Mungkin, kita memang tidak
ditakdirkan untuk bersama, kata debu frustasi.
Seperti angin
yang terus bertiup dan debu yang rela beterbangan karenanya, seperti itu lah
gambaran aku yang rela tersaruk-saruk mengikuti langkah mu yang kian menjauh.
Mungkin memang tidak ada paksaan di dalamnya. Hanya keikhlasan tanpa kata. Lain
waktu angin kembali bertiup kencang dan kini si daun yang mendapat giliran terbawa
pergi olehnya. Kenapa harus dengan yang lain jika aku sang debu telah rela menyerahkan
diriku seutuhnya padamu anginku? Mengapa dengan daun kau merasa bahagia padahal
dia tak seutuhnya menyerahkan diri padamu seperti aku, yang berserah seutuhnya
seperti aku. Ku beri tahu padamu angin (ku anggap kau mungkin belum
mengetahuinya) daun adalah kekasih pohon yang menjulang di puncak gunung
raksasa, bagaimana mungkin kau bisa bersama nya sedangkan denganku sang debu
pun kau seringkali merasa lebih hina? Mungkin waktu setengah windu saja belum
membuatku cukup mengenalmu angin, atau kah selama ini kau hanya bersandiwara
saja? Berpura-pura cukup bersama ku padahal kau tengah merancang hari agungmu
dengan si daun tak tahu diri itu. Maaf akhirnya kamu harus mendengar makian
pertamaku (setidaknya setelah kita saling berikatan mesra). Pertengkaran kita menyadarkanku
kita tak setenang telaga lagi, kita lebih seperti kubangan lumpur yang di
dalamnya berdiam puluhan buaya yang saling dendam dan siap menggigit satu sama
lain (tentu saja menggigit disini bukan sebagai ungkapan cinta tapi ekspresi
kebencian yang memuncak). Padahal kamu tahu, aku hanyalah debu yang rela
tercerabut dari kedamaianku hanya demi kamu angin, tapi ternyata pengorbanan
sebesar ini pun menjadi tidak berguna ketika akhirnya kau rela
terpincang-pincang mendaki gunung yang tinggi hanya demi bersama daun keparat
itu (ini makian keduaku angin, semoga kamu bangga mendengarnya).
Selama ini aku
rela dipandang hina oleh yang lain karena kukira apa pentingnya yang lain jika
kau anginku memandangku sangat berharga. Tidak penting yang lain selama kita
bersama menyusuri jalanan lengang di siang yang telah bolong-bolong akibat
pemanasan global. Mendengar banyak makian di jalan, di rumah yang jendela nya
tidak sengaja terbuka, di pasar yang pengap bahkan di gang-gang sempit tempat
tikus berkembang biak dengan bahagianya. Alangkah indahnya dunia ketika
menjalani masa itu berdua denganmu, persetan dengan tanah yang melarangku pergi
atau batu-batu yang mencemooh kenekatanku untuk pergi bersamamu, aku hanya tahu
kamu lah takdirku. Aku juga masih ingat masa ketika matahari bersinar terik dan
menghangat, dan kita semakin lengket mesra berdua terombang-ambing ke selatan
dan ke utara sesuka hati kita sambil sesekali menertawai manusia-manusia bodoh
yang kesulitan bernapas karena kita, bahkan ada yang matanya memerah seperti
menangis ketika kita menyapa lembut terkadang keras pada mereka. Tapi tetap
saja itu dulu, dulu sekali, kenangan yang tanpa sengaja selalu tersimpan rapi
dalam mimpi-mimpiku akanmu. Pengorbanan sia-sia dan kesetiaan percuma ini
membuatku lelah mencari arti cinta karena penawaran akan cinta kini terlihat
sama seperti wajah politisi yang tersenyum manis-tapi palsu- di baliho
sepanjang jalanan kota. Aku sudah lelah, mungkinkah ini salahmu angin? Salah
daun (keparat) itu? Atau salah aku-debu sialan- yang selalu merasa benar
sendiri? Aku tertawa gila, bentuk ekspresi kefrustasian setelah berpisah jarak
dan hati denganmu. Kemana gila ini akan berlabuh jika semua tempat bersinggah
telah tertutup rapat-bergembok- untukku, si debu gila yang mempertanyakan
kebenaran cinta. Aku masih debu yang sama, bedanya kini aku lebih tercerabut
dari debu yang dulu dan aku masih mencari angin yang setia padaku, hingga
kegilaan ini berakhir. Salam keparat.
Medan, 2012
Medan, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar