Translate

Sabtu, 22 Juni 2013

Mencari Wajah Partai di Aceh

         Jika berbicara mengenai partai politik maka kebanyakan orang akan melihat sebuah partai melalui interaksinya dengan lembaga atau orang di luar struktur partai (pemilih), dan interaksi ini biasanya hanya terjadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum, bahkan masyarakat dengan pesimis melihat roda partai hanya akan bergerak bila dipicu oleh pemilu, dan setelahnya partai akan mati suri sebelum dibangkitkan lagi oleh pemilihan umum selanjutnya. Meskipun kenyataannya, beberapa partai masih bergerak (meskipun lamban) selama masa jeda antar-pemilihan umum dengan melakukan fungsi sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat misalnya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat, namun masyarakat cenderung mengabaikan pergerakan kecil tersebut dan memandang negatif terhadap partai politik, bahkan seorang pakar politik pernah mengatakan jika partai politik tidak mampu membawa aspirasi rakyat, maka bubarkan saja. 
 
Kita memandang partai sebagai sebuah lembaga independen yang baku dan cenderung mengabaikan kegalauan yang mungkin saja terjadi di dalam pembentukan dan bahkan pelaksanaan fungsi kerja sebuah partai politik. Jadi, mari kita duduk sejenak dan belajar dari pengalaman Eropa dan Amaerika mengenai kegalauan partai yang oleh Richard S. Katz dan Peter Mair ungkapkan dalam tulisan Evolusi Partai di Eropa : Tiga Wajah Partai Meskipun tulisan tersebut pada dasarnya menceritakan mengenai tiga wajah partai di Eropa dan Amerika, namun kita dapat menggunakan tulisan mereka untuk memahami perilaku sebuah partai politik dengan konteks Indonesia. 

Tiga wajah partai tersebut adalah party on the ground, party in central office, dan party in public office. Party on the ground adalah partai massa dimana keanggotaan atau dukungan terhadap partai ini sangat kuat karena diikat oleh ikatan ideologis, umumnya partai jenis ini mengutamakan volunterisme dalam struktur kerjanya dan bergerak di level bawah (grassroot) yaitu dengan cara menggalang dukungan sebesar-besarnya di dalam masyarakat. Party in central office adalah wajah partai dalam struktur kepengurusan partai. Partai jenis ini bersifat sentralistik dan teknokratik. Sehingga bila kita melihat sebuah partai dengan pemilik keputusan adalah dewan pengurus tertinggi partai maka dapat kita katakan bahwa partai tersebut sedang menggunakan wajah party in central office. Wajah ketiga dari partai adalah party in public office atau dapat disebut sebagai partai dalam pemerintahan. Wajah ini mengharuskan partai untuk berperan dalam aspek offising atau penempatan posisi strategis bagi anggota partainya dan menjadikan sebuah partai berorientasi electoral atau berburu suara.

Setelah belajar sejenak mengenai tiga wajah partai politik di Eropa dan Amerika, maka kini saatnya kita mengkajinya dengan konteks Indonesia. Dalam melihat wajah partai maka ada beberapa pandangan yang berkembang bila dikontekskan dengan kondisi kepartaian di Indonesia. Pertama, aliran pesimistis. Aliran ini memandang partai Indonesia tidak memiliki harapan untuk bergerak ke arah yang positif, hal ini sesuai dengan ungkapan Robert Michels mengenai hukum besi oligarki, maka kepartaian di Indonesia yang sangat oligarkis menjadikan partai membutuhkan bantuan finansial untuk menjalankan dan terus memberi makan orang-orang yang ada di dalamnya. Pada akhirnya partai politik hanya akan dijadikan alat kaum oligarkis partai untuk mempertahankan atau mewujudkan kepentingan mereka dan meninggalkan aspirasi rakyat dibelakangnya, implikasinya adalah semua partai politik berlomba-lomba untuk menempatkan orang-orangnya di jabatan strategis sehingga orientasi partai adalah berburu suara sebanyak-banyaknya atau dengan kata lain partai jenis ini dominan bergerak di wajah party in public office dan cenderung meninggalkan konstituen yang memilihnya segera setelah menempati posisi atau jabatan tertentu. Kedua, aliran optimistis. Aliran ini memandang bahwa terdapat irisan dalam wajah kepartaian di Indonesia. Irisan ini terjadi karena partai-partai saling menjejakkan kaki di tiga wajah tersebut. Misalnya, Partai A memainkan wajah di party in public office  (dalam pemerintahan) namun juga memainkan posisi dominan di party in central office (dewan tertinggi partai dominan dalam pengambilan keputusan). Sedang partai B lebih bermain di party on the ground (grassroot) meskipun juga bergerak di party in central office. Dan partai C bermain di party in public office tanpa melupakan gerakan di party on the ground. Irisan-irisan ini sesungguhnya sangat baik dalam melihat dinamika yang berkembang karena konstalasi yang terjadi mengindikasikan bahwa partai-partai di Indonesia telah bergerak kearah yang menjanjikan dan mulai menempati posisi masing-masing dan bermain untuk menarik simpati masyarakat dengan cara yang positif.

Wajah Partai di Aceh

Setelah saya bercerita mengenai pengalaman partai politik di negara orang dan memaparkan dua tanggapan mengenai wajah partai politik di Indonesia, mungkin ada diantara kita ternyata memiliki pendapat ketiga yang mampu membantu para politisi atau elit politik dan masyarakat umum untuk menentukan wajah seperti apa yang dibutuhkan oleh partai politik di Aceh. Sebuah wajah partai politik yang terbuka dan mampu menampung serta menjadikan aspirasi rakyat Aceh sebagai sebuah sandaran dalam pembuatan kebijakan dan wajah partai politik yang ramah atas perbedaan (pluralitas) yang ada di tanoh Aceh agar konflik yang pernah dialami oleh masyarakat Aceh di masa lalu tidak lagi terjadi dan cita-cita untuk menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera dapat terwujud.

Perjalanan kepartaian di Aceh  memang masih seumur jagung bila dibandingkan dengan pengalaman partai-partai nasional lainnya yang telah berlangsung lama. Namun, hal tersebut tidak seharusnya membuat partai lokal menyerah dan berhenti dalam mengembangkan diri, sebaliknya kita harus belajar untuk mengejar ketertinggalan dan menjadikan partai-partai lokal di Aceh menjadi lebih baik lagi dengan peduli terhadap perkembangannya. Meskipun terjadi penyusutan jumlah partai lokal di Aceh secara kuantitas, bukan bebrarti proses pelembagaan partai menjadi berhenti atau jalan di tempat. Pelembagaan partai dimulai dari keikutsertaan masyarakat untuk berpartisipasi dan ikut serta memajukan partai lokal yang ada di Aceh karena ini adalah kesempatan kita untuk memperoleh kejayaan dengan menemukan wajah partai yang sesuai dengan kondisi Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar