Translate

Sabtu, 22 Juni 2013

Kenapa Harus Kartini?



            Sebagai perempuan sejak kecil saya sudah diajarkan bagaimana menjadi perempuan sejati, bahkan semua mainan yang saya miliki ketika kecil adalah investasi jiwa keperempuanan yang dibentuk dan dikembangkan oleh jaringan keluarga seperti boneka, miniatur alat memasak, dan lain sebagainya. Belum lagi dengan siapa saya sebagai perempuan “harus” bermain, ada aturan pasti bahwa perempuan selayaknya berteman dan bermain dengan perempuan. Meskipun tidak ada larangan tertulis, namun dalam lingkar persahabatan masa kecil di tahun 90-an dan anggapan umum bahwa anak perempuan yang bermain dengan anak laki-laki adalah perempuan yang “kurang” perempuan dan cenderung nakal, karena ikut memainkan permainan berbahaya seperti perang-perangan dan balapan sepeda di jalanan. Bagaimana perempuan bertindak dan berkata di dalam masyarakat sesunguhnya merupakan sebuah konstruksi sosial, yaitu sebuah bentukan budaya yang terus menerus diproduksi. 

Sedari kecil kita sebagai perempuan terbiasa membayangkan untuk menjadi perempuan yang anggun. dan perempuan yang dianggap anggun dan luar biasa itu adalah seperti Kartini. Tentu kita masih sangat hapal dengan lagu Ibu Kita Kartini, salah satu lagu wajib nasional ciptaan W.R Supratman. Namun sadarkah kita, jika impresi atau kesan yang ditimbulkan oleh lirik lagu ini menjadi begitu dalam tanpa kita sadari? Seperti terlihat di lirik lagunya; Ibu kita Kartini putri sejati; Putri Indonesia harum namanya; Ibu kita Kartini Pendekar bangsa; Pendekar kaumnya untuk merdeka. Lirik lagu tersebut menyelami dan membentuk alam bawah sadar bahwa putri atau perempuan sejati itu adalah Kartini dan membentuk sebuah kesepakatan umum bahwa Kartini adalah satu-satunya perempuan sejati  yang patut untuk dikagumi dan diteladani termasuk oleh anak perempuan usia sekolah dasar yang mulai mencari sosok perempuan panutan sebagai sebuah imajinasi untuk masa depan.

            Pemerintah melalui lembaga lembaga pendidikan seperti sekolah juga turut membentuk sebuah pemahaman yang dimaknai bersama sebagai sesuatu yang benar dan baku. Misalnya peringatan hari kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April setiap tahunnya. Setiap tahun tanggal 21 april diperingati sebagai hari Kartini, di beberapa sekolah akan diadakan berbagai acara yang bertema perempuan seperti lomba memasak sampai lomba peragaan busana. Kesemuanya menampilkan perempuan yang anggun dan keibuan. Hal yang mengusik hati saya sejak lama adalah ketika kecil saya selalu bertanya “siapa Kartini?”  jawaban yang sering saya dapatkan adalah Kartini merupakan salah satu pahlawan perempuan yang memperjuangkan pendidikan. Lebih dari itu, saya ingin bertanya siapa Kartini yang mampu menjadi pahlawan perempuan yang memiliki hari istimewa setiap tahunnya untuk diperingati? Sebegitu kuatkah pengaruh surat-surat ( terangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang) yang dia tulis kepada sahabatnya di Belanda tentang keluh kesah, kekecewaan, dan keterbatasan yang dimilikinya. Karena meskipun terlahir di keluarga terpandang, namun Kartini memiliki banyak keterbatasan, termasuk keterbatasan untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda yang sudah dia inginkan sejak lama. Lalu saya kembali ingin bertanya “Siapa Kartini?”

Refleksi Ke-Acehan

            Tidak adanya pahlawan perempuan Aceh yang memiliki hari yang diperingati tiap tahunnya menurut saya adalah hal yang wajar, karena Aceh memiliki terlalu banyak pahlawan perempuan. Terlalu banyak sosok perempuan luar biasa  di Aceh sehingga masyarakat Aceh tidak akan sanggup untuk memperingatinya satu persatu. Dan akhirnya yang sering dijadikan alasan banyak kalangan bahwa tidak perlu untuk memperingati hari pahlawan perempuan Aceh, cukup dengan mengenangnya di dalam hati saja. Namun, alangkah sayangnya anak-anak perempuan Aceh yang sedang mencari sosok panutan. Mereka tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mengenal sosok-sosok perempuan Aceh, karena keluarga dan masyarakat kurang mensosialisasikan sosok-sosok itu.

Sosok-sosok perempuan Aceh yang luar biasa itu misalnya ratu-ratu yang dimiliki Aceh selama 59 tahun. Aceh selama kurun waktu itu dipimpin oleh beberapa ratu yang cakap dalam bidang pemerintahan. Mereka mampu memimpin Aceh dengan sangat luar biasa dan mematahkan anggapan bahwa dalam Islam perempuan tidak boleh atau mampu menjadi seorang pemimpin. Disisi militer hadir Malahayati, seorang laksamana perempuan pertama di dunia yang memiliki keberanian luar biasa bersama pasukan angkatan laut perempuan yang dipimpinnya melawan portugis yang mengganggu jalur dagang di selat Malaka. Keberanian itu diperoleh Malahayati sejak kecil karena keluarganya selalu mendorong Malahayati untuk berpikir cerdas dan terbuka. 

Sosialisasi yang dilakukan oleh keluarga, pihak sekolah, dan masyarakat tentang sosok-sosok perempuan tangguh Aceh di masa lalu pada anak-anak usia sekolah dasar mampu menjadi sebuah pembelajaran moral dan pemicu motivasi bahwa menjadi perempuan dengan segala atribut kelemahan yang selalu disandangkan kepadanya, perempuan Aceh memiliki jalan cerita yang berbeda. Lepas dari isu gender, perempuan Aceh di masa lalu membuktikan mereka mampu menjadi sosok yang hebat dengan ketegasan yang dimiliki dalam mengejar impian tanpa meninggalkan kelembutan yang mereka miliki sebagai seorang perempuan. 

Sebuah Refleksi Diri

Berada jauh dari Aceh dan merasakan hidup di tanah yang sama dengan Kartini menyadarkan saya akan satu hal, bahwa saya tidak ingin menjadi Kartini. Tanpa mengecilkan arti Kartini sebagai salah satu pahlawan nasional, saya hanya ingin menjadi perempuan Aceh, yang nantinya diperhitungkan dalam sejarah Aceh masa depan. Lebih jauh dari itu, tulisan ini hanya sekedar refleksi bagi kita masyarakat Aceh bahwa  anak-anak perempuan Aceh di masa depan tidak harus menjadi Kartini jika mereka bisa menjadi Malahayati. Dan mereka tidak perlu menjadi Kartini jika mereka bisa jauh melebihinya dengan menjadi pemimpin seperti Ratu Safiatuddin dan ratu-ratu lainnya, “berani” bermimpi dan bercita-cita adalah kunci keberhasilan karena saya yakin perempuan Aceh masa depan memiliki kesempatan yang jauh lebih besar, melebihi kesempatan yang pernah dimiliki oleh Kartini.

Sebuah tulisan di bulan Kartini.
Yogyakarta, April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar