A.
Politik
Oposisi Klasik
Oposisi sering dianggap
sebagai kegiatan politik yang kurang bergengsi dibandingkan kegiatan memerintah
(eksekutif). Pemahaman ini merupakan hal yang jamak mengingat kesan seseorang
tentang kekuasaan selalu tertuju pada “kekuasaan pemerintahan” saja. Karena
itu, kegiatan beroposisi lalu menjadi identik dengan aktivitas “menjatuhkan
kekuasaan”. Sebaliknya, pemerintah yang sedang berkuasa akan memandang kegiatan
oposisi sebagai ancaman kekuasaannya, karena itu ia akan berusaha mempertahankan
diri dengan cara bertanding untuk memenangkan kekuasaan. Oposisi sering
dipahami bukan sebagai kawan politik dalam memajukan kualitas demokrasi,
melainkan lebih sebagai lawan yang membahayakan kekuasaan.
Oposisi dalam bahasa
Inggris adalah opposition dan dalam
bahasa latin sering disebut dengan opposites,
opponere, yang berarti memperhadapkan, membantah, menyanggah, atau
menentang. Sementara itu definisi oposisi dalam Kamus Ilmiah Populer (Partanto
dkk: 1994) adalah golongan perlawanan atau penentangan. Sehingga jika merujuk
pada makna dari kamus tersebut, maka oposisi akan selalu dihadirkan sebagai kelompok
yang bermusuhan. Padahal, kenyataannya oposisi adalah entitas yang sangat
diperlukan dalam dunia politik modern dan oposisi menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern.
Politik oposisi dalam
kehidupan demokrasi merupakan kegiatan parlementarian yang paling terhormat
dimana norma politik oposisi menempati kedudukan tertinggi dalam etika berdemokrasi,
karena melalui norma itulah demokrasi dilindungi dari ancaman mayoritarianisme.
Politik oposisi adalah nilai yang melekat di dalam konsep demokrasi dan bertujuan
untuk menjamin agar demokrasi dapat bekerja di wilayah sekuler dan memastikan
bahwa monopoli atas kebenaran berdasarkan prinsip bahwa pemenang pemilu menentukan
seluruh kebijakan politik negara (the
winner takes all) tidak terjadi.
Tugas utama dari
politik oposisi adalah menjaga netralitas ruang publik dengan cara menyediakan
alternatif-alternatif pandangan untuk diuji secara rasional berdasarkan
kekuatan argumentasi. Sebaliknya, sistem politik yang dikendalikan oleh
ideologi-ideologi yang doktriner, tidak mengizinkan persaingan argumentasi, dan
dengan begitu politik oposisi tidak dimungkinkan.
Rawls menambahkan bahwa
sistem demokrasi harus menjamin tidak terjadinya konsensus tunggal di dalam
pengaturan kekuasaan atau overlapping
concensus dan mampu menjamin berlangsungnya
pluralitas politik. Hal mengharuskan hadirnya oposisi yang sangat diperlukan.
Sebab, oposisi menjalankan suatu fungsi yang sangat vital dan penting yaitu check and balances, oposisi dapat mengontrol
jalannya pemerintahan yang didukung mayoritas, menguji kebijakan pemerintah
dengan menunjukkan titik-titik kelemahannya, serta mengajukan alternative-alternatif
dalam pemerintahan.
Beroposisi menurut
pengamat politik Eep Saefullah Fatah berarti melakukan pengawasan terhadap praktek
kekuasaan. Pengawasan disini berarti oposisi mengabarkan kekeliruan itu dan
membangun tindakan perlawanan terhadap pemerintah ketika kekuasaan melenceng
dan ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar maka oposisi bertindak
sebagai pendukung sekaligus membangun kesadaran publik untuk memberikan
dukungan untuk konsistensi.
B.
Teori-Teori
Oposisi
1. Teori
Pilihan Rasional (Rational Choice Theory).
Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada
aktor, dalam konteks aktor oposisi di Indonesia disini maka salah satu partai
oposisi tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Aktor
dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan dan segala tindakan bermuara
pada pencapaian tujuan. Aktor pun ditandai mempunyai pilihan berupa nilai dan
keperluan. Teori ini digunakan untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan PDI
Perjuangan membuat pilihan sebagai partai oposisi.
Setelah koalisi kebangsaan gagal menempatkan
Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi menjadi presiden dan wakil presiden
pada pemilihan umum 2004, tentunya menjadi pilihan rasional bagi PDIP untuk
memproklamirkan diri sebagai partai oposisi. Fenomena ini menimbulkan banyak
pertanyaan apa yang menjadi tujuan utama PDIP menentukan sikapnya sebagai
partai oposisi? Politik selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan beresiko.
Berbagai pilihan tersebut dapat menjadi benar
apabila disekati dengan rasionalitas. Itulah mengapa di dalam ilmu politik
dikenal teori pilihan rasional (rational
choice theory).
2. Teori
Kecerdasan Oposisi
James Redfield bukanlah seseorang yang dikenal
sebagai seorang analitis politik. Namun idenya dalam menggagas suatu teori
tentang kecerdasan oposisi yakni
suatu bentuk kecerdasan selain kecerdasan intelektual, emosional, serta
spiritual, dapat kita kembangkan untuk melihat bagaimana suatu kekuatan oposisi
bisa berjalan efektif. Inti kecerdasan itu meliputi; pilihan ideologi gerakan,
sumber daya kelembagaan, sumber daya aktor, manajemen gerakan, serta jejaring
kerja. Salah satunya akan menunjukkan
bagaimana PDI Perjuangan menggalang kekuatan oposisi dalam parlemen. Selain
itu, teori kecerdasan oposisi akan memperlihatkan sejauh mana kecerdasan PDI
Perjuangan untuk mewujudkan oposisi yang efektif.
C.
Karakteristik Oposisi
Partai
politik menurut Robert Dahl adalah manifestasi yang paling nyata dan bentuk
oposisi yang paling efektif dalam sebuah negara demokratis. Arbi Sanit memperjelas dengan mengatakan bahwa oposisi adalah
partai-partai yang memposisikan diri di luar pemerintahan dan menjalankan
fungsi kontrol secara kritis terhadap pemerintah, baik dalam proses pembuatan
kebijakan publik hingga pengawasan dan pelaksanaan kebijakan publik di
lapangan.
Lebih lanjut ketika berbicara mengenai
oposisi, Dahl cenderung membedakan bentuk-bentuk oposisi berdasarkan beberapa
hal berikut ini.
1.
Konsentrasi
Konsentrasi
oposisi pertama berkaitan dengan sistem kepartaian yang terdapat di suatu
negara. Meskipun sistem partai tunggal murni tidak ada, kecuali pemerintah
melarang adanya partai oposisi. Umumnya
di negara-negara kecil, walaupun sementara oposisi terkonsentrasi di
partai-partai kecil, sebagian besar oposisi terbentuk golongan dalam partai
yang berkuasa. Namun, oposisi yang paling tinggi kadar konsentrasinya terdapat
di sistem dwipartai , dimana partai yang tidak berkuasa secara nyata memonopoli
kalangan oposisi. Sedangkan dalam sistem multipartai, oposisi lebih terpencar
diantara beberapa partai. Kedua, konsentrasi terkait persatuan intern dalam
partai.
2.
Daya Saing
Daya
saing oposisi tergantung pada jumlah dan sifat dasar partai, yaitu seberapa
jauh oposisi itu terkonsentrasi. Kemungkinan yang terjadi bila oposisi
terkonsentrasi di partai yang melulu bersifat persaingan, baik dalam pemilihan
maupun dalam parlemen, dengan melalui bermacam-macam sistem dimana strategi
oposisi bersifat kerja sama dan bersifat persaingan atau sistem dimana partai
minoritas yang biasanya menjadi oposisi bergabung dalam partai mayoritas dalam
pemilihan ataupun parlemen.
3.
Lokasi
Lokasi
adalah situasi atau keadaan dimana oposisi mempergunakan sumber dayanya untuk
mengadakan suatu perubahan (lokasi pertarungan antara oposisi dan pemerintah).
Pertarungan yang dilakukan oleh oposisi adalah dengan mempengaruhi pendapat umum
hingga akhirnya mereka mampu memenangkan kursi di pemilihan. Bahkan dapat
dikatakan bahwa pendapat umum merupakan lokasi yang paling menentukan di negara
demokrasi.
4.
Ciri Khas
Ciri
khas oposisi dalam suatu sistem politik banyak dipengaruhi oleh konsentrasi,
daya saing, dan lokasi. Dalam model klasik misalnya, oposisi jelas kelihatan.
Hal ini disebabkan oleh lokasi pertarungan antara oposisi dan pemerintah adalah
parlemen nasional, karena itu parlemen memiliki kedudukan monopoli untuk
bersaing. Dipihak lain, partai besar hanya ada dua dan cenderung bersatu sehingga oposisi akan
terkonsentrasi di satu partai. Akhirnya, kedua partai akan terus bersaing dan
partai yang kalah akan menjadi oposisi.
5.
Tujuan
Oposisi
memiliki tujuan yang dicapai dengan jalan mengubah tindakan pemerintah.
Strategi oposisi terdiri dari cara-cara yang dipilih untuk mencapai tujuan.
Tujuan itu diantaranya untuk mengubah atau menentang perubahan yang terjadi di
dalamnya (1) Kebijakan-kebijakan tertentu dari pemerintah; (2) Personalia
pemerintahan; (3) Struktur sistem politik; (4) Struktur sosial ekonomi.
6.
Strategi
Berikut
beberapa varian strategi yang dilakukan oleh oposisi:
1) Strategi
I; digunakan di sistem dwipartai yang masing-masing partai kuat persatuannya
dimana ciri oposisi menjadi sangat jelas sehingga pemilu menjadi sangat
menentukan.
2) Strategi
II; digunakan di sistem yang memiliki lebih dari dua partai besar dan memiliki
kadar persatuan yang kuat sehingga
seleksi pemerintahan (kabinet dan eksektif) sangat menentukan.
3) Strategi
III; digunakan di sistem multipartai dimana selain menggunakan strategi II
untuk masuk di kabinet dan eksekutif, oposisi juga dapat ikut dalam tawar
menawar setengah resmi dengan organisasi-organisasi raksasa.
4) Strategi
IV; digunakan di dalam sistem yang memiliki aturan dan praktik konstitusional
yang memberikan kesempatan luas untuk menghalangi aksi pemerintah.
5) Strategi
V; strategi bergabung dalam pemerintahan bertujuan untuk membatasi konflik
dalam kabinet dan akan kembali dalam pola persaingan apabila kemelut telah
berlalu.
6) Strategi
VI; strategi ini sering digunakan oleh oposisi revolusioner. Tujuan strategi
ini adalah untuk mengganggu kelancaran dari
jalannya proses politik, melemahkan keabsahan, dan melemahkan masyarakat
politik akibat dari perebutan kekuasaan.
D.
Praktek Oposisi di berbagai negara dan di Indonesia
Di negara-negara demokratis yang
secara politik telah stabil, oposisi
telah menjadi kegiatan rutin dalam kehidupan politik. Dimana pemerintah dan oposisi adalah produk
kembar dari pemilu. Maurice Duverger
menyatakan bahwa oposisi adalah partai politik yang mengambil posisi di luar
pemerintahan karena kalah dalam pemilu dan bertindak sebagai pengecam tetapi
setia pada kebijaksanaan partai yang duduk di pemerintahan. Sehingga, dengan kata
lain peran ini sewaktu-waktu bisa bertukar tangan. Mekanisme bertukar tangan ini secara prosedural
demokratis diatur dalam mekanisme pemilu.
Negara-negara
demokrasi yang sudah membilang stabil seperti Amerika, Australia dan Eropa,
persaingan politik antara pemerintah dan oposisi tidak lagi dinilai oleh publik
berdasarkan ideologi partai-partainya, melainkan berdasarkan isu strategis yang
dikembangkan oleh oposisi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Sehingga partai yang beroposisi misalnya dapat saja memanfaatkan isu strategis
untuk dikemukakan dalam pertandingan politik. Sementara itu di negara-negara
bersistem otoritarian, oposisi dengan sendirinya bekerja diluar sistem formal
dan memiliki pola yang bervariasi mengikuti sumber daya dan efektivitas
pengorganisasian. Biasanya oposisi dalam
negara otoritarian didukung penuh oleh civil
society seperti yang terjadi di Amerika Latin dan Filipina dimana terdapat peran
gereja yang sangat besar dalam membantu suksesnya oposisi.
Berbicara mengenai Indonesia, negara
ini mengalami perkembangan demokrasi yang menjanjikan. Hal ini dapat dilihat
misalnya dengan kehadiran oposisi pada masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Praktek dan bukti hadirnya oposisi sangat terlihat jelas ketika pada
tahun 2012 muncul wacana menaikan harga BBM sebagai sabuah kebijakan baru pemerintah
Susilo Bambang Yudhoyono. Kebijakan ini sendiri pada dasarnya disebabkan oleh harga
minyak dunia yang terus meningkat. Kemunculan wacana tersebut menstimulus oposisi
untuk mulai bekerja dan membuat wacana tandingan dalam mempengaruhi kebijakan.
Oposisi bermain di dua tempat yaitu parlemen dengan berusaha mempengaruhi kebijakan
tersebut dan di media massa untuk mempengaruhi pendapat publik.
Partai
oposisi yang terlibat dalam tawar menawar kebijakan tersebut salah satunya
adalah PDIP. Sehingga hal ini berujung pada pembatalan kenaikan BBM, meskipun
dengan opsi jika sampai lima bulan berturut-turut harga minyak dunia terus
meningkat maka pemerintah berhak menaikan harga BBM. Namun, dari contoh
tersebut terlihat jelas peran dan fungsi yang dijalankan oleh oposisi sangat
penting yaitu sebagai penyeimbang dalam perjalanan roda pemerintahan.
Praktek oposisi yang berbeda juga dapat dilihat misalnya
dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang cenderung lebih inklusif, dimana
semua produk pemilihan umum praktis dilibatkan dalam komposisi kabinet. Hal ini
disebabkan oleh hasil kalkulasi politik strategis presiden karena Partai
Demokrat sebagai partai pendukung tidak memenuhi mayoritas kursi di parlemen. Sehingga sangat wajar bagi Partai Demokrat
untuk membangun dukungan politik yang memadai di parlemen dengan membentuk
pemerintahan berbasis koalisi turah (Kuskridho: 2009) dan keputusan PDIP untuk
tidak bergabung di dalam koalisi dan kembali memilih jalan menjadi oposisi untuk kedua kalinya dengan alasan untuk
memelihara gagasan tentang oposisi. Meskipun, posisi oposisi PDIP kembali
dipertanyakan mengingat partai ini masih bergabung dengan partai lainnya dalam
memperebutkan jatah posisi kepemimpinan di tingkat komisi di DPR.
Daftar
Pustaka
Ambardi, Kuskrido. 2009. Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: KPG
Efriza. 2012. Political Explorer. Bandung: Alvabeta
Panuju, Redi. 2011. Studi Politik Oposisi dan Demokrasi. Yogyakarta: Interprebook
Sugiarto, Bima Arya. 2010. Anti Partai.Jakarta: Gramata Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar