Translate

Senin, 23 Desember 2013

Sang Calon

T : Apa kabar?

R : Baik

T : Lagi dimana sekarang?

R : Mdn

T : Kapan ke Jakarta?

R : Bru balik

T : (Terdiam)

Setelah sekian lama berpisah, hanya sepeti itu komunikasi yang terjadi, selalu si perempuan yang memulai dan dipatahkan oleh si pria. Si perempuan malang itu bernama Tika sedangkan pria yang sedang dibicarakan tadi adalah Rian tunangannya kalau tidak ingin disebut sebagai calon suami itu. Selalu komunikasi satu arah, padahal menurut pakar komunikasi, komunikasi yang baik adalah apabila minimal terdapat dua belah pihak yang saling berinteraksi, bukan hanya satu pihak.

Berbicara mengenai calon suami Tika yaitu Rian adalah hal yang membosankan. Bagaimana tidak bila selama ini pengetahuan yang berkembang mengatakan bahwa para pria sering kebingungan mengartikan sikap dan kata-kata perempuan yang multitafsir, misalnya kata "terserah" yang memiliki ribuan makna. Nyatanya ada satu sosok yang lepas dari objek penelitian para ilmuan hubungan antar manusia, yaitu Rian. Si kalem nomor wahid di abad ini.

Pertemuan mereka bukan hal yang biasa, sangat biasa malah. Mereka tinggal dalam komunitas dan lingkungan yang sama meskipun terpaut usia yang relatif jauh. Mereka dekat memang, tapi hanya sebatas hubungan manusia satu komunitas yang orang tuanya satu komunitas, dan nenek-kakek mereka juga satu komunitas, begitu lah cara mereka saling mengenal dan tidak ada yang spesial dengan itu.

Lingkungan remaja selanjutnya menjadikan mereka dekat dan saling memahami, bahkan kungkungan prinsip komunitas "tertutup" yang keluarga mereka jalani menjadikan mereka dewasa dan saling menguatkan. Seringkali di waktu senggang mereka bercerita dan tertawa bersama mencandai kehidupan masing-masing yang absurd, bahkan tentang keluarga besar mereka. Namun masih bukan hal yang spesial. 

Tahun pun berlalu, demi menempuh pendidikan masing-masing, Tika dan Rian menjalani masa mahasiswa di tempat yang berjauhan, mereka saling menghilangkan kabar dan tenggelam dalam romansa kampus masing-masing, terlebih mereka sama-sama memiliki kekasih meskipun hal tersebut masih dirahasiakan dari keluarga besar karena itu adalah aib yang harus disimpan dalam-dalam di kantong celana dan mereka sepakat tentang itu. Hingga akhirnya kehidupan cinta mereka sama-sama kandas karena jarak yang jauh setelah menamatkan pendidikan.

Dan dunia menjadi jungkir balik ketika mereka kembali ke dalam komunitas. Mereka dipertunangkan. Bukan kabar yang menggembirakan memang namun bukan juga kabar sedih. Sejak lama mereka memang saling mengagumi, namun bukan dengan cara ini cinta mereka harus bersatu, terlebih bukan dengan bujukan dan rayuan komunitas. Pernahkah kalian mendengar ungkapan "seperti anak kecil, semakin dilarang semakin dia ingin, namun apabila dipaksa dia akan menolak dan melawan". Mungkin seperti itu lah hubungan kami kini, dari putih menuju abu-abu dan sekaran akan menjadi gelap pekat. Disaat Tika mencoba menerima keadaan dengan lapang dada dan mulai mencintai perlahan, disisi berbeda Rian menunjukkan kuasa perlawanannya, dia menjauh dan semakin jauh untuk dijangkau dan perlahan mulai belajar untuk menyakiti Tika. Tidak, sikapnya tidak berubah, dia masih Rian yang dulu, tapi tolong jangan tanyakan perhatian dan romantisme padanya, karena jika ujian nasional memasukkan dua unsur itu, pasti dia akan tidak lulus ujian nasional, Rian telah menjelma menjadi Rian yang super cuek.

Di kampus dulu, Tika pernah belajar mengenai perlawanan yang menurut pakarnya James Scott unt dikatakan sebagai senjata kaum yang lemah. Artinya, ketika seorang individu atau kelompok ingin melakukan perlawanan namun menyadari ketidakberdayaannya (misal dengan ketiadaan senjata yang mumpuni) maka kelompok ini akan melawan secara underground atau bawah tanah atau bahasa lainnya akan melawan secara diam-diam. Mungkin hal ini lah yang telah dilakukan oleh Rian, dia tahu dia lemah di hadapan keluarganya dan tidak mampu menolak segala tuntutan mereka sehingga dia mendorong Tika untuk menolak rencana pernikahan mereka, tidak secara terus terang namun dengan mengabaikannya. Karena sesungguhnya pengabaian bagi seorang wanita lebih tajam dari pisau dalam melukai hati.

Sesulit itukah Rian untuk menerima Tika? padahal di saat yang sama Tika sudah mulai menyukainya sebagai seorang pria.Dalam malam-malam yang sepi dan dingin Tika menulis puisi cinta pertamanya untuk Rian, puisi yang dia tulis di selembar kertas, hanya untuk disimpan dan menemani tidurnya yang akhir-akhir ini gundah sejak kedatangan pria lain yang juga memesonanya dalam diam.

Sang Kabut

Pagi ini dia datang, entah mengapa aku senang
Mungkin karena aku mengira pagiku tak akan lagi sepi
Namun ketika siang datang dia hilang
Mengunjungi pagi lain yang tidak ku kenal
Aku cemburu
Mungkinkah dia lebih indah
Sehingga kau betah berlama-lama disana?
Andai kabut tahu kalau selalu ada dia di mataku
Meski siang datang dan malam berlalu
Selalu...

**Untuk seseorang yang selalu ada di hati

Rabu, 18 Desember 2013

Gegar Otak

Awalnya terpikir otak ini sudah pecah, tidak mampu lagi menampung apalagi kalau untuk memikirkan dirinya. Penuh sudah "overload". Sekian lama tidak bertemu membuat otak ini bekerja ekstra merangkai kisah dan kenangan yang ada dan sesekali menerka-nerka seperti apa dia, apa yang akan dia bicarakan, dan bagaimana sikap yang pantas ketika bertemu nanti.
 
Dan hari itu pun tiba. Setidaknya ada tiga kali pertemuan, tapi pertemuan tanpa kesimpulan. Ibarat tulisan kami hanya berkutat di latar belakang dan "seperti" ketakutan memasuki bagian pertanyaan. Pertanyaan yang dari dulu dinantikan. Sbenarnya akan dibawa kemana hubungan ini? sebatas inikah? hanya seorang abang dan adik saja? atau akan berkembang selayaknya usia mereka yang juga bertambah.

Otak ini semakin berdenyut, sakit setiap kali melihat ke layar telepon genggam. Masih berharap ada nama itu disana, bahkan sekedar menanyakan kabar saja sudah cukup. Tapi tidak ada, tidak ada apa-apa. Hanya kosong disana dan sesekali teman-temannya yang menyapa. Padahal yang diharapkan dia, abang yang akan menguatkan dikala lelah dan lemah melanda, dan saat ini sedang sering melanda.

Setiap kali sadar mungkin kami bukan apa-apa dan aku bukan siapa-siapa baginya setiap kali itu pula beban di hati semakin menumpuk, merangkai kemungkinan terindah dan terburuk disaat yang bersamaan. Adakah aku dalam hatinya? meskipun sesaat menjadi kekasih di dalam hatinya. Banyak harap bermain disana. Andai dia melihatku berbeda dan andai-andai yang lain.

Ada darah yang mengalir abstrak, mungkin ini darah dari otakku yang berdarah setiap kali memikirkan tahun itu, 2014. Memikirkan dia di tahun itu, memikirkan aku di tahun itu. Sangat ingin dia mengungkapkan rasanya SEKARANG bukan malah nanti ketika semua pria bisa saja sudah mendekati, ketika bisa saja nanti aku telah jatuh hati pada pria lain, bukan dengan dia yang diharapkan keluarga untuk bersama. Sebenarnya aku masih menantinya tapi dengan limit tapi dengan batasan yang menurut orang egois. segera ungkapkan atau aku akan memilih  pergi pada yang lain yang meskipun belum tentu pasti.

Lama-lama rasanya aku mengalami gegar otak, perlahan mulai lupa siapa dia dan kenapa aku "hampir" pernah menyukainya. Mungkin memang harus dilupakan, pria yang luar biasa baik dan tidak romantis itu. Relakan dia bersama wanita yang mampu mendampinginya. Ibarat matahari, dia akan lebih bersinar tanpa aku sang bulan berjalan disampingnya mencoba menjadi bayang-bayangnya. Biarlah aku sakit, nestapa sedikit saat ini, hingga nanti aku mampu bangkit.

Gegar otak ini makin parah, aku bahkan tidak tahu aku berada dimana, hanya gelap dan terang yang terlihat. Dinding bercat putih mengelilingiku, mengurungku untuk jangan pergi padahal ingatanku tidak akan kembali.

Roman Cinta

Ceritanya masih tentang cinta dengan sesekali urai airmata
tapi itu masih wajar..
Dibanding yang lain, mereka masih bertanya ini rasa siapa?
Ini tentang roman yang sudah pasti berakhir dengan airmata.
Ini tentang rasa yang tidak tahu milik siapa.
Tapi ini juga masih tentang cinta
Bukankah itu lebih baik daripada tiada dihembus debu?
Maka dalam hujan roman bercerita,
dalam gulita dia berbicara
cinta ini akan menuju ke dia, pasti menuju dia
Bagaimanapun caranya..

Lalu dengan apa akan berjalan?
Tongkatnya telah patah tiga
dimakan rayap kebosanan sedikit demi sedikit

Padahal roman masih bercerita
Tentang penantian
Tentang harapan
Tentang cinta tak berbalas miliknya
Tapi hari sudah mulai gelap
dan rasanya mulai takut, bagaimana cara kembali
Jalanan bertabur racun
dan roman mati sekarat di jalannya
SEkarat dalam jalinan cinta yang dia buat sendiri.


Sabtu, 05 Oktober 2013

Cinta : I guess I should have been more like that



Angin hilir mudik di kiri dan kananku. Sesekali mereka mengerling mesra padaku, namun entahlah, yang bisa kulakukan saat ini adalah memalingkan wajah secepat yang aku bisa. Aku belum bisa mengalah pada masa lalu, mungkin lebih tepatnya aku masih belum mau mengakui bahwa aku kalah. Lihatlah bahkan dedaunan juga bergoyang mencoba menggoda semangatku yang semakin menghilang. Telah sejuta kali aku merenungkan hal ini, tidak seharusnya aku masih memikirkan DIA. Persetan buaya dengan dia dan gadis baru disampingnya. Tapi bahkan jingganya senja sore ini masih tentang dia, senyumnya, dan sapa mesranya. Sudahlah…

Tiga musim yang lalu kita masih bersama, mencoba merangkai ranting yang patah menjadi sebentuk kehangatan bernama rumah yang kita isi dengan secangkir penuh tawa tiap paginya, hingga tetangga rumah kita, Jeno si burung hantu tua ikut merasakan kebahagiaan kita. Entahlah semuanya terlihat baik-baik saja ketika itu. Kecuali ketika kau mulai berbohong dan aku tidak memiliki cukup kesabaran untuk memahamimu. Lalu tiba-tiba saja hubungan kita dijungkirbalikkan kenyataan, kenyataan yang langsung membakar keringnya ranting-patah rumah kita, bahwa cintamu sudah untuk gadis yang lain.

Sejak kecil aku diajarkan oleh perkumpulan untuk menjadi burung yang setia yang tidak akan menukar cinta untuk harta atau bahkan pria yang lain. Aku adalah mascot dari kesetiaan dan cinta mendalam. Namun ternyata Tuhan menjodohkanku dengan dirimu.

Belum habis pikirku, belum hilang kecewaku kau telah terbang ke sangkar lainnya. Angin sempat membocorkan rahasiamu padaku. Katanya dia cantik,  She's beautiful in her simple little way and she don't have too much to say when she gets mad. Oh, tentu kau merasa damai di dunia tenang itu, sedamai kau meninggalkan aku dengan semua rumor yang berkembang dengan prasangka bertabur seakan aku lah yang mengusirmu dari hidupku dan kau hanya lah burung kesepian yang mengharapkan tempat berlindung dari dia. Gadis barumu di ranting-patah rumahmu yang baru, tanpa aku pastinya.

Penghujung musim yang sepi bertambah suram ketika angin kembali membocorkan rahasiamu yang lain, katanya “she understands and she don't let go of anything even when the pain gets really bad”. I guess I should have been more like that.

Senja sore ini kembali melengkungkan senyummu yang selalu berhasil membuatku bahagia meskipun kau telah berbohong, meskipun…meskipun…
Benar kata angin, dia lebih kuat dibanding aku dan you love her as she loves you with all she has
Seharusnya aku bisa seperti itu juga dulu…


Malam tadi kau meneleponku, sekitar lima menit yang berharga, seharga hukuman mati bagiku ketika ka uterus memujanya bahwa she's beautiful in her simple little way. Cukup! Aku memang dilahirkan dalam kesetiaan namun aku tetap seekor burung yang punya harga diri dan tidak rela jika terus dibohongi.

Musim gugur ini adalah akhir penantianku untukmu, aku sudah memutuskan untuk membangun rumah di selatan, meninggalkan kamu dan dia untuk bahagia. Ada senyum terpancar di raut wajahnya tepat ketika handpone itu berdering dan  memunculkan nama pria yang baru, sudah saatnya aku terbang.

**Terinspirasi lagu More Like Her milik Miranda Lambert

Drama Uang bernama Logam (Cerita Hidup Sebuah Uang Logam)


Berbicara soal koin maka ada banyak hal yang menarik perhatianku sebagai pecinta koin. Sebagai generasi 90-an tentu kita sudah berteman akrab dengan koin karena koin adalah uang dalam bentuk logam yang diberikan oleh orang tua kita ketika bersekolah, apalagi kalau bukan untuk jajan di kantin. Uang Rp.200  kala itu sudah sangat luar biasa bahkan semenjak saya dibelikan celengan atau tabungan berbentuk ayam jantan saya mulai menabung Rp.50 hingga Rp.100 setiap harinya, menunggu dengan sabar setiap harinya hingga tabungan penuh dan dapat dibelikan benda-benda yang sangat saya inginkan. 

Perkembangan koin mungkin terlalu pesat sehingga saya abai atau terlambat menyadari sejak kapan koin sudah tidak dapat digunakan sebagai alat jual beli di daerah saya tinggal. Ohiya, saya mungkin belum mengatakan dengan gamblang, saya tinggal disebuah desa yang tidak jauh dari kota kecamatan di pantai barat Aceh. Koin disini dipandang sangat rendah, mungkin jika dia dapat menangis dia akan menangis sekeras-kerasnya. Jika di daerah lain dia masih dipandang bahkan dimuliakan sebagaimana seharusnya sebuah mata uang terbitan pemerintah, lain halnya di kecamatan ini oh saya mungkin kurang peka mungkin saja di provinsi ini. Tapi mari kita bicarakan lingkup yang lebih saya mengerti saja. 




Di daerah tempat saya tinggal, saya pernah mendengar desas desus bahwa uang sejenis koin tidak akan diterima lagi sebagai bentuk pembayaran atau bahasa kerennya sudah tidak laku lagi. Terang saja ketika itu saya hanya tersenyum dan heran, loh kok bisa? bukannya kita masih tinggal dan hidup di Indonesia ya?. Namun setelah saya mengalami sendiri pengalaman tertolak ketika ingin membayar segelas bubur yang saya beli dengan pecahan logam Rp.500 dua biji, si ibu penjual langsung-dengan setengah histeris- mengatakan bahwa uang logam itu sudah tidak laku dan tidak akan ada lagi toko atau penjual lain yang mau menerimanya- bahkan tidak juga dengan lembaga resmi penyimpanan uang milik pemerintah bernama BANK, Bank A*** atau pun B** yang berkantor di daerah tempat saya tinggal.
 
Dengan muka kecut saya mengatakan bahwa saya tidak memiliki uang selain itu untuk menggenapi pembelian saya dan saya terpaksa memecahkan uang puluhan ribu saya demi membayar segelas bubur. Itu lah sepenggal pengalaman saya, jika ada yang bertanya apa yang saya rasakan ketika itu, saya akan langsung menjawab, "apakah saya termasukashabul kahfi yaitu pemuda yang ditidurkan oleh Allah di dalam gua selama ratusan tahun dan kemudian dibangunkan kembali oleh Allah dan ketika menuju pasar mereka baru menyadari bahwa mereka telah tertidur selama ratusan tahun karena uang yang mereka miliki sudah tidak laku lagi".

Oke mungkin sedikit berlebihan, tapi apakah benar tindakan para pegawai Bank milik pemerintah tersebut karena mengatakan mereka tidak mau menerima penukaran uang logam dari masyarakat. Jika pun memang kantor cabang Bank tersebut belum memiliki alat untuk menghitung koin atau uang logam sebaiknya katakan dan berikan masyarakat penjelasan bukan melakukan pembohongan seperti ini. Mereka dengan enteng mengatakan mereka tidak menerima penukaran uang logam, hal tersebut pasti dipahami oleh masyarakat bahwa uang logam sudah tidak laku lagi, buktinya Bank pemerintah pun sudah tidak mau lagi menerima penukaran uang logam.

Sekarang siapa yang harus dipersalahkan, uang logam? masyarakat? atau pihak Bank? demi perdamaian yang sama-sama kita junjung tinggi mungkin persalahkan saja saya yang sangat mencintai uang logam dan masih setia menggunakannya untuk berbelanja, membayar parkir, bahkan membayar jasa seorang bahkan puluhan pengamen di jalanan yang sangat membutuhkan uang bahkan walaupun itu berbentuk logam tentu saja saya lakukan di kota lain, tempat yang lebih ramah terhadap uang logam, tempat dimana sementara ini jadi tempat saya belajar menghargai uang logam. Karena uang tetaplah uang yang dapat dipergunakan sebagai alat jual beli. Hidup uang logam!

Motivator Mangga

Banyak motivator mengatakan jangan jatuh ketika menerima banyak cemoohan atau hinaan justru kita harus bangkit dan buktikan bahwa yang mereka katakan salah. Ibaratnya semakin dilukai harus semakin kuat, dibunuh harus semakin tangguh. Sejujurnya dulu saya pribadi sangat mudah menyerah dan menganggap motivator yang meskipun sangat luar biasa memotivasi namun jauh dari realitas atau bahasa kerennya jauh panggang dari api.

Tapi sekarang saya belajar banyak dari pohon mangga di halaman depan rumah. Sudah berulangkali kami sekeluarga merencanakan untuk membunuhnya-dalam artian ditebang saja- karena tidak sesuai dengan iklan yang disampaikan penjualnya. Kata si penjual pohon mangga yang kami beli ini adalah tipe unggulan yang akan berbuah lebat meskipun pohonnya masih sangat kecil. Tapi ternyata....Boro-boro berbuah lebat ketika masih kecil, setelah ditunggu bertahun-tahun tuh mangga tidak juga berbuah bahkan hanya menghasilkan sampah tiap harinya. Maka dimulai lah aksi barbar kami sekeluarga mulai dari mengata-ngatai pohon tersebut sampai mengancam akan menebang dan melukainya sesekali yaitu dengan membacok batangnya. Maaf nih ya...bukan bermaksud kejam cuma berbagai cara supaya dia mau berbuah sudah dilakukan, bahkan pemupukan ini itu juga sudah, lah kok dianya malah manja tetap tidak menghasilkan apa-apa selain sampah.

Sampai hari itu tiba juga, tiba-tiba si mangga berbunga sangat lebat, dan buahnya Subhanallah....seakan dalam mimpi pun kami tidak bisa membayangkan. Terbukti sudah, kekuatan usaha si mangga yang membuktikan diri bahwa dia tidak terjatuh dengan segala hinaan dan sekaligus menghapus keraguan sang pemilik, bahwa dia mangga yang tahu berterima kasih.

Hingga kini, tepat setahun penuh si mangga telah berbuah dengan lebatnya hingga lebih dari tiga kali, sebuah angka yang pantastis mengingat dia telah lama malu-malu dan memilih untuk tidak berbuah. Buahnya yang lebat terkadang pun menimbulkan kegelisahan yang lain, batangnya masih sangat ringkih dan kecil tapi dia terus membuktikan kalau dia mampu. Sebuah pelajaran sederhana dari mangga di halaman rumah, semakin saya memandangnya maka semakin saya kagum akan perjuangannya. Banyak cara untuk bermuhasabah, mungkin salah satunya dengan lebih peduli terhadap benda-benda yang berada di sekitar kita. Mereka juga makhluk Allah yang memiliki jiwa.

Jumat, 04 Oktober 2013

Mencari Jejak ala Vella Holmes Part I

Ini adalah peristiwa kedua kalinya rumah kami dikunjungi maling.Apakah aku harus merasa tersanjung? maling-maling itu memilih rumah yang sangat tepat untuk didatangi. Oke lah, kunjungan pertamanya sukses, sukses dalam artian dia sukses membuat  kami tidak menyadari kehadirannya di rumah hingga seminggu setelah kejadian tersebut dan sukses selanjutnya adalah karena dia (atau mungkin mereka) sukses membawa perhiasan ibu tanpa kami sadari. Malam pertama merasa "didatangi" membuat kami sangat syok, bagaimana tidak, perhiasan itu sudah jauh-jauh hari direncanakan untuk dijual oleh ibu.

Kebutuhan dan biaya hidup yang mendesak terlalu banyak terlebih setelah ayah pensiun dari pekerjaan lamanya, praktis ibu lah sumber keuangan utama keluarga, sehingga tidak ada pilihan lain, perhiasan emas ibu harus dijual. Namun, maling itu punya rencana lain, diam-diam dia mendatangi rumah tanpa kami sadari. Sekedar informasi, rumah kami kecil memanjang ke belakang dengan 3 kamar tidur dan rumah kami di kelilingi pagar beton setinggi 1,5 meter berbentuk tembok-tembok bersusun sehingga otomatis jika maling itu mencuri di siang hari tidak mungkin karena tetangga rumah akan langsung mengetahuinya dan jika operasi dilakukan malam hari juga akan langsung ketahuan karena rumah kami tidak pernah dibiarkan kosong ketika malam hari. 

Suasana duka berlangsung berhari-hari di rumah kami, aku langsung khawatir dengan studiku, bagaimanapun tanpa perhiasan itu aku akan kesulitan mebayar uang semester depan. Kondisi ibu lebih memprihatinkan lagi, beliau yang merupakan seorang guru sekolah dasar berusaha menabung sedikit demi sedikit gaji yang diperoleh untuk membeli perhiasan tersebut, dan kini si maling yang sangat imut itu tega untuk mengambilnya. Hanya ayah yang masih menunjukkan sikap ksatria seorang pemimpin di situasi seperti ini. Berulang kali ayah berkata, "diikhlaskan saja yang sudah hilang, nanti Allah akan menggantikannya dengan cara lain". di saat-saat genting seperti ini aku semakin yakin, seorang perempuan perlu seorang pendamping yang tenang dan mampu berpikir rasional, dan aku harus mencari pendamping hidup kelak seperti itu (maaf curcol, hehehe).

Setelah tepat 3 minggu berlalu, hidup harus berlanjut. Situasi mulai normal seperti semula, ibu sudah terlihat ikhlas dan ayah disisi lain semakin giat bekerja di kebun-lebih dari sebelum-sebelumnya-dan aku masih menjadi sang penjaga rumah yang setia menanti kepulangan mereka.

Hingga malam yang kami takuti terjadi lagi. Sepertinya maling itu cari mati! Dia kembali mendatangi rumahku, namun kali ini kami cepat menyadarinya karena dia merusak pintu samping dengan cara mendobrak. Dia melakukannya dengan halus dan penuh perhitungan serta nyaris tanpa jejak. Kenapa nyaris? setelah dia memperkirakan kami sekeluarga pergi ke Meulaboh (sebuah kota kecil di pantai barat Aceh) dan tak kembali sebelum malam menjelang, dia melancarkan aksinya. Melakukan modus yang sama, trik yang sama, namun sayang dia salah memperkirakan AWAL BULAN. Mungkin dia mengira ibu sudah mengambil gaji atau ayah sudah memanen hasil kebun dan pasti uang itu disimpan di rumah. dia SALAH. Hahaha rasanya mau tertawa keras-keras, mungkin dia tidak tahu kami sedang defisit anggaran kalau tidak mau dibilang miskin. Semua uang uda ludes untuk mendaftarkan adik ke kampus barunya dan untuk modal ayah berkebun. Tidak ada yang tersisa. Oh maaf, sebenarnya ada yang tersisa, yaitu Jejak Kaki yang maling itu tinggalkan di dekat pintu samping. Dan sekarang aku sedang membayangkan wajah kecewanya yang pulang dengan tangan kosong padahal sudah susah payah menaiki dinding dan mendobrak pintu.

Selamat ya maling, kasus kamu resmi dibuka hari ini! Jejakmu akan membunuhmu! Vella Holmes pasti akan menemukanmu..