Translate

Sabtu, 22 Juni 2013

Demokrasi dan Islam : Kawan atau Lawan?



Demokrasi merupakan sebuah konsep politik yang berasal dari tradisi pemikiran Barat. Sejarah pertemuan umat Islam dengan peradaban Barat, salah satunya memunculkan perdebatan seputar menerima atau menolak demokrasi. Bila melihat kembali kajian mengenai demokrasi dan Islam, respon intelektual muslim mengenai hal ini sangat beragam. Namun, secara umum, dapat dipetakan ke dalam tiga kelompok, yaitu fundamentalis, sekular, dan moderat. Kelompok pertama cenderung menolak demokrasi, jika pun ada yang menerima namun bersikap apologis. Kelompok kedua yaitu sekular menerima demokrasi, tanpa merujuk pada tradisi agama. Kelompok moderat  sebagai kelompok ketiga mensintesiskan hubungan Islam dan demokrasi sebagai dua hal yang kompatibel. 

Di pihak lain, para intelektual Barat juga memperdebatkan mengenai demokrasi dan Islam. Seperti Samuel Huntington, seorang  ahli politik Amerika yang terkenal lewat karyanya The Religion and The Third Wave (1991) mengatakan bahwa Islam merupakan penghambat demokrasi. Bahkan dalam buku selanjutnya Clash of Civilization (1996). Dia menulis bahwa demokrasi beserta isu-isu modernism dianggap tidak cocok dengan kultur Islam atau dengan kata lain, Islam tidak sesuai dengan demokrasi. Pandangan semacam ini didasarkan pada sejumlah ajaran Islam (doktrin) dan praktek kehidupan politik umat Islam yang dianggap cenderung berseberangan dengan demokrasi.
Lalu yang menjadi pertanyaan, Islam berkesesuaian (compatible) atau tidak (incompatible) dengan demokrasi? Sebagai seorang mahasiswa politik yang beragama Islam, saya berkeberatan jika dikatakan demokrasi dan Islam tidak dapat dipersatukan. Bukankah banyak idiom demokrasi yang berasal dari Islam? Misalnya syura (musyawarah), ‘adalah (keadilan), amanah (dapat dipercaya), masulliyah (bertanggung jawab), musawah (sejajar).
Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, Al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90;  As-Syura:15; Al-Maidah:8; An-Nisa’:58.
Ketiga, Al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’:58. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.  Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Jadi Islam itu adalah nama lain dari demokrasi kan?

Yogyakarta, 2013






Tidak ada komentar:

Posting Komentar