Translate

Minggu, 23 Juni 2013

Memaknai IBU



            Telah ratusan tahun pembicaraan tentang wanita Aceh tidak pernah usai, marilah kita duduk sejenak di bawah pohon yang rindang dan melihat ke belakang, ternyata ada Malahayati dengan keberaniannya, di sampingnya ada Cut Nyak Dien dengan kesetiaannya, lalu ada sultanah-sultanah Aceh yang luar biasa kegagahannya dalam memimpin Aceh di masa lampau. Dan kini, fokuskan perhatian ke depan, kita bisa melihat perwujudan mereka dalam sosok wanita yang melahirkan dan membesarkan kita, Ibu. Mungkin istilah ibu terlalu Indonesia, marilah kita gunakan kata mamak atau mak saja diobrolan singkat ini. Silahkan ambil kopi atau gorengan, pembicaraan tentang mak mungkin akan sedikit panjang, sepanjang kisah perjuangan mereka membesarkan kita. Tolong jangan memuji diri sendiri dengan mengatakan bahwa anda atau kita bukan anak yang nakal ketika kecil, biarkan memori itu diungkap oleh mak kita masing-masing.
            Alkisah, dahulu kala ada seorang ibu yang tidak sabar menanti kelahiran anaknya, hitungan hari pun bahkan bagai tahunan, bukan karena dia lelah atau bosan dengan anak yang bermukim di rahimnya, tapi karena ibu telah memupuk rindu akan senyum yang akan diberikan oleh anaknya. Dan hari pun berganti, lahirlah kita dengan kerepotan yang selanjutnya kita berikan pada ibu, seperti rewel, menangis tengah malam, bahkan sakit yang membuat hati seorang ibu menjadi risau. Lihatlah badannya, semakin kurus dan pucat. Tapi itu bukan masalah baginya, senyum sang anak lebih berharga dibanding kesehatannya.
Selanjutnya, hari dan bulan, serta tahun pun berlalu, sang bayi berubah fisik menjadi anak yang lincah, lalu menjadi remaja lalu dewasa. Lalu bagaimana dengan ibu? Dia bahagia, pasti. Tapi bagaimana kita bersikap pada ibu? Silahkan jawab di hati masing-masing.
            Masih di bawah pohon rindang yang sama, mari kita lihat tanggal 22 Desember  yang katanya adalah hari ibu. Hentikan perdebatan tentang hari ibu hanya menjadikan kita berbuat baik pada ibu setahun sekali. Tapi apakah kita pernah berbuat baik pada ibu meski setahun sekali? Namun setidaknya, setiap setahun sekali ini, marilah kita merefleksikan diri, mengurai kembali kenangan kita tentang ibu. Telah sejauh mana kita sebagai anak telah memenuhi harapan dan membanggakan hati seorang ibu.
Bila kita berpikir “Saya sudah memberikan hadiah gelang emas buat ibu, berarti saya sudah jadi anak yang berbakti”. Kita salah, pernahkah kita bertanya apa harapan terbesar ibu kita? Jangan-jangan bukan emas, rumah, atau mobil. Seringkali seorang ibu hanya sangat ingin pergi ke makam ayah berdua dengan kita, berdoa bersama di sana. Atau ibu ingin kita sering mengunjunginya yang sudah renta di desa. Mungkin hanya hal sederhana seperti itu.
Cinta seorang ibu tidak melulu soal materi, yang dia butuhkan adalah kasih sayang dan pelepasan kerinduan dengan seorang anak
Mari lah kita istirahat sejenak, pembicaraan tentang ibu sudah terlalu panjang, minumlah kopi yang telah disediakan, sambil mendengarkan lagu Iwan Fals yang berjudul ibu.
IBU
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar