Translate

Sabtu, 22 Juni 2013

Debu yang Bercinta



Mungkin, kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama, kata debu frustasi.
Seperti angin yang terus bertiup dan debu yang rela beterbangan karenanya, seperti itu lah gambaran aku yang rela tersaruk-saruk mengikuti langkah mu yang kian menjauh. Mungkin memang tidak ada paksaan di dalamnya. Hanya keikhlasan tanpa kata. Lain waktu angin kembali bertiup kencang dan kini si daun yang mendapat giliran terbawa pergi olehnya. Kenapa harus dengan yang lain jika aku sang debu telah rela menyerahkan diriku seutuhnya padamu anginku? Mengapa dengan daun kau merasa bahagia padahal dia tak seutuhnya menyerahkan diri padamu seperti aku, yang berserah seutuhnya seperti aku. Ku beri tahu padamu angin (ku anggap kau mungkin belum mengetahuinya) daun adalah kekasih pohon yang menjulang di puncak gunung raksasa, bagaimana mungkin kau bisa bersama nya sedangkan denganku sang debu pun kau seringkali merasa lebih hina? Mungkin waktu setengah windu saja belum membuatku cukup mengenalmu angin, atau kah selama ini kau hanya bersandiwara saja? Berpura-pura cukup bersama ku padahal kau tengah merancang hari agungmu dengan si daun tak tahu diri itu. Maaf akhirnya kamu harus mendengar makian pertamaku (setidaknya setelah kita saling berikatan mesra). Pertengkaran kita menyadarkanku kita tak setenang telaga lagi, kita lebih seperti kubangan lumpur yang di dalamnya berdiam puluhan buaya yang saling dendam dan siap menggigit satu sama lain (tentu saja menggigit disini bukan sebagai ungkapan cinta tapi ekspresi kebencian yang memuncak). Padahal kamu tahu, aku hanyalah debu yang rela tercerabut dari kedamaianku hanya demi kamu angin, tapi ternyata pengorbanan sebesar ini pun menjadi tidak berguna ketika akhirnya kau rela terpincang-pincang mendaki gunung yang tinggi hanya demi bersama daun keparat itu (ini makian keduaku angin, semoga kamu bangga mendengarnya). 

Selama ini aku rela dipandang hina oleh yang lain karena kukira apa pentingnya yang lain jika kau anginku memandangku sangat berharga. Tidak penting yang lain selama kita bersama menyusuri jalanan lengang di siang yang telah bolong-bolong akibat pemanasan global. Mendengar banyak makian di jalan, di rumah yang jendela nya tidak sengaja terbuka, di pasar yang pengap bahkan di gang-gang sempit tempat tikus berkembang biak dengan bahagianya. Alangkah indahnya dunia ketika menjalani masa itu berdua denganmu, persetan dengan tanah yang melarangku pergi atau batu-batu yang mencemooh kenekatanku untuk pergi bersamamu, aku hanya tahu kamu lah takdirku. Aku juga masih ingat masa ketika matahari bersinar terik dan menghangat, dan kita semakin lengket mesra berdua terombang-ambing ke selatan dan ke utara sesuka hati kita sambil sesekali menertawai manusia-manusia bodoh yang kesulitan bernapas karena kita, bahkan ada yang matanya memerah seperti menangis ketika kita menyapa lembut terkadang keras pada mereka. Tapi tetap saja itu dulu, dulu sekali, kenangan yang tanpa sengaja selalu tersimpan rapi dalam mimpi-mimpiku akanmu. Pengorbanan sia-sia dan kesetiaan percuma ini membuatku lelah mencari arti cinta karena penawaran akan cinta kini terlihat sama seperti wajah politisi yang tersenyum manis-tapi palsu- di baliho sepanjang jalanan kota. Aku sudah lelah, mungkinkah ini salahmu angin? Salah daun (keparat) itu? Atau salah aku-debu sialan- yang selalu merasa benar sendiri? Aku tertawa gila, bentuk ekspresi kefrustasian setelah berpisah jarak dan hati denganmu. Kemana gila ini akan berlabuh jika semua tempat bersinggah telah tertutup rapat-bergembok- untukku, si debu gila yang mempertanyakan kebenaran cinta. Aku masih debu yang sama, bedanya kini aku lebih tercerabut dari debu yang dulu dan aku masih mencari angin yang setia padaku, hingga kegilaan ini berakhir. Salam keparat.

Medan, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar