengejutkan, karena hak
monoritas dikembalikan kepada keunggulan dalam hubungan internasional. Sebagai
contoh the Conference on Security and Co-operation di Eropa (SCCE) diadopsi
sebuah deklarasi dalam Right of National Minorities pada tahun 1991 dan PBB mendebatkan
antara Declaration on the Rights of Person Belonging to National atau Ethnic,
Religious, and Linguistic Minorities
(1993) dan sebuah Draft Universal Declaration on Indigenous Rights (1988). The
Council of Europ mengadopsi sebuah deklarasi tentang hak bahasa minoritas pada
tahun 1992 (the European Charter for Regional or Minority Languages).
Bagaimanapun deklarasi ini
mengundang kontroversi, beberapa diadopsi secara tergesa-gesa, untuk mencegah
peningkatan konflik di Eropa Timur. Dan hasilnya sungguh tidak jelas, dan
mereka lebih termotivasi oleh kebutuhan untuk meredakan minoritas yang gemar
berperang daripada berusaha menghadirkan keadilan. Keduanya menggunakan
pembenaran atas dasar hak dengan batasan yang tidak jelas.
Saya
percaya hal ini legitimate dan tidak dapat dihindari untuk menambahkan hak
asasi tradisional ke dalam hak minoritas. Sebuah teori komprehensif tentang
keadilan dalam negara multicultural akan memasukkan hak universal, menentukan
individu tanpa memperhatikan keanggotaan kelompok, dan perbedaan hak kelompok
tertentu atau “status special” untuk budaya minoritas.
Menyadari hak minoritas jelas
berbahaya. Hak bahasa minoritas digunakan dan disalahgunakan tidak hanya oleh
Nazi tetapi juga dipertahankan atau dibela untuk pemisahan rasial dan politik
apharteid. Dia juga digunakan nasionalist
dan fundamentalis yang intolerant dan suka berperang sebagai sebuah
pembenaran atas dominasi terhadap orang-orang di luar kelompok mereka, dan
penindasan terhadap pengkhianat dalam kelompok. Teori liberal tentang hak asasi
harus menjelaskan bagaimana hak minoritas hidup bersama hak asasi, dan
bagaimana hak minoritas dibatasi oleh prinsip kebebasan individual, demokrasi,
dan keadilan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar