Budaya Jawa memiliki pandangan tersendiri terhadap sesuatu,
yang berbeda dengan pandangan budaya lainnya. Sesuatu yang khas dalam pandangan
budaya Jawa adalah realitas dilihat
sebagai suatu kesatuan menyeluruh dan tidak terbagi-bagi. Dunia, masyarakat dan alam adikodrati dalam
budaya jawa merupakan suatu kesatuan. Pada hakekatnya, orang Jawa tidak membedakan
antara sikap-sikap religius dan bukan religius, dan interaksi-interaksi sosial
sekaligus merupakan sikap terhadap alam. Seperti segala kekuatan yang
menyatakan diri dalam alam, kekuasaan adalah ungkapan energi Ilahi yang tanpa
bentuk, yang selalu kreatif meresapi seluruh dunia. Kekuasaan bukanlah gejala
khas sosial yang berbeda dari kekuatan-kekuatan alam, melainkan ungkapan
kekuatan kosmis yang memenuhi seluruh dunia. Berbeda dengan pemaknaan kekuasaan
yang dimaknai oleh Barat umumnya sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak
pada orang lain, agar orang-orang tersebut mau mematuhi apa yang menjadi
keinginan kita.
Kekuasaan politik dalam pandangan Jawa menurut Bennedict
Anderson bersifat konkret,
karena kekuasaan politik yang ada adalah suatu bentuk ungkapan kasekten
(kekuatan yang sakti). Orang yang memiliki kasektѐn tidak dapat dikalahkan ataupun dilukai, karena orang itu sekti.
Kekuasaan itu eksis dalam dirinya sendiri, tidak bergantung pada pembawa
empiris. Bagi orang Jawa, kekuasaan adalah sesuatu yang bersifat homogen. Bentuk-bentuk kekuasaan dalam
paham Jawa hanya merupakan ungkapan realitas yang sama, berasal dari sumber
yang sama, dan berkualitas sama. Semua bentuk kekuasaan berdasarkan partisipasi
pada kekuatan yang satu yang meresapi seluruh dunia ini. Individu yang
memperoleh kekuasaan dapat kita bayangkan sebagai fluidum kekuatan
kosmis itu. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dunia Jawa
menganggap bahwa jumlah kekuasaan tersebut konstan/tetap. Karena yang dapat berubah hanyalah pembagian
kekuasaan dalam dunia. Konsentrasi kekuasaan di suatu tempat sama artinya
dengan pengurangan kekuasaan di tempat lain.
Dalam pandangan Jawa, tidak ada gagasan tentang pluralitas
kekuasaan. Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi Raja. Hal ini
menyebabkan tidak perlunya hukum
sebagai syarat legitimasi
kekuasaan dan pembatasan dalam penggunaaan kekuasaan. Paham kekuasaan Jawa
membawa akibat bahwa Raja harus mempertahankan monopoli kekuasaan mutlak karena
hanya dengan cara itulah pencitraan bagi masyarakat bahwa Raja tetap menjadi
wadah kekuatan kosmik yang ada pada kerajaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar