Konsep Monokulturalisme
Konsep monokulturalisme seperti diungkapkan oleh Kymlicka berangkat dari
asumsi bahwa perbedaan itu adalah pemicu terjadinya konflik dan perpecahan,
oleh karena itu seminimal mungkin perbedaan harus dihilangkan dengan cara
menutup peluang terjadinya perbedaan dengan melakukan penyeragaman di dalam
suatu komunitas atau kelompok misalnya, dan bila terjadi perlawanan dari
sekelompok kecil komunitas maka solusi paling ideal adalah mengeluarkan mereka
dari komunitas agar keutuhan tetap dapat terjaga.
Monokulturalisme
berasal dari kata; mono (satu/seragam/tunggal) dan cultural
(budaya atau kebudayaan), dan isme (paham) yang secara etimologi berarti
paham budaya tunggal sehingga pada satu wilayah geografis tertentu hanya ada
satu budaya yang dianut. Hal ini juga bermaksud tidak mengakui adanya
keragaman dan menginginkan keseragaman. Seorang dikatakan monokulturalisme dilihat dari sejauh mana individu tersebut
memegang nilai dari salah satu variabel budaya.
Monokulturalisme
merupakan sebuah idelogi atau konsep yang memiliki kehendak akan adanya
penyatuan kebudayaan (homogentitas). Dalam monokulturalisme, ditandai
adanya proses asimilasi, yakni percampuran dua kebudayaan atau lebih
untuk membentuk kebudayaan baru. Sebagai sebuah ideologi, monokulturalisme
dibeberapa negara dijadikan landasan kebijakan dan atau strategi pemerintah
menyangkut kebudayaan dan sistem negara.
Birokrasi : Bentuk
Rational Organisasi
Berbicara
mengenai birokrasi sering kali kita merujuk pada konsep Max Weber, birokrasi ala weberian ini cukup populer
dengan sebutan birokrasi ideal dan rasional. Beberapa kharakter khusus dari
birokrasi weberian ini antara lain : Pertama,
individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya
manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam
jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan
kepentingan pribadinya termasuk keluarganya. Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki
dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan
bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih
kecil.
Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam
hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya. Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus
dijalankan. Uraian tugas (job description)
masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak. Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi
profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian yang kompetitif. Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji
termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan
yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat
diakhiri dalam keadaan tertentu. Ketujuh,
terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan
senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif. Kedelapan, setiap pejabat sama sekali
tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk
kepentingan pribadi dan keluarganya. Kesembilan,
setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang
dijalankan secara disiplin (Martin Albrow, 1996: 33) dan (Miftah Toha, 2002:
16-17)
- Monokulturalisme dalam birokrasi
Konsep
monokulturalisme yang mengutamakan keseragaman sejatinya hampir mirip dengan
konsep birokrasi yang disampaikan Weber. Sebuah
birokrasi menurut Weber para anggota adalah individu yang bebas namun
disisi lain mereka terikat oleh peraturan-peraturan yang membatasi kebebasan
mereka. Weber juga menyinggung tentang kontrak jabatan yang harus dijalankan
oleh setiap individu yang masuk ke dalam organisasi tertentu. Sehingga individu
yang telah memasuki organisasi tidak bisa menentang aturan yang ada termasuk
tentang penyeragaman yang biasanya terjadi di dalam organisasi.
Monokulturalisme
dalam organisasi mengandaikan adanya penyeragaman untuk menciptakan semangat
identitas bersama sehingga perbedaan telah terlebih dahulu diminimalisir ketika
proses rekrutmen atau penerimaan anggota baru dan apabila terdapat anggota yang
berbeda (biasanya minoritas) di dalam sebuah organisasi menurut konsep
monokulturalisme anggota tersebut harus ditertibkan dengan cara peringatan,
dikucilkan, bahkan dikeluarkan dari organisasi.
Konsepsi Hegemoni dan
Negara Sekuler
Teori hegemoni dalam jagad teori
ilmu politik secara eksplisit diperkenalkan oleh Antonio Gramsci sebagai
penjelasan atas teori kelas Marxisme. Dalam teori kelas Marxis, disebutkan
bahwa formasi masyarakat kapitalis itu terdiri dari dua kelas, yaitu kelas
memiliki kekuasaan “dominasi” dan kelas “sub-ordinasi” (Arif Budiman, 1996).
Kelas yang dianggap memiliki kekuasaan “dominasi” adalah kelas borjuis atau
pemilik alat produksi. Sedangkan kelas yang dianggap “sub-ordinasi” adalah
kelas proletar atau buruh. Eksistensi kelas borjuis Menurut faham marxisme
dianggap mengeksploitasi kelas proletar dimana mereka bekerja untuk kelas
borjuis sehingga kepemilikan modal dikuasai oleh kelas borjuis, sedangkan kelas
proletar selamanya akan menjadi kelas buruh. Untuk memutus adanya dominasi
kelas borjuis terhadap kelas proletar, maka dibutuhkan gerakan perlawanan fisik
melalui revolusi sehingga menghasilkan formasi masyarakat tanpa kelas. Teori
ini cukup berhasil mempengaruhi gerakan revolusi kaum buruh di Eropa Timur
seperti Uni Soviet. Meskipun begitu, gerakan perlawanan kaum buruh terhadap
kaum borjuis di Eropa Barat seperti Inggris cenderung gagal. Kegagalan inilah
yang menjadi titik tolak teori hegemoni Gramsci dalam menjelaskan kegagalan
revolusi kaum buruh di Inggris disebebkan karena adanya hegemoni kapitalisme
melalui suprastrktur idiologi didalam kepemimpinan masyarakat sipil (Nezar
Patria, 1999).
Konsepsi tentang hegemoni Gramsci
merupakan sebuah kekuasaan dominasi antara satu kelompok yang “berkuasa” dengan
kelompok yang “dikuasai”. Dalam menjelaskan kekuasaan dominasi, Gramsci
membedakan dominasi menjadi dua bentuk, yaitu dominasi langsung dan dominasi
secara tidak langsung. Dominasi langsung diekspresikan melalui negara dan
pemerintahan yuridis yang sifat mengikat dan memaksa. Sedangkan dominasi tidak
langsung diekspresikan melalui kepemimpinan moral di masyarakat sipil. Kedua
saluran dominasi tersebut dibingkai dalam satu konsepsi tentang negara, yaitu
apa yang disebut oleh Gramsci sebagai “negara integral” . Tentu konsep negara
integral ini dapat dibedakan dengan konsep totalitarianisme, karena dalam
negara integral terdapat “kesukarelaan” yang tentunya tidak ada dalam konsep
totalitarianisme. Di dalam konsep negara integral, diasumsikan adanya sebuah
kesepakatan yang didasarkan atas seperangkat gagasan dan nilai, suatu falsafah
bersama yang dimiliki oleh sebagian besar orang berdasarkan persetujuan yang
aktif dan diberikan secara bebas (Robert Bocock, 2007). Dalam konteks pewajiban
dan pelarangan jilbab bagi polwan, persetujuan yang aktif dilakukan sejak
proses rekruitmen ditingkat taruni saat menjalani masa pembinaan di Akadimi
Kepolisian dengan basis pengetahuan bahwa seragam dinas taruni tidak ada jilbab
(selain konteks Aceh).
Meskipun konsepsi negara hegemoni
gramsci diproduksi dalam konteks dominasi kelas burjuis atas kelas proletar
dalam negara kapitalis, namun secara intrisik teori dominasinya juga bisa
dijadikan sebagai instrumen dalam membaca dominasi kelompok sekuler atas
kelompok agama dalam sebuah aparatur negara. Konsepsi tentang negara sekuler
sebenarnya telah inheren didalam
konsep negara modern dimana agama bukan lagi menjadi persoalan publik yang
menjadi urusan negara, melainkan agama adalah persoalan privat yang menjadi
urusan individu. Penerapan negara sekuler menjadi sangat beragam tergantung
sejauh mana pengaruh idiologi “sekularisme” berkembang didalam suatu negara.
Dalam perkembangannya, sekularisme diartikan sebagai bentuk penolakan terhadap
transendensi. Dalam paham sekularisme, seseorang melihat agama sebagai sesuatu
yang asing, dan Tuhan dianggap sebagai pengahalang. Hal ini dasarkan atas
penolakan mitologi gereja dalam sejarah Eropa yang dianggap bertentangan dengan
perkembangan pengetahuan dan sains. Oleh karena itu, ada semangat yang muncul
untuk membentuk sebuah sistem nilai dan kepercayaan yang baru, yang tidak
didasarkan lagi atas agama-wahyu, yaitu sebuah sistem etik yang didasarkan pada
prinsip moral alamiah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern (Pardoyo, 1993).
Negara sekuler ketika dibaca dengan
menggunakan pendekatan hegemoni gramsci tentang dominasi suatu kelompok
terhadap kelompok lain, maka negara sekuler dapat dibagi menjadi tiga tingkatan
sesuai dengan tingkatan hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci. Ada tiga
tingkatan hegemoni menurut Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni
yang merosot (decadent) dan hegemoni yang minimum (Nezar Patria, 1999). Pertama, hegemoni total (integral)
ditandai dengan afiliasi masa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan
tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan
organisasi antara pemerintah dan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak
diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Kedua, hegemoni yang merosot (decadent)
ditandai dengan adanya tantangan berat terhadap dominasi ekonomi borjuis.
Meskipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan, namun mentalitas massa tidak
selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni. Ketiga, hegemoni minimum (minimal
hegemony) merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibanding dua bentuk
sebelumnya. Hegemoni dalam tingkatan ini dominasi hanya didasarkan atas
kesatuan idiologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual. Kelompok
borjuis cenderung mempertahankan dominasinya melalui tranformasi penyatuan para
pemimpin budaya, politik, sosial, maupun ekonomi yang secara potensial
bertentangan dengan “negara baru” yang dicita-citakan oleh kelompok hegemonis
(sub-ordinasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar