Dalam konsep monokulturalisme, sebuah negara akan
bertindak seperti yang terjadi di lembaga kepolisian baik di Aceh maupun di
luar Aceh. Melalui monokulturalisme akan diciptakan integrasi politik antar
anggota komunitas sehingga tercipta budaya bersama, dan budaya bersama ini yang akhirnya akan digunakan
sebagai identitas bersama oleh komunitas. Kesatuan polisi wanita sebelum
mendaftar menjadi polwan telah terlebih dahulu mengetahui peraturan-peraturan
yang ada termasuk peraturan mengenai seragam yang akan digunakan ketika
bertugas dalam kesatuan. Dalam tahap ini berbagai perbedaan akan dilebur
menjadi satu, artinya hanya individu-individu yang menyetujui kesepakatan yang
akan diterima dan selanjutnya dididik untuk menjadi polwan, dengan kata lain
sejak masa rekrutmen penyeragaman telah dilakukan dan yang selanjutnya terjadi
adalah minoritas melebur ke dalam mayoritas demi tercapainya budaya nasional
(dalam hal ini budaya sekuler) atau budaya religius di Aceh.
Seragam adalah salah satu cara
negara melakukan hegemoni yang menurut Gramsci (1999) dapat dilakukan melalui peraturan tertulis sebagai dominasi langsung maupun
tanpa peraturan namun melalui nilai-nilai,
falsafah, dan pandangan bersama yang dikembangkan oleh mayoritas individu dalam
kelompok dan selanjutnya dijadikan budaya bersama yang harus diamalkan. Masih
menurut Gramsci kekuasaan
adalah dominasi antara satu
kelompok yang “berkuasa” dengan kelompok yang “dikuasai”. Berbicara mengenai kasus seragam bagi polwan yang
tidak mengatur mengenai penggunaan hijab (kerudung) dan kewajiban menggunakan
hijab khusus di Aceh dapat dilihat sebagai upaya negara untuk melakukan
penyeragaman, dan penyeragaman adalah tujuan dari monokulturalisme dimana tidak
ada budaya yang saling bersaing semua budaya telah menyatu akibat pelebura dari
budaya minoritas.
Berbicara
mengenai Aceh berarti juga berbicara mengenai syariat Islam yang berlaku di
Aceh. Formalisasi agama dalam kehidupan bernegara telah menjadikan Aceh sebagai
satu-satunya provinsi di Indonesia yang menggunakan dan memasukkan unsur-unsur
agama dalam pemerintahan, misalnya terbitnya qanun-qanun (peraturan daerah)
yang mengatur tentang pakaian yang dibolehkan dan dilarang untuk digunakan di
Aceh, larangan duduk berduaan laki-laki dan perempuan yang belum menikah (qanun
tentang khalwat), dan qanun-qanun lainnya yang semuanya bersumber dari ajaran
agama Islam. Sehingga apabila dilanggar
atau tidak dipatuhi akan dikenakan sanksi. Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan
Kabupaten atau Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai
agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, setiap pemeluk
agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam dan bagi yang
memeluk selain agaman Islam tapi bertempat tinggal atau berada di provinsi Aceh
wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam yang berlaku.
Pelaksanaan syariat
Islam di Aceh ini akhirnya menjadikan kesatuan kepolisian wanita di Aceh berbeda dengan provinsi lainnya dalam hal
seragam yang digunakan. Aturan hijab bagi polwan muslim
hanya ada di Aceh. Itu pun bukan berasal dari aturan internal kepolisian,
melainkan mengikuti aturan yang dibuat Pemerintah
Provinsi Aceh melalui Qanun nomor 11 Pasal 13 Tahun
2002 mengenai peraturan berbusana yaitu laurat laki-laki dari lutut hingga ke
pusar sedangkan bagi perempuan auratnya adalah seluruh tubuh kecuali wajah
serta telapak tangan dan kaki yang tidak tempus pandang dan tidak
memperlihatkan lekuk tubuh. Saat di berbagai daerah Polri masih melarang
penggunaan jilbab bagi Polwan, Aceh
justru sebaliknya. Polwan muslim wajib mengenakan jilbab di sana. Hal tersebut terjadi karena peraturan polwan mengenai seragam yang berlaku secara nasional terbentur dengan qanun (peraturan daerah) mengenai pakaian yang pantas digunakan menurut
ajaran Islam. Pemberlakuan
kebolehan menutup aurat bagi polwan di Aceh
dengan diwajibkan polwan di Aceh mengenakan hijab karena aturan (qanun) yang telah ditetapkan di
provinsi Aceh. Sesuai syariat Islam yang berlaku di negeri
Serambi Makkah tersebut polwan diharuskan berhijab bagi yang Islam karena polwan yang
beragama Islam wajib mengikuti hukum Islam di sana (republika.co.id,
08/06/2013).
Kepala Bagian
Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri, Kombes Pol Agus Rianto mengatakan:
"Tak ada klausul dalam Skep Kapolri
nomor 702 yang melarang Polwan menggunakan jilbab, kita hanya mengatur seragam bagi anggota
Polri dan PNS Polri agar tertib, kecuali Polwan yang bertugas di Aceh memang
harus pakai jilbab, yang namanya
seragam tentunya ada kekhususan sehingga penggunaannya juga diatur agar tidak
terkesan tidak tertib”
Pewajiban
polwan untuk berjilbab dengan menggunakan kacamata monokultural dapat dilihat
sebagai upaya menyeragaman terbatas. Artinya ada usaha penyeragaman yang
dilakukan oleh negara dalam hal ini Pemerintah daerah bekerjasama dengan
institusi kepolisian wilayah kerja Aceh agar para polisi wanita menggunakan
hijab sebagai dampak dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Dengan pandangan
bahwa Polwan diwajibkan berhijab untuk memudahkan mereka ketika melakukan
pelayanan ke masyarakat. Namun pada dasarnya pewajiban ini sebagai upaya
pembentukan budaya bersama melalui peleburan identitas. Karena meskipun
beragama Islam tidak semua polisi wanita yang bertugas di Aceh adalah wanita
yang menggunakan hijab dalam keseharian, namun sejak pemberlakuan syariat Islam
sebagai bentuk formalisasi agama Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh dan
diikuti oleh kewajiban mengenai penggunaan seragam tambahan yaitu hijab membuat
para polwan harus mematuhi peraturan yang berlaku terutama ketika sedang
melaksanakan tugas.
Kondisi
polwan terkait penggunaan hijab sebagai tambahan seragam dinas yang berlaku di
Aceh sekilas terlihat sangat berlawanan dengan kondisi polwan di provinsi
lainnya. Terlebih saat ini isu penggunaan hijab di kalangan polwan terus
memanas, banyak kalangan menilai seharusnya polwan diberikan kebebasan untuk
menggunakan hijab sebagai hak mereka dalam menjalankan ajaran agama Islam yang
mereka anut yaitu menutup aurat. Dukungan terus berdatangan untuk kalangan
polwan yang ingin berhijab meskipun dibayang-bayangi oleh isu pemecatan bagi
yang tetap memaksa atau berani menggunakan hijab. Isu pemecatan dan teguran
keras dari pimpinan kepolisian menurut Kymlicka dapat dilihat sebagai upaya
kepolisian untuk menghindari perpecahan atau konflik yang terjadi dalam tubuh
institusi, yaitu individu-individu yang berbeda dan tidak mematuhi kesepakatan
atau peraturan yang ada harus dikeluarkan dari institusi agar perpecahan tidak
terjadi.
Disisi lain
hal yang sekilas terlihat berbeda itu ternyata memiliki kesamaan pola yaitu
baik di Aceh maupun di daerah lain, ada usaha dari kepolisian untuk menciptakan
keseragaman dengan cara melarang atau mewajibkan penggunaan hijab di kalangan
polwan. Melalui polwan kita dapat melihat bagaimana hegemoni barat (sekuler)
bekerja dan bagaimana hegemoni agama (Islam) bekerja. Dalam ranah penggunaan
seragam bagi polwan. Di Aceh semua polwan Islam diwajibkan untuk menggunakan
hijab, mereka tidak diberikan pilihan untuk tidak menggunakan sesuai hak mereka
sebagai individu karena mereka harus mematuhi peraturan dalam kesatuan. Begitu
pula yang terjadi dalam kesatuan polisi wanita di provinsi selain Aceh, mereka
juga tidak memiliki kebebasan untuk menggunakan hijab sebagai bagian dari hak
yang mereka miliki untuk menjalankan ajaran agama Islam, hal itu terjadi untuk
menciptakan keseragaman dalam kesatuan yang dalam konsep monokulturalisme
dilakukan untuk menghindari konflik dalam tubuh kelompok atau organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar