Jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998
membuka kesempatan bagi berlangsungnya reformasi demokratis di Indonesia. Untuk
memenuhi aspirasi rakyat yang digemakan oleh gerakan reformasi,
perubahan-perubahan mendasar harus ditegakkan, termasuk perubahan menyeluruh
pada semua pranata politik, sosial, dan ekonomi, dan perubahan pada basis
hubungan antara rakyat dan negara. Perubahan-perubahan semacam itu hanya dapat
diwujudkan melalui penyusunan satu agenda reformasi yang menyeluruh, sebagai
hasil dari proses dialog yang terbuka, inklusif, dan partisipatif.
Perubahan
struktural maupun fungsional sistem pemerintahan, setelah runtuhnya rezim orde
baru, dari sentralistik ke sistem desentralisasi merupakan salah satu amanat
rakyat dari agenda reformasi. Otonomi daerah sebagai wujud dari desentralisasi
disambut positif oleh berbagai elemen dalam masyarakat. Otonomi daerah
merupakan proses awal untuk mewujudkan pembangunan demokrasi ditingkat lokal.[1] Pembangunan
demokrasi dan pemerintahan di tingkat lokal seperti tertuang dalam
Undang-Undang Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 (selanjutnya disingkat UUPA)
.[2]
Elit
lokal mempunyai peran yang cukup signifikan dalam mewujudkan pemerintahan demokratis
dan mendorong demokratisasi di tingkat lokal. sekaligus untuk menumbuhkan kesadaran dan memberikan
pemahaman demokrasi kepada masyarakat yang lebih luas. Elit lokal merupakan
orang perorangan atau aliansi dari orang yang dinilai pintar dan mempunyai
pengaruh di dalam masyarakat, misalnya para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan
orang-orang yang mempunyai kemampauan finansial yang relatif tinggi dibanding
masyarakat umum.
Kemampuan
elit lokal dalam mempengaruhi masyarakat dikarenakan oleh beberapa hal yaitu,
pertama mereka memiliki kekuasaan informal yang diakui dan dihormati oleh
masyarakat. Elit lokal secara umum memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup
luas dibanding dengan kebanyakan masyarakat. Akses informasi media baik cetak
maupun elektronik, melalui tayangan media itulah mereka bisa mengakses isu-isu
reformasi dan juga akses pendidikan .
Elit lokal
dijadikan alat untuk menyampaikan pesan-pesan politik oleh para politisi atau
sebagai influencer. Fungsi influencer adalah mentransfer
produk-produk politik dari kandidat kepada khalayak masyarakat luas dan
mempengaruhi para pemilih. Influencer ini bisa meliputi kelompok dengan
kepentingan tertentu, individu untuk isu-isu tertentu, konstituen, kelompok
rujukan (reference group) dan
kontributor untuk kandidat beserta lembaganya. Berdasarkan aktifitasnya, influencer terbagi dua,
yaitu yang pasif dan aktif. Influencer aktif adalah perorangan atau kelompok yang
mengadakan kegiatan aktif untuk mempengaruhi pemilih. Mereka biasanya para
aktivis isu tertentu atau kelompok dengan kepentingan tertentu yang menempuh
cara-cara terbuka dan nyata walaupun caranya bisa halus maupun terang-terangan
mengarahkan konstituen agar memilih atau tidak memilih kandidat tertentu.[3]
Influencer pasif adalah
perorangan atau kelompok yang tidak mempengaruhi pemilih secara aktif tetapi
menjadi rujukan para pemilih. Mereka adalah para akademisi, tokoh masyarakat,
selebriti, praktisi hukum, pengamat politik, organisasi sosial, atau organisasi
massa yang menjadi rujukan atau panutan masyarakat. Apresiasi dan tindakan
mereka bisa mempunyai makna politis tertentu bagi pengikutnya.
Proses
perdamaian sejak tahun 2005 telah mentransformasi Aceh menjadi arena
pertarungan politik antara partai lokal di Aceh dengan 36 partai nasional untuk
memperebutkan kursi DPRK dan DPRA. Dalam pemilu legislatif 2009, terlihat bahwa
dominasi partai nasional runtuh oleh gebrakan yang dilakukan oleh partai lokal.
Besarnya perolehan suara yang dimiliki oleh tiga partai besar di Indonesia
seperti Partai Demokrat, PDIP, dan Partai Golkar tidak berlaku bagi Provinsi
Aceh, yang terjadi justru kemenangan partai lokal. Dalam lingkup memperebutkan
25 kursi tingkat DPRK Nagan Raya, Partai Aceh mendapatkan 5 kursi, mengungguli
partai lainnya, Partai Demokrat (3), Partai Golkar (2), PBB (3), PDIP (2), PAN
(2), Partai Hanura, PKS, PKB, PPP, PBR, PKPB, PKPI, dan Partai Patriot
masing-masing memperoleh satu kursi.[4]
[2]
Afadlal dkk, Runtuhnya Gampong di Aceh, Studi Masyarakat
Desa yang Bergejolak, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008, h. 17
[3] Agung
Wibawanto, dkk, Memenangkan Hati Rakyat
Dan Pikiran Rakyat, Strategi Dan Taktik Menang Dalam Pemilihan
Kepala Daerah, yogyakarta : pembaharuan, 2005,h. 27
[4] Lampiran
Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Nagan Raya, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar