Translate

Minggu, 23 Juni 2013

DIA



Menjelang shalat tarawih
 
Gadis mungil itu masih berdiri disana, ditempat biasa dia menjejakkan kaki mungilnya di jam-jam seperti ini, di depan Mesjid At-Taqwa. Jangan menyangka dia gadis mungil itu berumur belasan tahun, jika saja anda tahu, anda pasti terkejut, dia benar-benar masih sangat mungil, tepatnya dua tahun. Banyak orang bertanya-tanya, mungkin juga anda, apa yang dikerjakan gadis mungil (seorang balita) di depan sebuah mesjid setiap menjelang shalat tarawih sendirian, sebenarnya apa yang dia cari? Masih tanda tanya.

Sepuluh menit sebelumnya. 

Sesosok gadis mungil berjalan tertatih-tatih menuju mesjid, dia seorang diri memandangi mesjid, lebih tepatnya memandangi jamaah shalat tarawih, dan dia hanya akan melangkah pergi (atau mungkin pulang) setelah mendengar takbir rakaat pertama shalat tarawih dikumandangkan oleh sang imam. Sebenarnya apa yang dia cari? Masih tanda tanya.

Tiga puluh menit sebelumnya.

Gadis mungil itu, bergegas melangkah dari rumah menuju mesjid disaat semua anggota keluarga sibuk sendiri dengan urusannya. Tidak ada yang peduli meski panggilan shalat mulai menggetarkan suasana desa yang tenang, tapi ternyata azan hanya menggetarkan suasana desa bukan hati penduduknya yang mulai keras tertutup oleh nafsu akan dunia. Penghuni rumahnya bahkan tidak menyadari bahwa si gadis mungil sangat ingin melihat mereka semua shalat di mesjid, setidaknya Ramadan ini mereka bisa hadir sebagai jamaah shalat tarawih. Namun, semua itu hanya sebatas harapan si gadis mungil semata, keluarganya sudah tidak ingat mesjid sepertinya. Apakah itu permintaan yang sangat besar? Sayang, si gadis mungil belum punya perbendaharaan kata sebanyak dan sebijak itu untuk disampaikan dihadapan keluarganya, yang dia mampu hanyalah memandangi mesjid sambil membayangkan keluarganya akan menjadi salah satu jamah disana. Masih sebatas harapan dan Tanya kapan itu akan terjadi.

Dua tahun sebelumnya.

Wajah bulat dan hidung bangir serta kulit putih bersih, begitulah dia diciptakan Allah. Kelahirannya sangat dinantikan oleh seluruh keluarga, sang ayah melafalkan azan dan iqamah di cuping telinganya yang mungil, dan kehangatan pun serta merta hadir di hatinya, bahkan sang bunda, nenek, dan bibi serta paman mendoakan agar dia menjadi anak yang shalehah, dan dia hanya bisa mengaminkan dalam hati sambil menyunggingkan senyum manis pertamanya. Dan dia berjanji akan membawa keluarganya menuju surga yang dijanjikan Allah.

Dua tahun berikutnya.

Aku selalu bertemu dengannya di depan mesjid menjelang shalat tarawih. Siapa dia? Darimana asalnya sedikit banyak aku tahu, tapi tidak mau ambil pusing. Apalagi aku hanyalah pendatang baru di desa ini. Namun setelah hampir puasa ke dua puluh tujuh dia masih setia mengamati mesjid, maka tergelitik hatiku untuk menyapanya. Dan seperti dugaanku, dia hanyalah gadis mungil yang belum pintar berbicara, hanyalah sepatah dua patah kata sapaan, seperti kakak. tapi tak apalah. Melihat keantusiasannya pada mesjid saja sudah cukup membuatku terharu. Aku menduga, dia berasal dari keluarga yang sangat religius. Dan dalam hati aku mendoakan untuk kebaikannya di masa depan. Ah…masa depan, akan jadi gadis seperti apa dia dua puluh tahun lagi. Akankah tetap menjadi seorang yang sangat peduli pada mesjid atau malah pihak yang sangat mengkritisi fungsi mesjid. Semoga menjadi yang pertama. Menjelang takbir rakaat pertama shalat tarawih, arus pikiranku masih berputar tentang dia. Akan menjadi apa dia nantinya? Aku masih bertanya-tanya dalam hati. Astaghfirulla… waktunya aku shalat tarawih, urusan si gadis mungil biar Allah yang menjaga kesucian imannya dan dia menjadi ahli surgaMu kelak ya Rabb. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar