Translate

Minggu, 23 Juni 2013

Edward Aspinall Opposing Soeharto : Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia (Stanford, California : Stanford University Press (2005))

             Kondisi Orde Baru yang diwarnai oleh pemerintahan yang represif melahirkan oposisi untuk melawan pemerintahan Soeharto yang diktator. Soeharto membangun kekuatan dominan dalam rezim. Bahkan pada akhir pemerintahannya, rezim itu lebih terlihat sebagai sebuah kediktatoran personal, meskipun di lain pihak, Soeharto tetap menggunakan instrument militer dalam melakukan tindakan represif. Buku ini menyajikan studi tentang perkembangan oposisi di Indonesia. Oposisi melawan Soeharto dengan cara menggerogoti legitimasi pemerintahan Soeharto, dan menjatuhkan kekuasaanya. 
 
Argumen dalam buku ini adalah rezim Soeharto menghadapi oposisi dengan cara mengontrol perbedaan pendapat dengan cara penindasan, toleransi, pemaksaan dan kooptasi. Pemaksaan digunakan oleh Soeharto sebagai sebagian formula kemenangan rezim yang dibangun. Kombinasi antara represi dan toleransi merupakan fitur umum yang digunakan rezim yang otoriter. Akibatnya, oposisi hadir untuk menggulingkan kekuasaan. Namun, lebih lanjut juga dikatakan bahwa oposisi di Indonesia seringkali berada di wilayah abu-abu dan terkesan ragu-ragu. Keragu-raguan ini disebabkan oleh cara negara menghadapi oposisi yaitu dengan pemberian penghargaan bagi bagi yang berkontribusi bagi rezim dan pemberian sanksi bagi orang-orang yang melawan rezim. Pada dasarnya tulisan ini jika ingin disederhanakan dapat dilihat bahwa Aspinall ingin memaparkan perkembangan oposisi pada masa Orde Baru dengan menyederhanakannya melalui kategorisasi oposisi yang berkembang di Indonesia.

Pada masa Orde Baru, ada empat kategori oposisi yang memainkan peranan dalam melawan kekuasaan Soeharto. Pertama, oposisi yang dimobilisasi, yaitu kelompok-kelompok yang secara eksplisit menyatakan keinginan untuk mengganti rezim dengan sistem lain dan mencoba mengatur dan memobilisasi basis-basis dukungan untuk mencapai tujuan. Oposisi jenis ini sifatnya illegal dan ditekan. Gerakan yang dilakukan adalah gerakan bawah tanah dan muncul ke permukaan dalam kondisi abnormal seperti suasana yang relatif liberal dan keterbukaan. Kategori kedua, adalah semioposisi, yaitu terdiri dari kelompok-kelompok yang tidak dominan atau diwakili dalam pemerintahan. Kegiatan oposisi ini ditandai dengan partisipasi dalam struktur formal rezim legislatif, partai dan sejenisnya. Oposisi ketiga adalah oposisi alegal. Oposisi jenis ini kegiatan yang dilakukannya illegal dan bertentangan dengan konstitusi. Mereka biasanya memberikan kritik yang lebih mendasar daripada kalangan semioposisi dan umunya menghindari penganiayaan berat mereka adalah seniman, intelektual, dan aktivis. Mereka melakukan perlawanan dengan bukan dengan tujuan mencari jabatan tapi untuk merubah kebijakan, kepuasan, dan akuntabilitas. Kategori keempat adalah organisasi masyarakat sipil. Oposisi jenis ini harus dibedakan dengan oposisi alegal dan semioposisi karena mereka relatif lebih merdeka dari struktur negara. Di Orde Baru banyak kelompok kepentingan yang muncul dari sektor organisasi yang mewakili kelompok kelas bawah yang dikontrol oleh korporasi. Organisasi sipil ini berusaha untuk mempertahankan otonomi dari campur tangan Negara sekaligus mempromosikan reformasi reformasi kebijakan bukan perubahan rezim total. Contoh organisasi masyarakat sipil adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Tulisan Edward Aspinall berusaha untuk menggambarkan kondisi oposisi pada masa Orde Baru beserta kesulitan-kesulitan yang dihadapi di tengah tekanan rezim yang represif. Meskipun demikian, akhirnya Soeharto berhasil diturunkan setelah ada mobilisasi massa di kalangan bawah. Oposisi memainkan peran yang lemah pada Orde Baru dan menjadi tidak aneh ketika melihat oposisi tetap lemah setelah Orde Baru berakhir. Hal ini ditandai dengan lemahnya konsolidasi pasca 1998. Tulisan ini sedikit berbeda dengan tulisan Eep Saifullah yang telah hadir lebih dahulu yaitu dalam Membangun Oposisi : Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan (1999). Dalam tulisannya, Eep lebih melihat bahwa oposisi sangat diperlukan dan menjadi aktor utama pembangunan oleh karena itu harus dibangun dengan baik agar pembangunan bangsa dapat dilakukan. Sedang Aspinall melihat oposisi sebagai aktor pinggiran dalam masa pemerintahan Soeharto dan selalu bergerak dalam keragu-raguan dan terkadang oportunis karena berbagai alasan yang ada, misalnya karena tekanan dari Soeharto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar