Menjelang
shalat tarawih
Gadis mungil itu masih
berdiri disana, ditempat biasa dia menjejakkan kaki mungilnya di jam-jam
seperti ini, di depan Mesjid At-Taqwa. Jangan menyangka dia gadis mungil itu berumur
belasan tahun, jika saja anda tahu, anda pasti terkejut, dia benar-benar masih
sangat mungil, tepatnya dua tahun. Banyak orang bertanya-tanya, mungkin juga
anda, apa yang dikerjakan gadis mungil (seorang balita) di depan sebuah mesjid
setiap menjelang shalat tarawih sendirian, sebenarnya apa yang dia cari? Masih
tanda tanya.
Sepuluh
menit sebelumnya.
Sesosok gadis mungil
berjalan tertatih-tatih menuju mesjid, dia seorang diri memandangi mesjid,
lebih tepatnya memandangi jamaah shalat tarawih, dan dia hanya akan melangkah
pergi (atau mungkin pulang) setelah mendengar takbir rakaat pertama shalat
tarawih dikumandangkan oleh sang imam. Sebenarnya apa yang dia cari? Masih
tanda tanya.
Tiga
puluh menit sebelumnya.
Gadis mungil itu,
bergegas melangkah dari rumah menuju mesjid disaat semua anggota keluarga sibuk
sendiri dengan urusannya. Tidak ada yang peduli meski panggilan shalat mulai
menggetarkan suasana desa yang tenang, tapi ternyata azan hanya menggetarkan
suasana desa bukan hati penduduknya yang mulai keras tertutup oleh nafsu akan
dunia. Penghuni rumahnya bahkan tidak menyadari bahwa si gadis mungil sangat
ingin melihat mereka semua shalat di mesjid, setidaknya Ramadan ini mereka bisa
hadir sebagai jamaah shalat tarawih. Namun, semua itu hanya sebatas harapan si
gadis mungil semata, keluarganya sudah tidak ingat mesjid sepertinya. Apakah
itu permintaan yang sangat besar? Sayang, si gadis mungil belum punya
perbendaharaan kata sebanyak dan sebijak itu untuk disampaikan dihadapan
keluarganya, yang dia mampu hanyalah memandangi mesjid sambil membayangkan
keluarganya akan menjadi salah satu jamah disana. Masih sebatas harapan dan
Tanya kapan itu akan terjadi.
Dua
tahun sebelumnya.
Wajah bulat dan hidung
bangir serta kulit putih bersih, begitulah dia diciptakan Allah. Kelahirannya
sangat dinantikan oleh seluruh keluarga, sang ayah melafalkan azan dan iqamah
di cuping telinganya yang mungil, dan kehangatan pun serta merta hadir di
hatinya, bahkan sang bunda, nenek, dan bibi serta paman mendoakan agar dia
menjadi anak yang shalehah, dan dia hanya bisa mengaminkan dalam hati sambil
menyunggingkan senyum manis pertamanya. Dan dia berjanji akan membawa
keluarganya menuju surga yang dijanjikan Allah.
Dua
tahun berikutnya.
Aku selalu bertemu
dengannya di depan mesjid menjelang shalat tarawih. Siapa dia? Darimana asalnya
sedikit banyak aku tahu, tapi tidak mau ambil pusing. Apalagi aku hanyalah
pendatang baru di desa ini. Namun setelah hampir puasa ke dua puluh tujuh dia
masih setia mengamati mesjid, maka tergelitik hatiku untuk menyapanya. Dan
seperti dugaanku, dia hanyalah gadis mungil yang belum pintar berbicara,
hanyalah sepatah dua patah kata sapaan, seperti kakak. tapi tak apalah. Melihat
keantusiasannya pada mesjid saja sudah cukup membuatku terharu. Aku menduga,
dia berasal dari keluarga yang sangat religius. Dan dalam hati aku mendoakan
untuk kebaikannya di masa depan. Ah…masa depan, akan jadi gadis seperti apa dia
dua puluh tahun lagi. Akankah tetap menjadi seorang yang sangat peduli pada
mesjid atau malah pihak yang sangat mengkritisi fungsi mesjid. Semoga menjadi
yang pertama. Menjelang takbir rakaat pertama shalat tarawih, arus pikiranku
masih berputar tentang dia. Akan menjadi apa dia nantinya? Aku masih
bertanya-tanya dalam hati. Astaghfirulla… waktunya aku shalat tarawih, urusan
si gadis mungil biar Allah yang menjaga kesucian imannya dan dia menjadi ahli
surgaMu kelak ya Rabb. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar