Translate

Senin, 24 Juni 2013

Elit dalam Dinamika Politik Lokal pada Pemilu 2009 : Sebuah Pengantar

       Jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998 membuka kesempatan bagi berlangsungnya reformasi demokratis di Indonesia. Untuk memenuhi aspirasi rakyat yang digemakan oleh gerakan reformasi, perubahan-perubahan mendasar harus ditegakkan, termasuk perubahan menyeluruh pada semua pranata politik, sosial, dan ekonomi, dan perubahan pada basis hubungan antara rakyat dan negara. Perubahan-perubahan semacam itu hanya dapat diwujudkan melalui penyusunan satu agenda reformasi yang menyeluruh, sebagai hasil dari proses dialog yang terbuka, inklusif, dan partisipatif.

            Perubahan struktural maupun fungsional sistem pemerintahan, setelah runtuhnya rezim orde baru, dari sentralistik ke sistem desentralisasi merupakan salah satu amanat rakyat dari agenda reformasi. Otonomi daerah sebagai wujud dari desentralisasi disambut positif oleh berbagai elemen dalam masyarakat. Otonomi daerah merupakan proses awal untuk mewujudkan pembangunan demokrasi ditingkat lokal.[1] Pembangunan demokrasi dan pemerintahan di tingkat lokal seperti tertuang dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 (selanjutnya disingkat UUPA) .[2]

            Elit lokal mempunyai peran yang cukup signifikan dalam mewujudkan pemerintahan demokratis dan mendorong demokratisasi di tingkat lokal. sekaligus untuk menumbuhkan kesadaran dan memberikan pemahaman demokrasi kepada masyarakat yang lebih luas. Elit lokal merupakan orang perorangan atau aliansi dari orang yang dinilai pintar dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat, misalnya para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan orang-orang yang mempunyai kemampauan finansial yang relatif tinggi dibanding masyarakat umum. 

            Kemampuan elit lokal dalam mempengaruhi masyarakat dikarenakan oleh beberapa hal yaitu, pertama mereka memiliki kekuasaan informal yang diakui dan dihormati oleh masyarakat. Elit lokal secara umum memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup luas dibanding dengan kebanyakan masyarakat. Akses informasi media baik cetak maupun elektronik, melalui tayangan media itulah mereka bisa mengakses isu-isu reformasi dan juga akses pendidikan .

            Elit lokal dijadikan alat untuk menyampaikan pesan-pesan politik oleh para politisi atau sebagai influencer. Fungsi influencer adalah mentransfer produk-produk politik dari kandidat kepada khalayak masyarakat luas dan mempengaruhi para pemilih. Influencer ini bisa meliputi kelompok dengan kepentingan tertentu, individu untuk isu-isu tertentu, konstituen, kelompok rujukan (reference group) dan kontributor untuk kandidat beserta lembaganya. Berdasarkan aktifitasnya, influencer terbagi dua, yaitu yang pasif dan aktif. Influencer  aktif adalah perorangan atau kelompok yang mengadakan kegiatan aktif untuk mempengaruhi pemilih. Mereka biasanya para aktivis isu tertentu atau kelompok dengan kepentingan tertentu yang menempuh cara-cara terbuka dan nyata walaupun caranya bisa halus maupun terang-terangan mengarahkan konstituen agar memilih atau tidak memilih kandidat tertentu.[3]

Influencer pasif adalah perorangan atau kelompok yang tidak mempengaruhi pemilih secara aktif tetapi menjadi rujukan para pemilih. Mereka adalah para akademisi, tokoh masyarakat, selebriti, praktisi hukum, pengamat politik, organisasi sosial, atau organisasi massa yang menjadi rujukan atau panutan masyarakat. Apresiasi dan tindakan mereka bisa mempunyai makna politis tertentu bagi pengikutnya.

Proses perdamaian sejak tahun 2005 telah mentransformasi Aceh menjadi arena pertarungan politik antara partai lokal di Aceh dengan 36 partai nasional untuk memperebutkan kursi DPRK dan DPRA. Dalam pemilu legislatif 2009, terlihat bahwa dominasi partai nasional runtuh oleh gebrakan yang dilakukan oleh partai lokal. Besarnya perolehan suara yang dimiliki oleh tiga partai besar di Indonesia seperti Partai Demokrat, PDIP, dan Partai Golkar tidak berlaku bagi Provinsi Aceh, yang terjadi justru kemenangan partai lokal. Dalam lingkup memperebutkan 25 kursi tingkat DPRK Nagan Raya, Partai Aceh mendapatkan 5 kursi, mengungguli partai lainnya, Partai Demokrat (3), Partai Golkar (2), PBB (3), PDIP (2), PAN (2), Partai Hanura, PKS, PKB, PPP, PBR, PKPB, PKPI, dan Partai Patriot masing-masing memperoleh satu kursi.[4]


[1] Dede Mariana dan Caroline Paskarina,  Demokrasi dan Politik Desentralisasi, Jakarta : Graha Ilmu, 2008, Hal. 1-3
[2] Afadlal dkk, Runtuhnya Gampong di Aceh, Studi Masyarakat Desa yang Bergejolak, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008, h. 17
[3] Agung Wibawanto, dkk, Memenangkan Hati Rakyat Dan Pikiran Rakyat, Strategi Dan Taktik Menang Dalam        Pemilihan Kepala Daerah, yogyakarta : pembaharuan, 2005,h. 27
[4] Lampiran Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Nagan Raya, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar