Kondisi
Orde Baru yang diwarnai oleh pemerintahan yang represif melahirkan oposisi
untuk melawan pemerintahan Soeharto yang diktator. Soeharto membangun kekuatan
dominan dalam rezim. Bahkan pada akhir pemerintahannya, rezim itu lebih
terlihat sebagai sebuah kediktatoran personal, meskipun di lain pihak, Soeharto
tetap menggunakan instrument militer dalam melakukan tindakan represif. Buku
ini menyajikan studi tentang perkembangan oposisi di Indonesia. Oposisi melawan
Soeharto dengan cara menggerogoti legitimasi pemerintahan Soeharto, dan
menjatuhkan kekuasaanya.
Argumen
dalam buku ini adalah rezim Soeharto menghadapi oposisi dengan cara mengontrol
perbedaan pendapat dengan cara penindasan, toleransi, pemaksaan dan kooptasi.
Pemaksaan digunakan oleh Soeharto sebagai sebagian formula kemenangan rezim
yang dibangun. Kombinasi antara represi dan toleransi merupakan fitur umum yang
digunakan rezim yang otoriter. Akibatnya, oposisi hadir untuk menggulingkan
kekuasaan. Namun, lebih lanjut juga dikatakan bahwa oposisi di Indonesia
seringkali berada di wilayah abu-abu dan terkesan ragu-ragu. Keragu-raguan ini
disebabkan oleh cara negara menghadapi oposisi yaitu dengan pemberian
penghargaan bagi bagi yang berkontribusi bagi rezim dan pemberian sanksi bagi
orang-orang yang melawan rezim. Pada dasarnya tulisan ini jika ingin
disederhanakan dapat dilihat bahwa Aspinall ingin memaparkan perkembangan
oposisi pada masa Orde Baru dengan menyederhanakannya melalui kategorisasi
oposisi yang berkembang di Indonesia.
Pada
masa Orde Baru, ada empat kategori oposisi yang memainkan peranan dalam melawan
kekuasaan Soeharto. Pertama, oposisi
yang dimobilisasi, yaitu kelompok-kelompok yang secara eksplisit menyatakan
keinginan untuk mengganti rezim dengan sistem lain dan mencoba mengatur dan
memobilisasi basis-basis dukungan untuk mencapai tujuan. Oposisi jenis ini
sifatnya illegal dan ditekan. Gerakan yang dilakukan adalah gerakan bawah tanah
dan muncul ke permukaan dalam kondisi abnormal seperti suasana yang relatif
liberal dan keterbukaan. Kategori kedua, adalah
semioposisi, yaitu terdiri dari kelompok-kelompok yang tidak dominan atau diwakili
dalam pemerintahan. Kegiatan oposisi ini ditandai dengan partisipasi dalam struktur
formal rezim legislatif, partai dan sejenisnya. Oposisi ketiga adalah oposisi alegal. Oposisi jenis ini kegiatan yang
dilakukannya illegal dan bertentangan dengan konstitusi. Mereka biasanya
memberikan kritik yang lebih mendasar daripada kalangan semioposisi dan umunya
menghindari penganiayaan berat mereka adalah seniman, intelektual, dan aktivis.
Mereka melakukan perlawanan dengan bukan dengan tujuan mencari jabatan tapi
untuk merubah kebijakan, kepuasan, dan akuntabilitas. Kategori keempat adalah organisasi masyarakat
sipil. Oposisi jenis ini harus dibedakan dengan oposisi alegal dan semioposisi
karena mereka relatif lebih merdeka dari struktur negara. Di Orde Baru banyak
kelompok kepentingan yang muncul dari sektor organisasi yang mewakili kelompok
kelas bawah yang dikontrol oleh korporasi. Organisasi sipil ini berusaha untuk
mempertahankan otonomi dari campur tangan Negara sekaligus mempromosikan
reformasi reformasi kebijakan bukan perubahan rezim total. Contoh organisasi
masyarakat sipil adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Tulisan
Edward Aspinall berusaha untuk menggambarkan kondisi oposisi pada masa Orde
Baru beserta kesulitan-kesulitan yang dihadapi di tengah tekanan rezim yang
represif. Meskipun demikian, akhirnya Soeharto berhasil diturunkan setelah ada
mobilisasi massa di kalangan bawah. Oposisi memainkan peran yang lemah pada
Orde Baru dan menjadi tidak aneh ketika melihat oposisi tetap lemah setelah
Orde Baru berakhir. Hal ini ditandai dengan lemahnya konsolidasi pasca 1998. Tulisan
ini sedikit berbeda dengan tulisan Eep Saifullah yang telah hadir lebih dahulu
yaitu dalam Membangun Oposisi :
Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan (1999). Dalam tulisannya, Eep
lebih melihat bahwa oposisi sangat diperlukan dan menjadi aktor utama
pembangunan oleh karena itu harus dibangun dengan baik agar pembangunan bangsa
dapat dilakukan. Sedang Aspinall melihat oposisi sebagai aktor pinggiran dalam
masa pemerintahan Soeharto dan selalu bergerak dalam keragu-raguan dan
terkadang oportunis karena berbagai alasan yang ada, misalnya karena tekanan
dari Soeharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar