Translate

Sabtu, 05 Oktober 2013

Cinta : I guess I should have been more like that



Angin hilir mudik di kiri dan kananku. Sesekali mereka mengerling mesra padaku, namun entahlah, yang bisa kulakukan saat ini adalah memalingkan wajah secepat yang aku bisa. Aku belum bisa mengalah pada masa lalu, mungkin lebih tepatnya aku masih belum mau mengakui bahwa aku kalah. Lihatlah bahkan dedaunan juga bergoyang mencoba menggoda semangatku yang semakin menghilang. Telah sejuta kali aku merenungkan hal ini, tidak seharusnya aku masih memikirkan DIA. Persetan buaya dengan dia dan gadis baru disampingnya. Tapi bahkan jingganya senja sore ini masih tentang dia, senyumnya, dan sapa mesranya. Sudahlah…

Tiga musim yang lalu kita masih bersama, mencoba merangkai ranting yang patah menjadi sebentuk kehangatan bernama rumah yang kita isi dengan secangkir penuh tawa tiap paginya, hingga tetangga rumah kita, Jeno si burung hantu tua ikut merasakan kebahagiaan kita. Entahlah semuanya terlihat baik-baik saja ketika itu. Kecuali ketika kau mulai berbohong dan aku tidak memiliki cukup kesabaran untuk memahamimu. Lalu tiba-tiba saja hubungan kita dijungkirbalikkan kenyataan, kenyataan yang langsung membakar keringnya ranting-patah rumah kita, bahwa cintamu sudah untuk gadis yang lain.

Sejak kecil aku diajarkan oleh perkumpulan untuk menjadi burung yang setia yang tidak akan menukar cinta untuk harta atau bahkan pria yang lain. Aku adalah mascot dari kesetiaan dan cinta mendalam. Namun ternyata Tuhan menjodohkanku dengan dirimu.

Belum habis pikirku, belum hilang kecewaku kau telah terbang ke sangkar lainnya. Angin sempat membocorkan rahasiamu padaku. Katanya dia cantik,  She's beautiful in her simple little way and she don't have too much to say when she gets mad. Oh, tentu kau merasa damai di dunia tenang itu, sedamai kau meninggalkan aku dengan semua rumor yang berkembang dengan prasangka bertabur seakan aku lah yang mengusirmu dari hidupku dan kau hanya lah burung kesepian yang mengharapkan tempat berlindung dari dia. Gadis barumu di ranting-patah rumahmu yang baru, tanpa aku pastinya.

Penghujung musim yang sepi bertambah suram ketika angin kembali membocorkan rahasiamu yang lain, katanya “she understands and she don't let go of anything even when the pain gets really bad”. I guess I should have been more like that.

Senja sore ini kembali melengkungkan senyummu yang selalu berhasil membuatku bahagia meskipun kau telah berbohong, meskipun…meskipun…
Benar kata angin, dia lebih kuat dibanding aku dan you love her as she loves you with all she has
Seharusnya aku bisa seperti itu juga dulu…


Malam tadi kau meneleponku, sekitar lima menit yang berharga, seharga hukuman mati bagiku ketika ka uterus memujanya bahwa she's beautiful in her simple little way. Cukup! Aku memang dilahirkan dalam kesetiaan namun aku tetap seekor burung yang punya harga diri dan tidak rela jika terus dibohongi.

Musim gugur ini adalah akhir penantianku untukmu, aku sudah memutuskan untuk membangun rumah di selatan, meninggalkan kamu dan dia untuk bahagia. Ada senyum terpancar di raut wajahnya tepat ketika handpone itu berdering dan  memunculkan nama pria yang baru, sudah saatnya aku terbang.

**Terinspirasi lagu More Like Her milik Miranda Lambert

Drama Uang bernama Logam (Cerita Hidup Sebuah Uang Logam)


Berbicara soal koin maka ada banyak hal yang menarik perhatianku sebagai pecinta koin. Sebagai generasi 90-an tentu kita sudah berteman akrab dengan koin karena koin adalah uang dalam bentuk logam yang diberikan oleh orang tua kita ketika bersekolah, apalagi kalau bukan untuk jajan di kantin. Uang Rp.200  kala itu sudah sangat luar biasa bahkan semenjak saya dibelikan celengan atau tabungan berbentuk ayam jantan saya mulai menabung Rp.50 hingga Rp.100 setiap harinya, menunggu dengan sabar setiap harinya hingga tabungan penuh dan dapat dibelikan benda-benda yang sangat saya inginkan. 

Perkembangan koin mungkin terlalu pesat sehingga saya abai atau terlambat menyadari sejak kapan koin sudah tidak dapat digunakan sebagai alat jual beli di daerah saya tinggal. Ohiya, saya mungkin belum mengatakan dengan gamblang, saya tinggal disebuah desa yang tidak jauh dari kota kecamatan di pantai barat Aceh. Koin disini dipandang sangat rendah, mungkin jika dia dapat menangis dia akan menangis sekeras-kerasnya. Jika di daerah lain dia masih dipandang bahkan dimuliakan sebagaimana seharusnya sebuah mata uang terbitan pemerintah, lain halnya di kecamatan ini oh saya mungkin kurang peka mungkin saja di provinsi ini. Tapi mari kita bicarakan lingkup yang lebih saya mengerti saja. 




Di daerah tempat saya tinggal, saya pernah mendengar desas desus bahwa uang sejenis koin tidak akan diterima lagi sebagai bentuk pembayaran atau bahasa kerennya sudah tidak laku lagi. Terang saja ketika itu saya hanya tersenyum dan heran, loh kok bisa? bukannya kita masih tinggal dan hidup di Indonesia ya?. Namun setelah saya mengalami sendiri pengalaman tertolak ketika ingin membayar segelas bubur yang saya beli dengan pecahan logam Rp.500 dua biji, si ibu penjual langsung-dengan setengah histeris- mengatakan bahwa uang logam itu sudah tidak laku dan tidak akan ada lagi toko atau penjual lain yang mau menerimanya- bahkan tidak juga dengan lembaga resmi penyimpanan uang milik pemerintah bernama BANK, Bank A*** atau pun B** yang berkantor di daerah tempat saya tinggal.
 
Dengan muka kecut saya mengatakan bahwa saya tidak memiliki uang selain itu untuk menggenapi pembelian saya dan saya terpaksa memecahkan uang puluhan ribu saya demi membayar segelas bubur. Itu lah sepenggal pengalaman saya, jika ada yang bertanya apa yang saya rasakan ketika itu, saya akan langsung menjawab, "apakah saya termasukashabul kahfi yaitu pemuda yang ditidurkan oleh Allah di dalam gua selama ratusan tahun dan kemudian dibangunkan kembali oleh Allah dan ketika menuju pasar mereka baru menyadari bahwa mereka telah tertidur selama ratusan tahun karena uang yang mereka miliki sudah tidak laku lagi".

Oke mungkin sedikit berlebihan, tapi apakah benar tindakan para pegawai Bank milik pemerintah tersebut karena mengatakan mereka tidak mau menerima penukaran uang logam dari masyarakat. Jika pun memang kantor cabang Bank tersebut belum memiliki alat untuk menghitung koin atau uang logam sebaiknya katakan dan berikan masyarakat penjelasan bukan melakukan pembohongan seperti ini. Mereka dengan enteng mengatakan mereka tidak menerima penukaran uang logam, hal tersebut pasti dipahami oleh masyarakat bahwa uang logam sudah tidak laku lagi, buktinya Bank pemerintah pun sudah tidak mau lagi menerima penukaran uang logam.

Sekarang siapa yang harus dipersalahkan, uang logam? masyarakat? atau pihak Bank? demi perdamaian yang sama-sama kita junjung tinggi mungkin persalahkan saja saya yang sangat mencintai uang logam dan masih setia menggunakannya untuk berbelanja, membayar parkir, bahkan membayar jasa seorang bahkan puluhan pengamen di jalanan yang sangat membutuhkan uang bahkan walaupun itu berbentuk logam tentu saja saya lakukan di kota lain, tempat yang lebih ramah terhadap uang logam, tempat dimana sementara ini jadi tempat saya belajar menghargai uang logam. Karena uang tetaplah uang yang dapat dipergunakan sebagai alat jual beli. Hidup uang logam!

Motivator Mangga

Banyak motivator mengatakan jangan jatuh ketika menerima banyak cemoohan atau hinaan justru kita harus bangkit dan buktikan bahwa yang mereka katakan salah. Ibaratnya semakin dilukai harus semakin kuat, dibunuh harus semakin tangguh. Sejujurnya dulu saya pribadi sangat mudah menyerah dan menganggap motivator yang meskipun sangat luar biasa memotivasi namun jauh dari realitas atau bahasa kerennya jauh panggang dari api.

Tapi sekarang saya belajar banyak dari pohon mangga di halaman depan rumah. Sudah berulangkali kami sekeluarga merencanakan untuk membunuhnya-dalam artian ditebang saja- karena tidak sesuai dengan iklan yang disampaikan penjualnya. Kata si penjual pohon mangga yang kami beli ini adalah tipe unggulan yang akan berbuah lebat meskipun pohonnya masih sangat kecil. Tapi ternyata....Boro-boro berbuah lebat ketika masih kecil, setelah ditunggu bertahun-tahun tuh mangga tidak juga berbuah bahkan hanya menghasilkan sampah tiap harinya. Maka dimulai lah aksi barbar kami sekeluarga mulai dari mengata-ngatai pohon tersebut sampai mengancam akan menebang dan melukainya sesekali yaitu dengan membacok batangnya. Maaf nih ya...bukan bermaksud kejam cuma berbagai cara supaya dia mau berbuah sudah dilakukan, bahkan pemupukan ini itu juga sudah, lah kok dianya malah manja tetap tidak menghasilkan apa-apa selain sampah.

Sampai hari itu tiba juga, tiba-tiba si mangga berbunga sangat lebat, dan buahnya Subhanallah....seakan dalam mimpi pun kami tidak bisa membayangkan. Terbukti sudah, kekuatan usaha si mangga yang membuktikan diri bahwa dia tidak terjatuh dengan segala hinaan dan sekaligus menghapus keraguan sang pemilik, bahwa dia mangga yang tahu berterima kasih.

Hingga kini, tepat setahun penuh si mangga telah berbuah dengan lebatnya hingga lebih dari tiga kali, sebuah angka yang pantastis mengingat dia telah lama malu-malu dan memilih untuk tidak berbuah. Buahnya yang lebat terkadang pun menimbulkan kegelisahan yang lain, batangnya masih sangat ringkih dan kecil tapi dia terus membuktikan kalau dia mampu. Sebuah pelajaran sederhana dari mangga di halaman rumah, semakin saya memandangnya maka semakin saya kagum akan perjuangannya. Banyak cara untuk bermuhasabah, mungkin salah satunya dengan lebih peduli terhadap benda-benda yang berada di sekitar kita. Mereka juga makhluk Allah yang memiliki jiwa.

Jumat, 04 Oktober 2013

Mencari Jejak ala Vella Holmes Part I

Ini adalah peristiwa kedua kalinya rumah kami dikunjungi maling.Apakah aku harus merasa tersanjung? maling-maling itu memilih rumah yang sangat tepat untuk didatangi. Oke lah, kunjungan pertamanya sukses, sukses dalam artian dia sukses membuat  kami tidak menyadari kehadirannya di rumah hingga seminggu setelah kejadian tersebut dan sukses selanjutnya adalah karena dia (atau mungkin mereka) sukses membawa perhiasan ibu tanpa kami sadari. Malam pertama merasa "didatangi" membuat kami sangat syok, bagaimana tidak, perhiasan itu sudah jauh-jauh hari direncanakan untuk dijual oleh ibu.

Kebutuhan dan biaya hidup yang mendesak terlalu banyak terlebih setelah ayah pensiun dari pekerjaan lamanya, praktis ibu lah sumber keuangan utama keluarga, sehingga tidak ada pilihan lain, perhiasan emas ibu harus dijual. Namun, maling itu punya rencana lain, diam-diam dia mendatangi rumah tanpa kami sadari. Sekedar informasi, rumah kami kecil memanjang ke belakang dengan 3 kamar tidur dan rumah kami di kelilingi pagar beton setinggi 1,5 meter berbentuk tembok-tembok bersusun sehingga otomatis jika maling itu mencuri di siang hari tidak mungkin karena tetangga rumah akan langsung mengetahuinya dan jika operasi dilakukan malam hari juga akan langsung ketahuan karena rumah kami tidak pernah dibiarkan kosong ketika malam hari. 

Suasana duka berlangsung berhari-hari di rumah kami, aku langsung khawatir dengan studiku, bagaimanapun tanpa perhiasan itu aku akan kesulitan mebayar uang semester depan. Kondisi ibu lebih memprihatinkan lagi, beliau yang merupakan seorang guru sekolah dasar berusaha menabung sedikit demi sedikit gaji yang diperoleh untuk membeli perhiasan tersebut, dan kini si maling yang sangat imut itu tega untuk mengambilnya. Hanya ayah yang masih menunjukkan sikap ksatria seorang pemimpin di situasi seperti ini. Berulang kali ayah berkata, "diikhlaskan saja yang sudah hilang, nanti Allah akan menggantikannya dengan cara lain". di saat-saat genting seperti ini aku semakin yakin, seorang perempuan perlu seorang pendamping yang tenang dan mampu berpikir rasional, dan aku harus mencari pendamping hidup kelak seperti itu (maaf curcol, hehehe).

Setelah tepat 3 minggu berlalu, hidup harus berlanjut. Situasi mulai normal seperti semula, ibu sudah terlihat ikhlas dan ayah disisi lain semakin giat bekerja di kebun-lebih dari sebelum-sebelumnya-dan aku masih menjadi sang penjaga rumah yang setia menanti kepulangan mereka.

Hingga malam yang kami takuti terjadi lagi. Sepertinya maling itu cari mati! Dia kembali mendatangi rumahku, namun kali ini kami cepat menyadarinya karena dia merusak pintu samping dengan cara mendobrak. Dia melakukannya dengan halus dan penuh perhitungan serta nyaris tanpa jejak. Kenapa nyaris? setelah dia memperkirakan kami sekeluarga pergi ke Meulaboh (sebuah kota kecil di pantai barat Aceh) dan tak kembali sebelum malam menjelang, dia melancarkan aksinya. Melakukan modus yang sama, trik yang sama, namun sayang dia salah memperkirakan AWAL BULAN. Mungkin dia mengira ibu sudah mengambil gaji atau ayah sudah memanen hasil kebun dan pasti uang itu disimpan di rumah. dia SALAH. Hahaha rasanya mau tertawa keras-keras, mungkin dia tidak tahu kami sedang defisit anggaran kalau tidak mau dibilang miskin. Semua uang uda ludes untuk mendaftarkan adik ke kampus barunya dan untuk modal ayah berkebun. Tidak ada yang tersisa. Oh maaf, sebenarnya ada yang tersisa, yaitu Jejak Kaki yang maling itu tinggalkan di dekat pintu samping. Dan sekarang aku sedang membayangkan wajah kecewanya yang pulang dengan tangan kosong padahal sudah susah payah menaiki dinding dan mendobrak pintu.

Selamat ya maling, kasus kamu resmi dibuka hari ini! Jejakmu akan membunuhmu! Vella Holmes pasti akan menemukanmu..