Polwan atau polisi wanita akhirnya
lahir di Indonesia pada tanggal 1 September 1948. Kelahirannya berawal dari Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat, saat pemerintah Indonesia
menghadapi Agresi Militer II. Pemerintah Indonesia saat itu menunjuk SPN (Sekolah Polisi Negara) Bukit
Tinggi untuk membuka Pendidikan Inspektur Polisi bagi kaum wanita. Setelah
melalui seleksi, terpilihlah enam orang wanita, yakni Mariana Saanin, Nelly
Pauna, Rosmalina, Dahniar, Djasmainar, dan Rosnalia. Keenam gadis itu secara
resmi mulai mengikuti Pendidikan
Inspektur Polisi di SPN Bukit Tinggi, pada tanggal 1 September 1948. Ke enam
Polwan angkatan pertama tersebut juga tercatat sebagai wanita ABRI pertama di
tanah air yang kini kesemuanya sudah pensiun dengan rata-rata berpangkat
Kolonel Polisi.
Pendidikan Polwan ini sempat terhenti
karena adanya Agresi Militer Belanda yang mengharuskan polisi wanita tersebut
ikut bergerilya. Pada Bulan Januari 1950 dengan adanya instruksi dari Kepala
Cabang Jawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera, para Polisi Wanita itu
berkumpul kembali di Bukittingi untuk melanjutkan pendidikan hingga dilantik
pada tahun 1951. Selanjutnya organisasi Bhayangkari sebagai anggota aktif pada Kongres Wanita Indonesia, dalam Kongres
II Kowani di Palembang pada bulan Maret 1955, memperjuangkan usulan tetang pendidikan
polisi wanita dan bentuk peradilan anak-anak, yang kemudian di setujui oleh
Kowani dan diajukan kepada pemerintah sebagai usul dari semua organisasi wanita
yang bergabung dalam Kowani. Sebagai tindak lanjut dari hasil Kongres III
tersebut, Tahun 1957 Kepala Kepolisian Negara mengirim 3 Bhayangkari yaitu Ny
Soejono, Ny Waluyo Sugondo, Ny Haryaso ke Amerika Serikat. Selama tiga bulan,
mereka mempelajari Pola pendidikan dan pembinaan Polisi wanita di negara
tersebut.
Pada Bulan Juni 1957 Kowani membentuk
panitia yang bertugas memperjuangkan dibukanya kembali Pendidikan Polisi
wanita. Akhirnya pada Bulan Maret 1968 Bhayangkari mendampingi delegasi Kowani
yang dipimpin oleh ketuanya ibu Maria Ulfa Santoso, menghadap Kepala Kepolisian
Negara dan membicarakan Pendidikan Polisi wanita tersebut, dan pada prinsipnya
Kepala Kepolisian Negara setuju dan pendidikan Polisi Wanita akan dibuka
meliputi pendidikan dari pangkat rendah sampai atas. Diawal pembentukanya pada
tahun 1948 dalam susunan organisasi Polri memang belum terlihat pembinaan
Polwan secara khusus, meskipun pimpinan Polri pada masa itu sangat
memperhatikan kepentingan Polwan, Baru pada tahun 1964 Polwan berada di bawah
Kepala Urusan Kepolisisan Wanita di Mabes Polri. Kemudian pada tahun 1967
berubah menjadi Pusat Polisi Wanita.
Pada tahun 1977 Pusat Polisi wanita
di lebur menjadi Biro Polisi Wanita yang berada di bawah Paban V/Khusus Pers
Polri. Namun dengan adanya reorganisasi Polri pada tahun 1984 Biro Polwan di
tiadakan. Kini, untuk wadah pembinaan Polwan berada di bagian Polisi wanita
yang bernaung dibawah Direktur Personil Polri dan Biropers untuk tingkat
daerah. Sejarah baru Polwan sebenarnya dimulai saat Jendral Anton Soedjarwo
menjabat sebagai Kapolri dan Kapolda Jawa Timur dijabat oleh Mayjen Soedarmadji.
Kedua pejabat Polri itu mengambil langkah
berani dengan menempatkan beberapa orang Polwan Pilihan untuk menempati jabatan
strategis, sejak saat itu Polwan bukan hanya di percaya sebagai pemegang bidang
tugas pembinaan tetapi juga memegang komando bidang operasional di lapangan.
Bersamaan dengan itu sejumlah Polwan berpangkat Perwira menengah dipercaya
mengemban tugas kekaryaan fungsi sosial politik dilembaga legislatif.
Seragam
dalam Frame Birokrasi Monokulturalisme
Puluhan tahun lamanya polisi wanita
hadir di tengah masyarakat Indonesia, isu-isu
mengenai penggunaan kerudung (hijab) dikalangan institusi penegak hukum
ini tak pernah terjadi. Isu penggunaan
hijab dikalangan Polwan ini mulai merebak sejak pemberlakuan keistimewaan di
Aceh, yang secara langsung berimbas pada kewajiban bagi Polwan untuk turut
menggunakan Jilbab pada Tahun 2004. Isu penggunaan Hijab dikalangan Polwan ini
kemudian kembali muncul pada Tahun 2009, tatkala Gubernur Jawa Timur, Soekarwo
menghimbau kepada aparat Polwan muslimah di daerah Jawa Timur untuk menggunakan
pakaian yang menutup aurat. Himbauan Gubernur Jawa Timur ini terkait dengan
posisi Jawa Timur sebagai daerah santri, yang mayoritas masyarakatnya
menjunjung tingi nilai-nilai islami (Detik news, 5 Maret 2009). Keinginan
Gubernur Jawa Timur ini mendapat respon positif dari Kapolda Jawa Timur saat
itu, Brigjen
Polisi Anton Bahrul Alam, menganjurkan Polwan di wilayahnya untuk mengenakan
Jilbab, Selain itu, Bachrul juga meminta kepada para Polisi yang beragama Islam
agar semakin giat membaca al-Qur’an (Era Muslim, 12 Maret 2009). Semenjak
itu isu penggunaan jilbab dikalangan Polwan tak lagi terdengar. keinginan
penggunaan jilbab dikalangan polwan sebenarnya ada, tapi pada umumnya polwan
ini memendam kenginan itu, dan lebih memilih untuk mematuhi aturan yang ada
(wawancara dengan Briptu NN, 22 Mei 2013).
Isu penggunaan Jilbab dikalangan
polwan ini kemudian muncul dengan adanya akun di jejaring sosial media mengenai
dukungan penggunaan jilbab dikalangan polwan. Keinginan penggunaan jilbab
dikalangan Polwan selanjutnya muncul seiring dengan adanya pengaduan salah satu
anggota Powan di jajaran Polda Jawa Tengah ke MUI terkait dengan keinginannya
untuk menggunakan jilbab tapi tak mendapat izin dari pimpinannya. Anggota polwan
ini mengemukakan jika keinginan untuk menggunakan Jilbab selalu ada, terlebih
sepulang Umrah dia benar-benar berkeinginan untuk menjalankan syari’at islam
secara kaffah, akan tetapi keinginan itu tidak dapat diwujudkan.
Melihat realitas
pelarangan penggunaan Jilbab di kalangan Polwan maka kita melihatnya sebagai
suatu bentuk monokulturalisme yang dipaksakan secara halus. Monokulturalisme
ini diwujudkan dengan adanya keinginan untuk menyeragamkan entitas yang
berbeda-beda dalam satu wujud yang serupa. Sebagaimana kita tahu, Indonesia
merupakan identitas plural yang di huni beragam identitas baik etnik maupun
agama. Sehingga bentuk pelarangan penggunaan jilbab dikalangan Polwan ini
menunjukkan adanya proses untuk membelenggu bagi tiap-tiap individu untuk
mengekspresikan identitas. Institusi Polri ingin mewujudkan identitas
tunggal pada kesatuannya, yakni menjadi
institusi netral dengan tidak
memperlihatkan keberpihakan, dan mewujudkan stabilitas sistem. Keinginan ini
tentu saja sejalan dengan prinsip monokulturalisme yakni adanya upaya
pemerintah menyangkut kebudayaan dan sistem negara.
Mengacu pada definisi Weber mengenai
birokrasi, pada hakekatnya organisasi Polri merupakan bentuk institusi
pemerintahan yang tak berbeda jauh dengan institusi pemerintahan yang lainnya.
Di dalam birokrasi secara umum individu pejabat secara personal bebas, akan
tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau
kepentingan individual dalam jabatannya. Demikian halnya pada institusi Polri,
setiap aparat penegak hukum ini memiliki kebebasan sebagai individu, tetapi tetap memiliki keterikatan
ketika berada korps kesatuannya. Jabatan-jabatan dalam institusi Polri disusun
secara hierarkis dari tingkat atas ke bawah tugas dan fungsi masing-masing
jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya, kharakter
ini juga sama dengan birokrasi pada umumnya. Jika pada birokrasi lainnya setiap
pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, pada institusi
Polri pun demikiaan adanya.
Pada hakekatnya Polri merupakan
organisasi formal yang berprinsip pada norma ideal dan rasional, tidak berbeda
jauh dengan organisasi birokrasi yang lainnya.
Meskipun pada awalnya pembentukan Polri ini tumbuh berkembang bersamaan
dengan institusi militer lainnya, TNI, akan tetapi pasca reformasi 1998,
tepatnya 1 April 1999 organisasi Polri ini kemudian berjalan sendiri menjadi
institusi negara yang lebih menonjolkan
perannya sebagai penegak hukum, pembina ketertiban masyarakat, pelindung,
pengayom, dan pelayan masyarakat (Pasal
13 UU No.2 Tahun 2002). Dengan
demikian, dalam monokulturalisme birokrasi, kebijakan pelarangan penggunaan
Jilbab dikalangan polwan menunjukkan adanya peleburan identitas yang disatukan
dalam institusi organisasi formal.
Bentuk Kebijakan
Pelarangan Jilbab : Hegemoni Sekuler
Atas Perbedaan
Terkait
dengan kebijakan penggunaan seragam dan atributnya, Polri memiliki regulasi
Skep/702/IX/2005. Peraturan ini mengatur mengenai penggunaan seragam bagi
kalangan pegawai Polri maupun PNS yang bekerja pada institusi ini. Peraturan
itu secara umum membedakan adanya seragam umum dan seragam khusus bagi Polri.
Seragam umum tersebut antara lain : pakaian dinas upacara (PDU), pakaian dinas harian
(PDH), pakaian dinas lapangan (PDL), pakaian dinas parade (PDP) serta pakaian
dinas sipil harian (PDSH).
Adapun seragam Polri yang bersifat
khusus antara lain : pakaian dinas samapta, pakaian
dinas lalu lintas, pakaian dinas pariwisata, pakaian dinas resers, pakaian
dinas intelkam, pakaian dinas brimob, pakaian dinas pol air, pakaian Ddnas Pol
udara, pakaian dinas satwa, pakaian dinas satpamkol, pakaian dinas satuan
musik, pakaian dinas provos, pakaian dinas provos, pakaian dinas gadik, pakaian
dinas peliputan, pakaian dinas pramugari dan pakaian dinas forensik. Peraturan
yang di buat pada masa Kapolri di jabat oleh Jendral Polisi Drs.Sutanto ini
hanya memuat aturan umum mengenai penggunaan seragam, dalam peraturan ini tidak
ada peraturan khusus yang membahas
mengenai penggunaan seragam di kalangan polwan, apakah diperbolehkan atau
dilarang.
Mengamati ketidakjelasan sikap Polri
atas penggunaan jilbab dikalangan Polwan ini kita membacanya bahwa ada bentuk
hegemoni yang diciptakan oleh institusi Polri kepada polisi wanita yang ingin
menunjukkan ekspresi identitas keagamaannya. Gramsci membahasakan hegemoni
sebagai kekuasaan dominasi antara satu
kelompok yang “berkuasa” dengan kelompok yang “dikuasai”. Dalam kasus ketidak
jelasan peraturan Polri mengenai penggunaan atribut keagamaan, baik itu jilbab,
kalung salib, maupun atribut agama lain, hal ini menegaskan bahwa kelompok
agama menjadi bagian yang dikuasai oleh kelompok nasionalisme sekuler.
Dominasi kekuasaan ini
termanifestasi menjadi dua bentuk, dominasi secara langsung maupun dominasi
tidak langsung. Dominasi secara langsung diwujudakan melalui adanya peraturan
yang menimbulkan ambiguisitas bagi individu anggota Polwan. Anggota Polwan
diikat dengan beragam peraturan yang membatasi gerak langkahnya untuk
menunjukkan identitas dirinya yang sebenarnya. Peraturan mengenai pelarangan
penggunaan jilbab ini sebenarnya sudah dimulai ketika seseorang itu
berkeinginan untuk menjadi bagian dalam kesatuan Bayangkari, berawal dari
proses rekruitmen ini calon taruni
(calon anggota Polwan) sudah mengetahui
konsekuensi yang akan diterima ketika akan menjadi bagian dari institusi Polri,
sehingga bila tidak berkenan bisa mudur dari awal.
Dominasi ini kemudian diperkuat dengan tidak adanya aturan khusus bagi
Polwan yang berkeinginan berjilbab, selain Skep/702/IX/2005.
Sedangkan
dominasi tidak langsung diekspresikan melalui kepemimpinan moral di masyarakat
sipil. Polwan merupakan bagian dari polri yang selalu diharapkan menjadi
pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat. Untuk mewujudkan itu, sosok Polwan
saat ini selalu dikonstruksikan sebagai sosok perempuan yang tegas, menonjolkan
maskulinitas, dengan ciri fisik berambut pendek, tinggi, dan sebagainya.Dengan
kontruksi seperti ini Polwan diharapkan mampu menyampaiakan pesan-pesan moral,
sebagai sosok pemimpin yang disiplin dan penuh integritas. Konstruksi identitas inilah yang sekiranya
menjadi identitas tunggal yang dipaksakan kepada semua jajaran anggota Polwan.
Kedua
saluran dominasi tersebut dibingkai dalam satu konsepsi tentang negara, yaitu
apa yang disebut oleh Gramsci sebagai “negara integral”. Tentu konsep negara
integral ini dapat dibedakan dengan konsep totalitarianisme, karena dalam
negara integral terdapat “kesukarelaan” yang tentunya tidak ada dalam konsep
totalitarianisme. Kesukarelaan ini terbentuk dengan kesepakatan yang terjadi
pada institusi Polri. Dalam konteks pewajiban dan pelarangan jilbab bagi
polwan, persetujuan yang aktif dilakukan sejak proses rekruitmen ditingkat
taruni saat menjalani masa pembinaan di Akadimi Kepolisian dengan basis
pengetahuan bahwa seragam dinas taruni tidak ada jilbab. Selanjutnya ada pula
kesepakatan yang terjadi pada institusi Polri bahwa sebagai pelayan masyarakat,
Polwan harus bersifat netral, sehingga menurut Wakapolri Nanan Soekarna, penggunaan jilbab dikalangan Polwan ini
disinyalir akan mempengaruhi kinerja Polwan yang akan bersifat imparsial
(Detik, 24 Mei 2013).
Daftar
Pustaka
Patria, Nezar. 1999. Antonio Gramsci dan Hegemoni. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Robert
Bocock. 2007. Pengentar Komprehensif
Untuk Memahami Hegemoni, Yogyakarta: Jala Sutra.
Pardoyo,
Sekularisasi dalam Polemik. 1993. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Toha, Miftah. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di
Era Reformasi. Jakarta : Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar