Sebagai perempuan sejak kecil saya sudah diajarkan
bagaimana menjadi perempuan sejati, bahkan semua mainan yang saya miliki ketika
kecil adalah investasi jiwa keperempuanan yang dibentuk dan dikembangkan oleh
jaringan keluarga seperti boneka, miniatur alat memasak, dan lain sebagainya.
Belum lagi dengan siapa saya sebagai perempuan “harus” bermain, ada aturan
pasti bahwa perempuan selayaknya berteman dan bermain dengan perempuan.
Meskipun tidak ada larangan tertulis, namun dalam lingkar persahabatan masa
kecil di tahun 90-an dan anggapan umum bahwa anak perempuan yang bermain dengan
anak laki-laki adalah perempuan yang “kurang” perempuan dan cenderung nakal,
karena ikut memainkan permainan berbahaya seperti perang-perangan dan balapan
sepeda di jalanan. Bagaimana perempuan bertindak dan berkata di dalam
masyarakat sesunguhnya merupakan sebuah konstruksi sosial, yaitu sebuah
bentukan budaya yang terus menerus diproduksi.
Sedari
kecil kita sebagai perempuan terbiasa membayangkan untuk menjadi perempuan yang
anggun. dan perempuan yang dianggap anggun dan luar biasa itu adalah seperti
Kartini. Tentu kita masih sangat hapal dengan lagu Ibu Kita Kartini, salah satu
lagu wajib nasional ciptaan W.R Supratman. Namun sadarkah kita, jika impresi
atau kesan yang ditimbulkan oleh lirik lagu ini menjadi begitu dalam tanpa kita
sadari? Seperti terlihat di lirik lagunya; Ibu kita Kartini putri sejati; Putri
Indonesia harum namanya; Ibu kita Kartini Pendekar bangsa; Pendekar kaumnya untuk
merdeka. Lirik lagu tersebut menyelami dan membentuk alam bawah sadar bahwa
putri atau perempuan sejati itu adalah Kartini dan membentuk sebuah kesepakatan
umum bahwa Kartini adalah satu-satunya perempuan sejati yang patut untuk dikagumi dan diteladani
termasuk oleh anak perempuan usia sekolah dasar yang mulai mencari sosok
perempuan panutan sebagai sebuah imajinasi untuk masa depan.
Pemerintah melalui lembaga lembaga pendidikan seperti sekolah
juga turut membentuk sebuah pemahaman yang dimaknai bersama sebagai sesuatu
yang benar dan baku. Misalnya peringatan hari kartini yang jatuh setiap tanggal
21 April setiap tahunnya. Setiap tahun tanggal 21 april diperingati sebagai
hari Kartini, di beberapa sekolah akan diadakan berbagai acara yang bertema
perempuan seperti lomba memasak sampai lomba peragaan busana. Kesemuanya
menampilkan perempuan yang anggun dan keibuan. Hal yang mengusik hati saya
sejak lama adalah ketika kecil saya selalu bertanya “siapa Kartini?” jawaban yang sering saya dapatkan adalah
Kartini merupakan salah satu pahlawan perempuan yang memperjuangkan pendidikan.
Lebih dari itu, saya ingin bertanya siapa Kartini yang mampu menjadi pahlawan
perempuan yang memiliki hari istimewa setiap tahunnya untuk diperingati?
Sebegitu kuatkah pengaruh surat-surat ( terangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang) yang dia tulis kepada sahabatnya di
Belanda tentang keluh kesah, kekecewaan, dan keterbatasan yang dimilikinya. Karena
meskipun terlahir di keluarga terpandang, namun Kartini memiliki banyak
keterbatasan, termasuk keterbatasan untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda yang
sudah dia inginkan sejak lama. Lalu saya kembali ingin bertanya “Siapa Kartini?”
Refleksi
Ke-Acehan
Tidak adanya pahlawan perempuan Aceh yang memiliki hari
yang diperingati tiap tahunnya menurut saya adalah hal yang wajar, karena Aceh
memiliki terlalu banyak pahlawan perempuan. Terlalu banyak sosok perempuan luar
biasa di Aceh sehingga masyarakat Aceh
tidak akan sanggup untuk memperingatinya satu persatu. Dan akhirnya yang sering
dijadikan alasan banyak kalangan bahwa tidak perlu untuk memperingati hari
pahlawan perempuan Aceh, cukup dengan mengenangnya di dalam hati saja. Namun,
alangkah sayangnya anak-anak perempuan Aceh yang sedang mencari sosok panutan. Mereka
tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mengenal sosok-sosok perempuan Aceh,
karena keluarga dan masyarakat kurang mensosialisasikan sosok-sosok itu.
Sosok-sosok
perempuan Aceh yang luar biasa itu misalnya ratu-ratu yang dimiliki Aceh selama
59 tahun. Aceh selama kurun waktu itu dipimpin oleh beberapa ratu yang cakap
dalam bidang pemerintahan. Mereka mampu memimpin Aceh dengan sangat luar biasa
dan mematahkan anggapan bahwa dalam Islam perempuan tidak boleh atau mampu
menjadi seorang pemimpin. Disisi militer hadir Malahayati, seorang laksamana perempuan
pertama di dunia yang memiliki keberanian luar biasa bersama pasukan angkatan
laut perempuan yang dipimpinnya melawan portugis yang mengganggu jalur dagang di
selat Malaka. Keberanian itu diperoleh Malahayati sejak kecil karena
keluarganya selalu mendorong Malahayati untuk berpikir cerdas dan terbuka.
Sosialisasi
yang dilakukan oleh keluarga, pihak sekolah, dan masyarakat tentang sosok-sosok
perempuan tangguh Aceh di masa lalu pada anak-anak usia sekolah dasar mampu
menjadi sebuah pembelajaran moral dan pemicu motivasi bahwa menjadi perempuan
dengan segala atribut kelemahan yang selalu disandangkan kepadanya, perempuan
Aceh memiliki jalan cerita yang berbeda. Lepas dari isu gender, perempuan Aceh di
masa lalu membuktikan mereka mampu menjadi sosok yang hebat dengan ketegasan
yang dimiliki dalam mengejar impian tanpa meninggalkan kelembutan yang mereka
miliki sebagai seorang perempuan.
Sebuah
Refleksi Diri
Berada
jauh dari Aceh dan merasakan hidup di tanah yang sama dengan Kartini
menyadarkan saya akan satu hal, bahwa saya tidak ingin menjadi Kartini. Tanpa
mengecilkan arti Kartini sebagai salah satu pahlawan nasional, saya hanya ingin
menjadi perempuan Aceh, yang nantinya diperhitungkan dalam sejarah Aceh masa
depan. Lebih jauh dari itu, tulisan ini hanya sekedar refleksi bagi kita
masyarakat Aceh bahwa anak-anak
perempuan Aceh di masa depan tidak harus menjadi Kartini jika mereka bisa
menjadi Malahayati. Dan mereka tidak perlu menjadi Kartini jika mereka bisa
jauh melebihinya dengan menjadi pemimpin seperti Ratu Safiatuddin dan ratu-ratu
lainnya, “berani” bermimpi dan bercita-cita adalah kunci keberhasilan karena
saya yakin perempuan Aceh masa depan memiliki kesempatan yang jauh lebih besar,
melebihi kesempatan yang pernah dimiliki oleh Kartini.
Sebuah tulisan di bulan Kartini.
Yogyakarta, April 2013
Yogyakarta, April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar