Demokrasi
merupakan sebuah konsep politik yang berasal dari tradisi pemikiran Barat.
Sejarah pertemuan umat Islam dengan peradaban Barat, salah satunya memunculkan
perdebatan seputar menerima atau menolak demokrasi. Bila melihat kembali kajian
mengenai demokrasi dan Islam, respon intelektual muslim mengenai hal ini sangat
beragam. Namun, secara umum, dapat dipetakan ke dalam tiga kelompok, yaitu
fundamentalis, sekular, dan moderat. Kelompok pertama cenderung menolak
demokrasi, jika pun ada yang menerima namun bersikap apologis. Kelompok kedua
yaitu sekular menerima demokrasi, tanpa merujuk pada tradisi agama. Kelompok
moderat sebagai kelompok ketiga
mensintesiskan hubungan Islam dan demokrasi sebagai dua hal yang kompatibel.
Di
pihak lain, para intelektual Barat juga memperdebatkan mengenai demokrasi dan
Islam. Seperti Samuel Huntington, seorang
ahli politik Amerika yang terkenal lewat karyanya The Religion and The Third Wave (1991) mengatakan bahwa Islam merupakan
penghambat demokrasi. Bahkan dalam buku selanjutnya Clash of Civilization (1996). Dia menulis bahwa demokrasi beserta isu-isu modernism dianggap tidak cocok dengan kultur Islam atau dengan kata
lain, Islam tidak sesuai dengan demokrasi. Pandangan semacam ini didasarkan
pada sejumlah ajaran Islam (doktrin) dan praktek kehidupan politik umat Islam
yang dianggap cenderung berseberangan dengan demokrasi.
Lalu yang menjadi pertanyaan, Islam
berkesesuaian (compatible) atau tidak (incompatible) dengan demokrasi? Sebagai
seorang mahasiswa politik yang beragama Islam, saya berkeberatan jika dikatakan
demokrasi dan Islam tidak dapat dipersatukan. Bukankah banyak idiom demokrasi
yang berasal dari Islam? Misalnya syura (musyawarah), ‘adalah (keadilan),
amanah (dapat dipercaya), masulliyah (bertanggung jawab), musawah (sejajar).
Pertama, Syura
merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara
eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS.
As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai
bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan
sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan
bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat
yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, Al-‘adalah
adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam
berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak
boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl:90; As-Syura:15; Al-Maidah:8; An-Nisa’:58.
Ketiga, Al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada
pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan
kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat,
berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu
pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam
perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang
dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh
sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian
juga kepada Tuhan.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan
yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau
amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin
atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan
kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini
terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa
diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah
bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana
kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus
diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi
seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai
amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus
dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Jadi Islam itu adalah nama lain dari demokrasi kan?
Yogyakarta, 2013
Yogyakarta, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar