Telah ratusan tahun pembicaraan
tentang wanita Aceh tidak pernah usai, marilah kita duduk sejenak di bawah
pohon yang rindang dan melihat ke belakang, ternyata ada Malahayati dengan
keberaniannya, di sampingnya ada Cut Nyak Dien dengan kesetiaannya, lalu ada
sultanah-sultanah Aceh yang luar biasa kegagahannya dalam memimpin Aceh di masa
lampau. Dan kini, fokuskan perhatian ke depan, kita bisa melihat perwujudan
mereka dalam sosok wanita yang melahirkan dan membesarkan kita, Ibu. Mungkin istilah
ibu terlalu Indonesia, marilah kita gunakan kata mamak atau mak saja diobrolan
singkat ini. Silahkan ambil kopi atau gorengan, pembicaraan tentang mak mungkin
akan sedikit panjang, sepanjang kisah perjuangan mereka membesarkan kita.
Tolong jangan memuji diri sendiri dengan mengatakan bahwa anda atau kita bukan
anak yang nakal ketika kecil, biarkan memori itu diungkap oleh mak kita
masing-masing.
Alkisah, dahulu kala ada seorang ibu
yang tidak sabar menanti kelahiran anaknya, hitungan hari pun bahkan bagai
tahunan, bukan karena dia lelah atau bosan dengan anak yang bermukim di
rahimnya, tapi karena ibu telah memupuk rindu akan senyum yang akan diberikan
oleh anaknya. Dan hari pun berganti, lahirlah kita dengan kerepotan yang
selanjutnya kita berikan pada ibu, seperti rewel, menangis tengah malam, bahkan
sakit yang membuat hati seorang ibu menjadi risau. Lihatlah badannya, semakin
kurus dan pucat. Tapi itu bukan masalah baginya, senyum sang anak lebih
berharga dibanding kesehatannya.
Selanjutnya,
hari dan bulan, serta tahun pun berlalu, sang bayi berubah fisik menjadi anak
yang lincah, lalu menjadi remaja lalu dewasa. Lalu bagaimana dengan ibu? Dia
bahagia, pasti. Tapi bagaimana kita bersikap pada ibu? Silahkan jawab di hati
masing-masing.
Masih di bawah pohon rindang yang
sama, mari kita lihat tanggal 22 Desember
yang katanya adalah hari ibu. Hentikan perdebatan tentang hari ibu hanya
menjadikan kita berbuat baik pada ibu setahun sekali. Tapi apakah kita pernah berbuat
baik pada ibu meski setahun sekali? Namun setidaknya, setiap setahun sekali
ini, marilah kita merefleksikan diri, mengurai kembali kenangan kita tentang ibu.
Telah sejauh mana kita sebagai anak telah memenuhi harapan dan membanggakan
hati seorang ibu.
Bila
kita berpikir “Saya sudah memberikan hadiah gelang emas buat ibu, berarti saya
sudah jadi anak yang berbakti”. Kita salah, pernahkah kita bertanya apa harapan
terbesar ibu kita? Jangan-jangan bukan emas, rumah, atau mobil. Seringkali
seorang ibu hanya sangat ingin pergi ke makam ayah berdua dengan kita, berdoa
bersama di sana. Atau ibu ingin kita sering mengunjunginya yang sudah renta di desa.
Mungkin hanya hal sederhana seperti itu.
Cinta seorang ibu tidak melulu soal materi, yang dia butuhkan adalah
kasih sayang dan pelepasan kerinduan dengan seorang anak
Mari
lah kita istirahat sejenak, pembicaraan tentang ibu sudah terlalu panjang, minumlah
kopi yang telah disediakan, sambil mendengarkan lagu Iwan Fals yang berjudul
ibu.
IBU
Ribuan
kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu
Yogyakarta, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar