Translate

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Juli 2013

Pernah Tidak



Pernah tidak kamu merasa aneh ketika melihat koleksi poto-poto lamamu, seperti ada yang hilang disana, entah rasanya bahkan senyumnya yang bagimu sekarang terkesan “hambar” tak bermakna. Awalnya kamu bingung kenapa gerangan, namun semenit kemudian kamu sadar ternyata kamu menghilangkan sosok penting dalam rangkain poto tersebut. Ya! Kamu telah menghapus banyak poto yang memuat sosok itu, sosok yang berusaha kamu lupakan.

Pernah tidak kamu merasa bosan, bahwa hidupmu selalu berputar di dekat dia meskipun kamu tau dia tidak lagi di dekat kamu. Dan saking bosannya kamu menggerutu dan bagaikan sulap dia malah dengan terang-terangan mengunjungimu lewat mimpi. Sungguh tidak tahu malu. Tapi itulah kenyataanya. Part yang semakin ingin kita lupakansebenarnya adalah bagian yang paling ingin dikenang. Seperti dia. Tanpa dia ternyata poto-poto yang aku simpan seperti tanpa nyawa, mungkin sebaiknya aku memang tidak melupakannya, cukup disimpan dengan rapi di sudut hati untuk dikenang sesekali. 

Pernah tidak kamu merasakan kamu selalu mengingatnya bukan karena rasa cinta terlalu besar, tetapi lebih karena keegoisan. Karena kamu merasa telah memilikinya dan tidak rela orang lain memilikinya juga. Kamu telah biasa tanpa pembiasaan. Secara tidak sadar kamu merelakan diri untuk dibantu dan kamu sekarang menjadi biasa dibantu, dan tanpa dia hidupmu menjadi pincang, alam bawah sadarmu pun memberontak, dia ingin kondisi nyaman yang dulu yang telah mati-matian kamu tinggalkan.

Pernah tidak kamu merasa, hidupmu setelah perpisahan itu menjadi berat namun berusaha kamu acuhkan, tapi otakmu diam-diam memunculkan rasa sakit itu kembali. Biasanya ketika sepi dan terkadang ketika sendiri. Lalu kamu terpekur lama merenungkan dimana letak salah dari perpisahan yang seharusnya terjadi. Padahal kamu tidak salah, perpisahan itu memang seharusnya terjadi. Dan berlama-lama dalam kebersamaan yang tidak sehat malah akan mebuatmu terbunuh diam-diam. Tapi kamu tidak tahu tepatnya tidak mau tahu sehingga ketika otakmu kembali menyalahkanmu kamu merasa bersalah dan menyesali perpisahan dan terlebih menyesali mengapa semua poto dia kamu enyahkan dari folder. Kembali kamu dikuasai logika, padahal kamu tidak salah.

Cerita Logika



Ada hangat mengalir dalam hati ketika berbicara denganmu…Dan perlahan aku masuk dalam cerita yang tidak ingin aku ceritakan kembali.

Sebuah drama dua anak manusia yang bertemu tanpa sengaja, mirip serial FTV di layar televisi Indonesia. Pertemuan absurd yang berakhir perasaan saling suka. Sungguh, aku benci cerita romansa tanpa logika yang ditawarkan, meskipun terkadang aku tertawa. Itu bukan sebentuk pujian, aku hanya menertawakan skenario yang diciptakan karena sangat sederhana dan dipaksakan. Bukankah cinta bukan pemaksaan cerita? Bahkan seringkali proses suka tidak sesederhana di dalam drama.

Pembiasaan dan kebiasaan bersama dalam pertemanan bagiku adalah cara paling tepat untuk memaknai suka. Kita telah saling mengenal, menemani dan ditemani dalam logika persahabatan karena itu rasa menghargai dan memahami itu ada dan akhirnya datanglah suka. Itu baru namanya cinta.

Bukan seperti kita, dua anak manusia yang terpisah dan tak saling jumpa. Hanya sekilas mendengar nama lewat angin yang berlari. Dan…akhirnya tanpa sengaja kita berjumpa di perjalanan bahkan di kota orang setelah lompatan waktu yang panjang. Kau mengenalku sedangkan aku tidak. Lalu dimana letak salah itu? Kemudian kita berteman (pertemanan sambil lalu) tanpa komunikasi yang intens tapi aku menghargaimu dan kau menghargaiku. Aku mengagumimu dan kau (katanya) juga mengagumiku. Lalu itu lah kita yang sekarang. Bertemu tanpa sengaja dan berteman tanpa sengaja.

Perlahan, kamu masuk dalam kehidupanku tapi tidak terlalu drastis toh kita bukan anak kecil yang berebutan memberikan perhatian…tapi perlahan pula kisah hidup kita seperti saling silang, kita saling membicarakan tanpa sengaja dan kita terpaut romansa tanpa terduga. Duniamu dan duniaku seolah saling berhimpitan padahal kita berada di logika yang berbeda, karena tanpa sengaja kau menghadirkan namaku di waktu senggangmu dan aku mendengar namamu di waktu luangku. Kehidupan yang unik, tapi tetap itu bukan awal dari sebuah suka.

sat ini aku benci mengakuinya, tapi aku sedang takut. Aku takut langkahku hanya satu, aku terpaut sedang kau tidak. Kau terpincut sedang aku tidak. Terlalu banyak logika dan nalar yang bermain, terlalu dalam kehati-hatian yang kita gunakan dan semakin jauh kemungkinan damai itu tetap ada dan hancurnya pertemanan singkat kita di depan mata.

Kini hidupku tambah kalut, ketika kau nyaris saja membuatku tergelincir dengan kata-katamu. Meskipun terasa hangat dalam hati, tapi tetap saja aku takut. Seringkali kebodohan memainkan rasa dan menipu logika yang dulunya cerdas. Belum cukup jauh aku mengenalmu, mungkin saja ungkapan itu tanpa maksud, tanpa tujuan hanya selingan ditengah tawa kebosanan. Tapi bagaimana jika itu sungguhan? Harus dimana aku letakkan malu yang menggunung akibat kecerobohanku? Bukan masanya rasa itu bermain, terlebih bukan dengan kamu. Seseorang yang sempat dan masih aku kagumi. Aku mungkin tidak cukup mengenalmu, tidak pernah cukup. Karena itu aku masih sulit melihat ke arah mana kau ingin membawaku, ke jalan apa kau mengharapkanku. Karena aku benci pertemanan kita terbawa ke arah yang salah.

Bantulah aku teman, jangan menjungkirbalikkan duniaku yang tenang. Sudah cukup kesalahpahaman malam ini, tolong jangan diulang kembali. Terlebih dengan kata-kata perhatian dan puja-puji sanjungmu untukku, sudah cukup. Biarkan aku yang jadi pihak pelamun-bahkan penggoda. Asalkan bukan kamu yang melamunkan-dan menggoda aku. Kuatkan lemahku dengan tetap menjadi kamu yang dulu, yang biasa saja ketika aku rayu dengan gombalan “aneh” ku.

Atau mungkin kau tetap biasa saja seperti dulu, hanya aku yang sedang berubah. Bertransformasi menjadi manusia perasa dan penduga yang setiap harinya membayangkan akan kembali punya rasa suka, meskipun sedikit. Dan ketika kau hadir dengan biasanya di jalur lambat, aku menjadi blingsatan dan lepas kendali memaknai bahwa kau sedang “belajar” menggoda, setidaknya dulu kau tidak pernah begitu. Lalu aku hadir dengan kenaifan yang baru, aku takut kamu suka-lebih tepatnya aku takut aku suka- sehingga aku memaksa kamu untuk berhenti berusaha daripada aku yang berusaha menutup hatiku.

Wahai temanku, cukupkan saja candaan kita tentang lamunan, khayalan, bahkan nyanyian kesepian karena ketidakhadiran. Hentikan saja semua cerita tentang cepat pulang dan saling bersama dalam waktu lama. Aku takut goyah, sangat takut. Belum lagi ketika tanpaku kau bilang kehilangan semangat- jangan tanya bagaimana semangatnya diriku mendengar katamu itu di detik pertama, namun logika detik kedua menyadarkanku bahwa ini hanya jebakan rasa kesekian yang harus aku hindari. Aku masih terlalu dini untuk memulai lagi dan masih terlalu jauh bagi nalarku untuk mampu biasa seperti dulu. Tapi setidaknya aku masih bertahan dan akan selalu bertahan dari kebodohan ini.

Minggu, 07 Juli 2013

Piknik ke Pantai Kukup

Sudah beberapa bulan yang lalu kami merencanakan untuk berpiknik ria, lebih tepatnya berpoto di pantai. Namun, banyak kendala yang kami alami, misalnya kami kesulitan untuk menemukan waktu yang paling tepat, masalah dana hingga kebingungan menggunakan kendaraan apa untuk pergi ke pantai.

Tapi akhirnya, hari ini tercapai juga. Kami mengunjungi pantai Kukup, sebuah pantai di pelosok Kabupaten Gunung Kidul, sebenarnya masih segaris dengan pantai Baron, pantai Indrajati dan pantai-pantai lainnya. Namun yang menjadikan pantai Kukup istimewa adalah pulau karang yang terbentuk di tengah lautan dan pinggiran pantai yang terdiri dari pantai pasir dan pantai karang. Belum lagi banyak aktivitas yang dapat ditawarkan pantai ini, kita bisa berburu keong hidup, ikan, duri babi, limpan laut, bahkan ikan-ikan kecil di sela-sela karang.

Kami berangkat dari Yogyakarta dengan menggunakan Bis Kopaja, sebuah bisa tua yang jika tidak ingin dikatakan "busuk". Banyak yang terkejut sebenarnya. Bagaimana tidak, banyak dari kami sebenarnya adalah anak orang berada di daerah masing-masing, dan di sini bis kopaja menjadi satu-satunya pilihan kami untuk pergi berlibur. Tapi overall, kami berangkat juga dengan 22 personil tersisa. Beruntung kami membawa bekal makanan, karena perjalanan ke pantai kukup "lumayan" jauh, kira-kira memakan waktu antara 2-3 jam dan itu cukup membuat kami sedikit "berkuah" dan lelah selama perjalanan. Dan makanan yang tersedia menjadi terlihat bagai makanan yang sangat lezat kala itu.

Acara kemudian dilanjutkan dengan berburu ikan, lebih tepatnya menjaring ikan dengan jaring kecil yang dijual oleh ibu penyewa tikar seharga Rp.5000,-, namun malangnya jaring itu harus hilang diperjalanan, padahal telah berhasil menjaring sekitar 5 keong hidup yang di kampung kami desebut Lulu. Tapi acara berlibur ke pantai kukup lebih dapat dikatakan sebagai liburan photo session, bagaimana tidak, hampir 2 jam waktu kami disana dihabiskan untuk berpoto di sudut sana dan sini. Tapi setidaknya liburan kali ini menjadi sangat berkesan karena mampu mengeratkan hubungan persaudaraan kami (mungkin sebagian) tapi itu sudah lebih dari cukup bagi kami anak perantauan.

Pelanggaran Lalu Lintas

Kisah ini mungkin sederhana, hanya kisah seorang kakak-beradik yang mengendarai sepeda motor di Jalanan Yogyakarta dengan santai. Sesekali bercerita dan tertawa. Semua baik-baik saja sampai sebuah mobil di hadapan mereka berhenti dengan sangat-sangat mendadak. dan BAAAAM!! Terjadilah bencana itu. Oke, diralat. Ada dua bencana. Satu, mereka sukses menabrak bemper mobil dengan sangat keras. Efeknya dapat langsung dilihat dengan mata tertutup sekalipun. Bemper mobil di depan mereka penyok dengan "sangat" parah. Sudah terbayang berapa juta uang yang harus dikeluarkan oleh kakak-beradik itu terlebih ketika mereka mengetahui, sekitar 30 meter di belakang mereka seorang polisi berseragam tengah berpatroli dengan sepeda motornya. Pupus sudah hari indah yang mereka rencanakan. Bencana kedua, yang sejenak "terlupakan" adalah efek yang mereka dapat akibat benturan itu, sang kakak terbentuk bagian depan sepeda motor di bagian perut dan sang adik terbentur barang bawaan mereka yang terbuat dari kayu. Rasa terkejut bercampur sakit dan sedikit takut sejenak membuat hari mereka seperti di kahir dunia dan dua detik setelahnya adalah kiamat.

Tapi mungkin Allah masih sangat sayang pada mereka berdua. Sang supir atau mungkin pemilik mobil terlihat tidak menyadari kejadian tersebut (tabrakan) atau mungkin dia tidak kalah terkejutnya dengan mereka sehingga sejenak mengabaikan hal yang barusan terjadi dan tidak mengetahui kerusakan yang dialami. Terlebih ternyata polisi berseragam yang sedang bertugas terlihat sedang sibuk sendiri dan tidak melihat lakalantas yang terjadi tepat di hadapannya.
Masalah sebenarnya sekarang adalah sang kakak harus menanggung rasa sakit sendiri, tanpa seorangpn tahu, karena sang kakak dan adik telah berjanji untuk merahasiakan perihal kecelakaan itu pada siapapun. Bukan karena mereka takut orang disekelilingnya khawatir tetapi lebih karena mereka malu. Mereka terlalu teledor dan mengabaikan kemungkinan kecelakaan di tempat yang tidak padat pengendara kendaraan baik mobil maupun sepeda motor.

Mereka sekarang sedang bertanya-tanya, apakah mereka bersalah? atau mereka hanyalah korban dari ketidak-hati-hatian penggunan kendaraan lain yang memberhentikan kendaraannya tiba-tiba? Mereka masih belum mampu menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin memang sebaiknya mereka merahasiakannya saja.

Sabtu, 06 Juli 2013

Awal mulanya impian gadis kecil



Semua berawal dari kelas sederhana ini yang nama daerahnya pun tak terdeteksi di google. Aku duduk di sana bersama teman-teman kecilku yang gila. Tunggu..aku akan menceritakan tentang mereka nanti sekarang ada pria berdiri di hadapan kami dengan percaya diri, dia guruku namanya Irwan Effendi, dia guru kelas 6 kami. Pria muda yang datang dari negeri jauh, jauh sebelum aku dilahirkan ke dunia ini. Setiap hari dia menjejali kami dengan nasehat-nasehat dan terlebih motivasi untuk berubah. Ya…teman, kami anak pelosok yang minim motivasi. Sungguh mengenaskan, kami kurang motivasi dan miskin. Apalagi yang lebih menyedihkan dari itu, padahal hanya motivasi dan mimpi yang membuat orang miskin seperti kami tetap hidup, tidak menguap ke udara layaknya debu truk perkebunan yang mondar-mandir di depan rumah kami. Mereka kaya sedang kami hanya kebagian asap derita. Aku kembali teringat dengan kakak kelas yang nekat belajar ke kota tapi akhirnya malah kehabisan motivasi dan kembali ke pelosok tempat ribuan hektar sawit-sawit tumbuh dan dipanen tanpa menjadikan kami kaya raya.

Aku tidak berkisah tentang ketidakadilan, ini cerita tentang minimnya motivasi dan kenakalan remaja berkembang luas di pelosok desa ini. Terkadang aku dan teman-teman kecilku mencoba menganalisa hal ini dengan otak kecil kami yang kurang nutrisi. Seperti yang terjadi siang itu dibawah rimbunnya cemara di depan kelas 6. Aku, Kika gadis kecil dengan rambut dikucir dua hasil kreasi ibuku yang terburu-buru tadi pagi dan mereka kedua sahabat terbaikku, yang putih itu Muti dan si kurus (aku tidak pernah mau mengakui kalau aku juga kurus) itu Tia. Kami sangat dekat bahkan hingga tidak berani membayangkan nantinya kami akan berpisah. Bisa dikatakan kami tumbuh besar bersama diantara polusinya lingkungan di sekitar kami dan tetap berusaha menjadi kebanggaan keluarga bahkan disaat teman-teman kecil kami mulai sibuk dengan televisi setiap sore menjelang sedangkan kami tetap harus belajar mengaji pada ustadz Din. Ustadz Din adalah orang yang sangat sabar dan baik hati bahkan kami diizinkan mengambil buah-buahan yang tumbuh di dekat rumahnya. Aku paling suka buah salak, tapi Muti tidak suka, menurutnya salak adalah  tumbuhan yang paling mengerikan. Menurut teorinya salak di kehidupan sebelumnya (ya..dia percaya reinkarnasi) adalah pembunuh, “ lihat duri-duri di tubuhnya yang seperti keris, duri salak itu pasti dulunya adalah senjatanya untuk membunuh”.  Mengapa Muti sangat takut pada salak? Sangat aneh, apakah ini termasuk penyakit ketakutan akan sesuatu yang bahasa kerennya phobia? Sayangnya aku bukan dokter jadi aku tidak tahu. Mungkin nanti ketika aku bertemu abangku yang ganteng akan aku tanyakan, dia calon dokter di ibukota propinsi. Sebenarnya dia abang sepupuku, dia anak dari kakak ayahku, bagaimana ya mengatakannya, tapi hubungan kami sangat erat, bahkan sejak kelas satu sekolah dasar dia rutin mengirimkanku surat. Suratnya sangat indah, selalu memotivasi dan membuatku tersenyum. Untuk ukuran otak kecilku, mungkin aku suka dia membayangkan jika suatu saat nanti kami akan menjadi pengantin. Pasti sangat membahagiakan punya suami dokter yang ganteng dan sangat baik seperti dia. Tahun pun berganti, obsesiku akan dia mulai berkurang, mungkin aku akan sudah cukup bahagia jika nantinya dia menikah dengan gadis yang baik sepadan dengan dia. Dan dengan kapasitas jiwa dewasa yang terjebak di tubuh mungil ini bisa dikatakan aku akan cemburu pada gadis beruntung itu, tidak seperti aku yang hanya berani menyukainya diam-diam.

……………

“Mut, kamu setuju gak sama yang dibilang pak iwan tadi?” kataku sambil cemberut, terlintas kembali kata-kata pak iwan di kelas siang tadi, sebagai penduduk asli desa ini jelas aku tersinggung ketika dia mengatakan kami penduduk desa seperti katak dalam tempurung, mudah puas dengan yang kami miliki saat ini bahkan sangat minim motivasi untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Muti kelihatan berpikir sejenak. “Udah lah Kika jangan kesal gitu, bukannya emang benar ya desa kita ini kemajuannya super lambat, terima aja lah kata-kata pak iwan jangan diambil pusing” kata Muti akhirnya, mataku beralih kepada Tia berharap dia lebih berpihak padaku. Yang dilihat hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti “kalian ngomongin kata-kata pak iwan yang mana sih? Aku ingatnya cuma waktu dia bilang harus sekolah di kota”. Senyum kurasakan mengembang diwajahku, aku berharap rindangnya pohon cemara mampu membawa damai di hati kami untuk sebuah kata sepakat. “Muti, Tia…gimana kalau kita lanjutin sekolah di kota? Demi perubahan desa kita” kataku bersemangat “emangnya kalian mau disamakan dengan katak? Udah katak, tejebak lagi dalam tempurung..apa hebatnya coba”. Diiringi sepoi angin yang menyapa lembut aku mulai membayangkan hari-hari indahku di kota bersama mereka, kami pasti akan menjadi trio terhebat, dan dapat mengulang persahabatan kami yang lengket seperti lem di lokasi dan situasi yang berbeda nantinya, sangat heroik. Belajar di kota demi perubahan dan kemajuan di kampung halaman, seperti cerita yang pernah kubaca di  sebuah perpustakaan sepi di sekolah kami, sepi murid dan sepi buku. Nantinya kami akan disanjung-sanjung melebihi sanjungan masyarakat kota Gotham pada Batman sang hero yang sangat kaya dan hebat.

“Sepertinya kami gak bisa sekolah di kota Kika” kata Muti. Mendadak angin terasa berhenti bertiup bahkan halaman sekolah yang sepi tiba-tiba menjadi kerontang, sejak kapan mereka mengidentikkan diri menjadi satu kesatuan tanpa aku? Sekarang mereka menyebut kami, bukan kita seperti yang selama ini kami lakukan, apakah aku diam-diam dikeluarkan dari lingkaran persahabatan yang kami bangun…”kenapa? Kataku kelu, aku rasa lidahku tergigit atau aku yang menggigit, entahlah aku ingin menangis. “kami gak bisa Kika” Tia pun kini bersekongkol dengan Muti menepikan aku disisi yang lain jauh dari mereka. Siang sedang hamil tua diatas kami, kami terdiam cukup lama dan kehilangan canda untuk hari-hari selanjutnya, tepatnya sejak aku tidak ingin menjadi katak lagi. Aku adalah katak yang durhaka, mungkin begitu mereka menganggapku kini.

Desa pelosok ini tidak perlu perubahan, kata tetua desa, kata para ayah, bahkan kata para ibu. Kestabilan selalu dicintai tanpa melihat dampak buruk yang diam-diam terjadi. Selalu begitu, bahkan katak desa kami yang belajar merangkak dari tempurung pun seringkali terpeleset jatuh dan menyerah pulang dengan muka tertunduk bahkan setelah ladang orang tuanya sudah tergadai demi pendidikannya di kota. Selalu begitu, lagu lama desa kecil kami bahkan kabar duka dan bahagia tersebar dalam hitungan detik disini.

Pagi ini dia kembali berdiri gagah di hadapan kami, murid-muridnya yang kekurangan motivasi. “ anak-anakku, tahukah kalian? 15 tahun lalu bapak menginjakkan kaki di desa ini, jauh sebelum kalian lahir, ternyata setelah belasan tahun berlalu desa kita tetap seperti ini, jalan tetap berlubang, jembatan tetap bobrok, dan desa kita tetap tidak memiliki jaringan telepon, lalu apa yang mau kita banggakan lagi? Kalian harus menginjakkan kaki kalian di kota, bukan untuk gaya-gayaan tetapi untuk membuka wawasan kalian” mata pak iwan terlihat menerawang, “sangat kasihan si katak itu, hanya terjebak di dalam tempurung, pikirnya tempurungnya adalah tempat paling indah sedunia karena dia tidak pernah tahu dan melihat dunia di luar tempurung”. Entah mengapa aku merasa jantungku berdetak sangat cepat (biasanya ini tanda jika aku bersemangat akan sesuatu). “apa kalian mau jadi seperti katak?” dan kami pun menjawab lantang “tidaaaaak!!!”. Senyum mengembang di wajahnya “bagus, belajarlah yang rajin dan kejar impianmu di kota, bukan di desa ini yang sudah terpolusi atau kalian akan tetap menjadi katak dalam tempurung selamanya”. Katanya sambil menutup kelas yang sedang diluap semangat sekolah ke kota, sempat kulihat Muti dan Tia ternyata mereka juga bersemangat, harapanku pada mereka kembali tumbuh, aku berdoa dalam hati semoga kami bisa bersekolah bersama di kota. Kegembiraan ini terasa meluap sampai matahari siang terasa sejuk menimpa kulitku. Gilaku mulai bertambah lagi.

Tepat 6 bulan telah berlalu sejak kami pekikkan kata-kata perubahan, apalagi kalau bukan tidak ingin menjadi katak, mengingat kata-kata itu sekarang membuatku bahagia, ada dua alasan untuk kebahagiaanku, pertama sekarang rambutan sedang merah-merahnya, dan kedua, esok pagi aku akan meninggalkan desa ini demi perubahan dan demi kemajuan desa walaupun aku masih bingung kemajuan seperti apa yang akan aku ciptakan nanti. Pastinya adalah aku tidak ingin jadi katak apalagi terjebak dalam tempurung selamanya. Dan aku penasaran, nantinya aku akan dikenang seperti apa (teringat kata-kata Keke dalam Surat Kecil Untuk Tuhan). Semoga yang dikenang dalam senyuman.