Tania termenung disana, dibawah rimbun bougenville ungu yang sedang merekah-meriah, tapi tidak hatinya. Selembar surat di tangannya. Sebuah ungkapan hati yang telah lelah menanti. Tapi angin nakal masih ingin mempermainkannya, menerbangkan selembar kertas lusuh yang selalu dalam genggamannya, membawanya menjauh dan terjatuh di hadapan seorang pria muda yang lama mengamatinya dalam diam.
Surat pun terbaca dalam diam...
Sejak
aku mengenal dunia, aku tahu aku sangat mengagumimu, bahkan untuk surat
sederhana yang kau kirimkan untukku ketika aku duduk di kelas satu sekolah
dasar, sungguh naif. Semakin naif ketika kusadari perasaan ini diam-diam
berlaku kurang ajar, dia semakin durhaka menamakan perasaannya sebagai cinta
tepat ketika aku mulai menginjak bangku perkuliahan. Disana ada kamu yang
memberikan semangat, sangat hangat. Bahkan aku memberimu posisi lebih dihatiku
melebihi dia, pacarku. Namun, entah mengapa, perlahan kamu mengundurkan diri
dari pemberi perhatian, sebagian mereka mengartikannya sebagai implikasi
kesibukanmu, bahkan mereka yang lain menyalahkan sifatmu yang memang tertutup.
Andai mereka tahu, telah berapa banyak cerita dan hangat tawa yang kita bagi,
dulu. Kamu berbeda dari yang mereka kira, kamu menjadi berbeda hanya
dihadapanku, dan aku sangat tersanjung. Ya, itu dulu sebelum semuanya berubah,
entah kenapa.
Untuk
pria di sana, maafkan aku yang diam-diam mencintaimu. Arus cintaku menderas dan
mengeras tanpa muara. Bolehkah aku memilih untuk tidak jadi adikmu? Aku ingin
kamu menganggapku sebagai wanita dewasa yang layak untuk dicintai. Bukan adik
kecil yang manja. Harapan ini timbul tenggelam seperti kapal selam untuk
mencintaimu, kesibukanmu salah satu alasannya dan sikap acuhmu disisi lain. Kau
seperti sedang membangun tembok yang tinggi. Tidak tahukah kamu bahwa rentangan
jarak kita telah cukup jauh? Tolong jangan gunakan perbedaan usia kita sebagai
alasan ketidakcocokan kita. Karena aku akan sangat terluka.
Untuk
pria yang kucintai disana.
Tolong bantu aku untuk
kuat menjalani cinta seperti ini, haruskah aku menjadi liar dan membuatmu
ketakutan? Andai kamu tahu aku hanyalah wanita biasa, kartini dalam adat aceh
yang terkungkung rasa segan dan malu, bahkan setelah ibumu sendiri datang
memintaku untuk menjadi menantunya. Jangan anggap ini sebagai penolakan
untukmu, aku sangat mencintaimu, bahkan hayalku pun sudah terlalu berani
mencipta angan untuk menjadi istrimu. Tapi aku terlalu malu untuk mengakui
inginku untuk menjadi istrimu, aku ingin kamu yang memintaku, bukankah itu
tidak berlebihan? Aku tahu, kita telah banyak berdiskusi tentang emansipasi dan
aku setuju denganmu. Tapi tentang cinta dan pernikahan? Aku tetap berjalan
sesuai adat lama, kamu yang seharusnya mengejarku. Dan bila itu tidak terjadi,
maka saatnya bagiku untuk mundur.
Untuk
pria yang membuatku gila.
Perlahan aku harus
mulai melepaskan tanganmu pergi dengan kerelaan, ketika kusadari langkahmu
terus enggan melangkah untukku. Kusesali kondisi ini, dimana tubuh kita
berjarak dan hati kita pun kini ikutan berjarak pula. Meskipun kutahu, sampai
kapanpun hatiku tetap seperti kapal selam, timbul tenggelam mencintaimu.
Bagaimana tidak, mendengar namamu saja bisa membuat lidahku kelu. Aku kini
menuju kegilaan karenamu.
Dan pria itu pun kembali terdiam dalam diam yang selalu dia ciptakan, tapi kini ada air mata disana.
Meulaboh, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar