Jika berbicara
mengenai partai politik maka kebanyakan orang akan melihat sebuah partai
melalui interaksinya dengan lembaga atau orang di luar struktur partai
(pemilih), dan interaksi ini biasanya hanya terjadi menjelang pelaksanaan
pemilihan umum, bahkan masyarakat dengan pesimis melihat roda partai hanya akan
bergerak bila dipicu oleh pemilu, dan setelahnya partai akan mati suri sebelum dibangkitkan lagi oleh
pemilihan umum selanjutnya. Meskipun kenyataannya, beberapa partai masih
bergerak (meskipun lamban) selama masa jeda antar-pemilihan umum dengan
melakukan fungsi sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat misalnya dengan
mengadakan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat, namun masyarakat cenderung mengabaikan
pergerakan kecil tersebut dan memandang negatif terhadap partai politik, bahkan
seorang pakar politik pernah mengatakan jika partai politik tidak mampu membawa
aspirasi rakyat, maka bubarkan saja.
Kita
memandang partai sebagai sebuah lembaga independen yang baku dan cenderung
mengabaikan kegalauan yang mungkin
saja terjadi di dalam pembentukan dan bahkan pelaksanaan fungsi kerja sebuah
partai politik. Jadi, mari kita duduk sejenak dan belajar dari pengalaman Eropa
dan Amaerika mengenai kegalauan partai yang oleh Richard S. Katz dan Peter Mair
ungkapkan dalam tulisan Evolusi Partai di
Eropa : Tiga Wajah Partai Meskipun tulisan tersebut pada dasarnya menceritakan
mengenai tiga wajah partai di Eropa dan Amerika, namun kita dapat menggunakan
tulisan mereka untuk memahami perilaku sebuah partai politik dengan konteks
Indonesia.
Tiga
wajah partai tersebut adalah party on the
ground, party in central office,
dan party in public office. Party on the
ground adalah partai massa dimana keanggotaan atau dukungan terhadap partai
ini sangat kuat karena diikat oleh ikatan ideologis, umumnya partai jenis ini
mengutamakan volunterisme dalam struktur kerjanya dan bergerak di level bawah
(grassroot) yaitu dengan cara menggalang dukungan sebesar-besarnya di dalam
masyarakat. Party in central office
adalah wajah partai dalam struktur kepengurusan partai. Partai jenis ini
bersifat sentralistik dan teknokratik. Sehingga bila kita melihat sebuah partai
dengan pemilik keputusan adalah dewan pengurus tertinggi partai maka dapat kita
katakan bahwa partai tersebut sedang menggunakan wajah party in central office. Wajah ketiga dari partai adalah party in public office atau dapat
disebut sebagai partai dalam pemerintahan. Wajah ini mengharuskan partai untuk
berperan dalam aspek offising atau penempatan posisi strategis bagi anggota
partainya dan menjadikan sebuah partai berorientasi electoral atau berburu suara.
Setelah
belajar sejenak mengenai tiga wajah partai politik di Eropa dan Amerika, maka
kini saatnya kita mengkajinya dengan konteks Indonesia. Dalam melihat wajah
partai maka ada beberapa pandangan yang berkembang bila dikontekskan dengan
kondisi kepartaian di Indonesia. Pertama,
aliran pesimistis. Aliran ini memandang partai Indonesia tidak memiliki harapan
untuk bergerak ke arah yang positif, hal ini sesuai dengan ungkapan Robert
Michels mengenai hukum besi oligarki, maka kepartaian di Indonesia yang sangat
oligarkis menjadikan partai membutuhkan bantuan finansial untuk menjalankan dan
terus memberi makan orang-orang yang
ada di dalamnya. Pada akhirnya partai politik hanya akan dijadikan alat kaum
oligarkis partai untuk mempertahankan atau mewujudkan kepentingan mereka dan
meninggalkan aspirasi rakyat dibelakangnya, implikasinya adalah semua partai
politik berlomba-lomba untuk menempatkan orang-orangnya di jabatan strategis
sehingga orientasi partai adalah berburu suara sebanyak-banyaknya atau dengan
kata lain partai jenis ini dominan bergerak di wajah party in public office dan cenderung meninggalkan konstituen yang
memilihnya segera setelah menempati posisi atau jabatan tertentu. Kedua, aliran optimistis. Aliran ini
memandang bahwa terdapat irisan dalam wajah kepartaian di Indonesia. Irisan ini
terjadi karena partai-partai saling menjejakkan kaki di tiga wajah tersebut.
Misalnya, Partai A memainkan wajah di party
in public office (dalam
pemerintahan) namun juga memainkan posisi dominan di party in central office (dewan tertinggi partai dominan dalam
pengambilan keputusan). Sedang partai B lebih bermain di party on the ground (grassroot) meskipun juga bergerak di party in central office. Dan partai C
bermain di party in public office tanpa melupakan gerakan di party on the ground. Irisan-irisan ini
sesungguhnya sangat baik dalam melihat dinamika yang berkembang karena konstalasi
yang terjadi mengindikasikan bahwa partai-partai di Indonesia telah bergerak
kearah yang menjanjikan dan mulai menempati posisi masing-masing dan bermain
untuk menarik simpati masyarakat dengan cara yang positif.
Wajah
Partai di Aceh
Setelah
saya bercerita mengenai pengalaman partai politik di negara orang dan
memaparkan dua tanggapan mengenai wajah partai politik di Indonesia, mungkin
ada diantara kita ternyata memiliki pendapat ketiga yang mampu membantu para
politisi atau elit politik dan masyarakat umum untuk menentukan wajah seperti apa
yang dibutuhkan oleh partai politik di Aceh. Sebuah wajah partai politik yang
terbuka dan mampu menampung serta menjadikan aspirasi rakyat Aceh sebagai
sebuah sandaran dalam pembuatan kebijakan dan wajah partai politik yang ramah
atas perbedaan (pluralitas) yang ada di tanoh
Aceh agar konflik yang pernah dialami oleh masyarakat Aceh di masa lalu
tidak lagi terjadi dan cita-cita untuk menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera
dapat terwujud.
Perjalanan
kepartaian di Aceh memang masih seumur
jagung bila dibandingkan dengan pengalaman partai-partai nasional lainnya yang
telah berlangsung lama. Namun, hal tersebut tidak seharusnya membuat partai
lokal menyerah dan berhenti dalam mengembangkan diri, sebaliknya kita harus belajar
untuk mengejar ketertinggalan dan menjadikan partai-partai lokal di Aceh
menjadi lebih baik lagi dengan peduli terhadap perkembangannya. Meskipun
terjadi penyusutan jumlah partai lokal di Aceh secara kuantitas, bukan bebrarti
proses pelembagaan partai menjadi berhenti atau jalan di tempat. Pelembagaan
partai dimulai dari keikutsertaan masyarakat untuk berpartisipasi dan ikut
serta memajukan partai lokal yang ada di Aceh karena ini adalah kesempatan kita
untuk memperoleh kejayaan dengan menemukan wajah partai yang sesuai dengan
kondisi Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar