Translate

Rabu, 26 Juni 2013

Kewajiban Polwan Berjilbab di Aceh : Sebuah Hegemoni Agamakah?

Dalam konsep monokulturalisme, sebuah negara akan bertindak seperti yang terjadi di lembaga kepolisian baik di Aceh maupun di luar Aceh. Melalui monokulturalisme akan diciptakan integrasi politik antar anggota komunitas sehingga tercipta budaya bersama, dan budaya bersama ini yang akhirnya akan digunakan sebagai identitas bersama oleh komunitas. Kesatuan polisi wanita sebelum mendaftar menjadi polwan telah terlebih dahulu mengetahui peraturan-peraturan yang ada termasuk peraturan mengenai seragam yang akan digunakan ketika bertugas dalam kesatuan. Dalam tahap ini berbagai perbedaan akan dilebur menjadi satu, artinya hanya individu-individu yang menyetujui kesepakatan yang akan diterima dan selanjutnya dididik untuk menjadi polwan, dengan kata lain sejak masa rekrutmen penyeragaman telah dilakukan dan yang selanjutnya terjadi adalah minoritas melebur ke dalam mayoritas demi tercapainya budaya nasional (dalam hal ini budaya sekuler) atau budaya religius di Aceh.

Seragam adalah salah satu cara negara melakukan hegemoni yang menurut Gramsci  (1999) dapat dilakukan melalui peraturan tertulis sebagai dominasi langsung maupun tanpa peraturan namun melalui nilai-nilai, falsafah, dan pandangan bersama yang dikembangkan oleh mayoritas individu dalam kelompok dan selanjutnya dijadikan budaya bersama yang harus diamalkan. Masih menurut Gramsci kekuasaan adalah dominasi antara satu kelompok yang “berkuasa” dengan kelompok yang “dikuasai”. Berbicara mengenai kasus seragam bagi polwan yang tidak mengatur mengenai penggunaan hijab (kerudung) dan kewajiban menggunakan hijab khusus di Aceh dapat dilihat sebagai upaya negara untuk melakukan penyeragaman, dan penyeragaman adalah tujuan dari monokulturalisme dimana tidak ada budaya yang saling bersaing semua budaya telah menyatu akibat pelebura dari budaya minoritas. 

Berbicara mengenai Aceh berarti juga berbicara mengenai syariat Islam yang berlaku di Aceh. Formalisasi agama dalam kehidupan bernegara telah menjadikan Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menggunakan dan memasukkan unsur-unsur agama dalam pemerintahan, misalnya terbitnya qanun-qanun (peraturan daerah) yang mengatur tentang pakaian yang dibolehkan dan dilarang untuk digunakan di Aceh, larangan duduk berduaan laki-laki dan perempuan yang belum menikah (qanun tentang khalwat), dan qanun-qanun lainnya yang semuanya bersumber dari ajaran agama Islam.  Sehingga apabila dilanggar atau tidak dipatuhi akan dikenakan sanksi. Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten atau Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam dan bagi yang memeluk selain agaman Islam tapi bertempat tinggal atau berada di provinsi Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam yang berlaku. 

Pelaksanaan syariat Islam di Aceh ini akhirnya menjadikan kesatuan kepolisian wanita di Aceh berbeda dengan provinsi lainnya dalam hal seragam yang digunakan. Aturan hijab bagi polwan muslim hanya ada di Aceh. Itu pun bukan berasal dari aturan internal kepolisian, melainkan mengikuti aturan yang dibuat Pemerintah Provinsi Aceh melalui Qanun nomor 11 Pasal 13 Tahun 2002 mengenai peraturan berbusana yaitu laurat laki-laki dari lutut hingga ke pusar sedangkan bagi perempuan auratnya adalah seluruh tubuh kecuali wajah serta telapak tangan dan kaki yang tidak tempus pandang dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Saat di berbagai daerah Polri masih melarang penggunaan jilbab bagi Polwan, Aceh justru sebaliknya. Polwan muslim wajib mengenakan jilbab di sana. Hal tersebut terjadi karena peraturan polwan mengenai seragam yang berlaku secara nasional terbentur dengan qanun (peraturan daerah) mengenai pakaian yang pantas digunakan menurut ajaran Islam. Pemberlakuan kebolehan menutup aurat bagi polwan di Aceh dengan diwajibkan polwan di Aceh mengenakan hijab karena aturan (qanun) yang telah ditetapkan di provinsi Aceh. Sesuai syariat Islam yang berlaku di negeri Serambi Makkah tersebut polwan diharuskan berhijab bagi yang Islam karena polwan yang beragama Islam wajib mengikuti hukum Islam di sana (republika.co.id, 08/06/2013).

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri, Kombes Pol Agus Rianto mengatakan:
"Tak ada klausul dalam Skep Kapolri nomor 702 yang melarang Polwan menggunakan jilbab, kita hanya mengatur seragam bagi anggota Polri dan PNS Polri agar tertib, kecuali Polwan yang bertugas di Aceh memang harus pakai jilbab, yang namanya seragam tentunya ada kekhususan sehingga penggunaannya juga diatur agar tidak terkesan tidak tertib  

Pewajiban polwan untuk berjilbab dengan menggunakan kacamata monokultural dapat dilihat sebagai upaya menyeragaman terbatas. Artinya ada usaha penyeragaman yang dilakukan oleh negara dalam hal ini Pemerintah daerah bekerjasama dengan institusi kepolisian wilayah kerja Aceh agar para polisi wanita menggunakan hijab sebagai dampak dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Dengan pandangan bahwa Polwan diwajibkan berhijab untuk memudahkan mereka ketika melakukan pelayanan ke masyarakat. Namun pada dasarnya pewajiban ini sebagai upaya pembentukan budaya bersama melalui peleburan identitas. Karena meskipun beragama Islam tidak semua polisi wanita yang bertugas di Aceh adalah wanita yang menggunakan hijab dalam keseharian, namun sejak pemberlakuan syariat Islam sebagai bentuk formalisasi agama Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh dan diikuti oleh kewajiban mengenai penggunaan seragam tambahan yaitu hijab membuat para polwan harus mematuhi peraturan yang berlaku terutama ketika sedang melaksanakan tugas.

Kondisi polwan terkait penggunaan hijab sebagai tambahan seragam dinas yang berlaku di Aceh sekilas terlihat sangat berlawanan dengan kondisi polwan di provinsi lainnya. Terlebih saat ini isu penggunaan hijab di kalangan polwan terus memanas, banyak kalangan menilai seharusnya polwan diberikan kebebasan untuk menggunakan hijab sebagai hak mereka dalam menjalankan ajaran agama Islam yang mereka anut yaitu menutup aurat. Dukungan terus berdatangan untuk kalangan polwan yang ingin berhijab meskipun dibayang-bayangi oleh isu pemecatan bagi yang tetap memaksa atau berani menggunakan hijab. Isu pemecatan dan teguran keras dari pimpinan kepolisian menurut Kymlicka dapat dilihat sebagai upaya kepolisian untuk menghindari perpecahan atau konflik yang terjadi dalam tubuh institusi, yaitu individu-individu yang berbeda dan tidak mematuhi kesepakatan atau peraturan yang ada harus dikeluarkan dari institusi agar perpecahan tidak terjadi. 

Disisi lain hal yang sekilas terlihat berbeda itu ternyata memiliki kesamaan pola yaitu baik di Aceh maupun di daerah lain, ada usaha dari kepolisian untuk menciptakan keseragaman dengan cara melarang atau mewajibkan penggunaan hijab di kalangan polwan. Melalui polwan kita dapat melihat bagaimana hegemoni barat (sekuler) bekerja dan bagaimana hegemoni agama (Islam) bekerja. Dalam ranah penggunaan seragam bagi polwan. Di Aceh semua polwan Islam diwajibkan untuk menggunakan hijab, mereka tidak diberikan pilihan untuk tidak menggunakan sesuai hak mereka sebagai individu karena mereka harus mematuhi peraturan dalam kesatuan. Begitu pula yang terjadi dalam kesatuan polisi wanita di provinsi selain Aceh, mereka juga tidak memiliki kebebasan untuk menggunakan hijab sebagai bagian dari hak yang mereka miliki untuk menjalankan ajaran agama Islam, hal itu terjadi untuk menciptakan keseragaman dalam kesatuan yang dalam konsep monokulturalisme dilakukan untuk menghindari konflik dalam tubuh kelompok atau organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar