Translate

Selasa, 02 Juli 2013

Sejarah Polisi Wanita di Indonesia

         Polwan atau polisi wanita akhirnya lahir  di Indonesia  pada tanggal 1 September 1948. Kelahirannya berawal dari Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat, saat pemerintah Indonesia menghadapi Agresi Militer II. Pemerintah Indonesia saat itu  menunjuk SPN (Sekolah Polisi Negara) Bukit Tinggi untuk membuka Pendidikan Inspektur Polisi bagi kaum wanita. Setelah melalui seleksi, terpilihlah enam orang wanita, yakni Mariana Saanin, Nelly Pauna, Rosmalina, Dahniar, Djasmainar, dan Rosnalia. Keenam gadis itu secara resmi  mulai mengikuti Pendidikan Inspektur Polisi di SPN Bukit Tinggi, pada tanggal 1 September 1948. Ke enam Polwan angkatan pertama tersebut juga tercatat sebagai wanita ABRI pertama di tanah air yang kini kesemuanya sudah pensiun dengan rata-rata berpangkat Kolonel Polisi.

         Pendidikan Polwan ini sempat terhenti karena adanya Agresi Militer Belanda yang mengharuskan polisi wanita tersebut ikut bergerilya. Pada Bulan Januari 1950 dengan adanya instruksi dari Kepala Cabang Jawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera, para Polisi Wanita itu berkumpul kembali di Bukittingi untuk melanjutkan pendidikan hingga dilantik pada tahun 1951. Selanjutnya organisasi Bhayangkari sebagai anggota aktif  pada Kongres Wanita Indonesia, dalam Kongres II Kowani di Palembang pada bulan Maret 1955, memperjuangkan usulan tetang pendidikan polisi wanita dan bentuk peradilan anak-anak, yang kemudian di setujui oleh Kowani dan diajukan kepada pemerintah sebagai usul dari semua organisasi wanita yang bergabung dalam Kowani. Sebagai tindak lanjut dari hasil Kongres III tersebut, Tahun 1957 Kepala Kepolisian Negara mengirim 3 Bhayangkari yaitu Ny Soejono, Ny Waluyo Sugondo, Ny Haryaso ke Amerika Serikat. Selama tiga bulan, mereka mempelajari Pola pendidikan dan pembinaan Polisi wanita di negara tersebut.

          Pada Bulan Juni 1957 Kowani membentuk panitia yang bertugas memperjuangkan dibukanya kembali Pendidikan Polisi wanita. Akhirnya pada Bulan Maret 1968 Bhayangkari mendampingi delegasi Kowani yang dipimpin oleh ketuanya ibu Maria Ulfa Santoso, menghadap Kepala Kepolisian Negara dan membicarakan Pendidikan Polisi wanita tersebut, dan pada prinsipnya Kepala Kepolisian Negara setuju dan pendidikan Polisi Wanita akan dibuka meliputi pendidikan dari pangkat rendah sampai atas. Diawal pembentukanya pada tahun 1948 dalam susunan organisasi Polri memang belum terlihat pembinaan Polwan secara khusus, meskipun pimpinan Polri pada masa itu sangat memperhatikan kepentingan Polwan, Baru pada tahun 1964 Polwan berada di bawah Kepala Urusan Kepolisisan Wanita di Mabes Polri. Kemudian pada tahun 1967 berubah menjadi Pusat Polisi Wanita.

          Pada tahun 1977 Pusat Polisi wanita di lebur menjadi Biro Polisi Wanita yang berada di bawah Paban V/Khusus Pers Polri. Namun dengan adanya reorganisasi Polri pada tahun 1984 Biro Polwan di tiadakan. Kini, untuk wadah pembinaan Polwan berada di bagian Polisi wanita yang bernaung dibawah Direktur Personil Polri dan Biropers untuk tingkat daerah. Sejarah baru Polwan sebenarnya dimulai saat Jendral Anton Soedjarwo menjabat sebagai Kapolri dan Kapolda Jawa Timur dijabat oleh Mayjen Soedarmadji. Kedua pejabat Polri itu mengambil langkah berani dengan menempatkan beberapa orang Polwan Pilihan untuk menempati jabatan strategis, sejak saat itu Polwan bukan hanya di percaya sebagai pemegang bidang tugas pembinaan tetapi juga memegang komando bidang operasional di lapangan. Bersamaan dengan itu sejumlah Polwan berpangkat Perwira menengah dipercaya mengemban tugas kekaryaan fungsi sosial politik dilembaga legislatif.

Seragam dalam Frame Birokrasi Monokulturalisme
           
Puluhan tahun lamanya polisi wanita hadir di tengah masyarakat Indonesia, isu-isu  mengenai penggunaan kerudung (hijab) dikalangan institusi penegak hukum ini tak pernah terjadi.  Isu penggunaan hijab dikalangan Polwan ini mulai merebak sejak pemberlakuan keistimewaan di Aceh, yang secara langsung berimbas pada kewajiban bagi Polwan untuk turut menggunakan Jilbab pada Tahun 2004. Isu penggunaan Hijab dikalangan Polwan ini kemudian kembali muncul pada Tahun 2009, tatkala Gubernur Jawa Timur, Soekarwo menghimbau kepada aparat Polwan muslimah di daerah Jawa Timur untuk menggunakan pakaian yang menutup aurat. Himbauan Gubernur Jawa Timur ini terkait dengan posisi Jawa Timur sebagai daerah santri, yang mayoritas masyarakatnya menjunjung tingi nilai-nilai islami (Detik news, 5 Maret 2009). Keinginan Gubernur Jawa Timur ini mendapat respon positif dari Kapolda Jawa Timur saat itu, Brigjen Polisi Anton Bahrul Alam, menganjurkan Polwan di wilayahnya untuk mengenakan Jilbab, Selain itu, Bachrul juga meminta kepada para Polisi yang beragama Islam agar semakin giat membaca al-Qur’an (Era Muslim, 12 Maret 2009). Semenjak itu isu penggunaan jilbab dikalangan Polwan tak lagi terdengar. keinginan penggunaan jilbab dikalangan polwan sebenarnya ada, tapi pada umumnya polwan ini memendam kenginan itu, dan lebih memilih untuk mematuhi aturan yang ada (wawancara dengan Briptu NN, 22 Mei 2013). 

Isu penggunaan Jilbab dikalangan polwan ini kemudian muncul dengan adanya akun di jejaring sosial media mengenai dukungan penggunaan jilbab dikalangan polwan. Keinginan penggunaan jilbab dikalangan Polwan selanjutnya muncul seiring dengan adanya pengaduan salah satu anggota Powan di jajaran Polda Jawa Tengah ke MUI terkait dengan keinginannya untuk menggunakan jilbab tapi tak mendapat izin dari pimpinannya. Anggota polwan ini mengemukakan jika keinginan untuk menggunakan Jilbab selalu ada, terlebih sepulang Umrah dia benar-benar berkeinginan untuk menjalankan syari’at islam secara kaffah, akan tetapi keinginan itu tidak dapat diwujudkan.

Melihat realitas pelarangan penggunaan Jilbab di kalangan Polwan maka kita melihatnya sebagai suatu bentuk monokulturalisme yang dipaksakan secara halus. Monokulturalisme ini diwujudkan dengan adanya keinginan untuk menyeragamkan entitas yang berbeda-beda dalam satu wujud yang serupa. Sebagaimana kita tahu, Indonesia merupakan identitas plural yang di huni beragam identitas baik etnik maupun agama. Sehingga bentuk pelarangan penggunaan jilbab dikalangan Polwan ini menunjukkan adanya proses untuk membelenggu bagi tiap-tiap individu untuk mengekspresikan identitas. Institusi Polri ingin mewujudkan identitas tunggal  pada kesatuannya, yakni menjadi institusi netral  dengan tidak memperlihatkan keberpihakan, dan mewujudkan stabilitas sistem. Keinginan ini tentu saja sejalan dengan prinsip monokulturalisme yakni adanya upaya pemerintah menyangkut kebudayaan dan sistem negara.

Mengacu pada definisi Weber mengenai birokrasi, pada hakekatnya organisasi Polri merupakan bentuk institusi pemerintahan yang tak berbeda jauh dengan institusi pemerintahan yang lainnya. Di dalam birokrasi secara umum individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Demikian halnya pada institusi Polri, setiap aparat penegak hukum ini memiliki kebebasan sebagai  individu, tetapi tetap memiliki keterikatan ketika berada korps kesatuannya. Jabatan-jabatan dalam institusi Polri disusun secara hierarkis dari tingkat atas ke bawah tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya, kharakter ini juga sama dengan birokrasi pada umumnya. Jika pada birokrasi lainnya setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, pada institusi Polri pun demikiaan adanya.

Pada hakekatnya Polri merupakan organisasi formal yang berprinsip pada norma ideal dan rasional, tidak berbeda jauh dengan organisasi birokrasi yang lainnya.  Meskipun pada awalnya pembentukan Polri ini tumbuh berkembang bersamaan dengan institusi militer lainnya, TNI, akan tetapi pasca reformasi 1998, tepatnya 1 April 1999 organisasi Polri ini kemudian berjalan sendiri menjadi institusi negara  yang lebih menonjolkan perannya sebagai penegak hukum, pembina ketertiban masyarakat, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat (Pasal  13 UU  No.2 Tahun 2002). Dengan demikian, dalam monokulturalisme birokrasi, kebijakan pelarangan penggunaan Jilbab dikalangan polwan menunjukkan adanya peleburan identitas yang disatukan dalam institusi organisasi formal.

Bentuk Kebijakan  Pelarangan Jilbab : Hegemoni Sekuler Atas Perbedaan

      Terkait dengan kebijakan penggunaan seragam dan atributnya, Polri memiliki regulasi Skep/702/IX/2005. Peraturan ini mengatur mengenai penggunaan seragam bagi kalangan pegawai Polri maupun PNS yang bekerja pada institusi ini. Peraturan itu secara umum membedakan adanya seragam umum dan seragam khusus bagi Polri. Seragam umum tersebut antara lain : pakaian dinas upacara (PDU), pakaian dinas harian (PDH), pakaian dinas lapangan (PDL), pakaian dinas parade (PDP) serta pakaian dinas sipil harian (PDSH).

Adapun seragam Polri yang bersifat khusus antara lain : pakaian dinas samapta, pakaian dinas lalu lintas, pakaian dinas pariwisata, pakaian dinas resers, pakaian dinas intelkam, pakaian dinas brimob, pakaian dinas pol air, pakaian Ddnas Pol udara, pakaian dinas satwa, pakaian dinas satpamkol, pakaian dinas satuan musik, pakaian dinas provos, pakaian dinas provos, pakaian dinas gadik, pakaian dinas peliputan, pakaian dinas pramugari dan pakaian dinas forensik. Peraturan yang di buat pada masa Kapolri di jabat oleh Jendral Polisi Drs.Sutanto ini hanya memuat aturan umum mengenai penggunaan seragam, dalam peraturan ini tidak ada  peraturan khusus yang membahas mengenai penggunaan seragam di kalangan polwan, apakah diperbolehkan atau dilarang.

          Mengamati ketidakjelasan sikap Polri atas penggunaan jilbab dikalangan Polwan ini kita membacanya bahwa ada bentuk hegemoni yang diciptakan oleh institusi Polri kepada polisi wanita yang ingin menunjukkan ekspresi identitas keagamaannya. Gramsci membahasakan hegemoni sebagai  kekuasaan dominasi antara satu kelompok yang “berkuasa” dengan kelompok yang “dikuasai”. Dalam kasus ketidak jelasan peraturan Polri mengenai penggunaan atribut keagamaan, baik itu jilbab, kalung salib, maupun atribut agama lain, hal ini menegaskan bahwa kelompok agama menjadi bagian yang dikuasai oleh kelompok nasionalisme sekuler.  

         Dominasi kekuasaan ini termanifestasi menjadi dua bentuk, dominasi secara langsung maupun dominasi tidak langsung. Dominasi secara langsung diwujudakan melalui adanya peraturan yang menimbulkan ambiguisitas bagi individu anggota Polwan. Anggota Polwan diikat dengan beragam peraturan yang membatasi gerak langkahnya untuk menunjukkan identitas dirinya yang sebenarnya. Peraturan mengenai pelarangan penggunaan jilbab ini sebenarnya sudah dimulai ketika seseorang itu berkeinginan untuk menjadi bagian dalam kesatuan Bayangkari, berawal dari proses rekruitmen ini  calon taruni (calon anggota Polwan)   sudah mengetahui konsekuensi yang akan diterima ketika akan menjadi bagian dari institusi Polri, sehingga bila tidak berkenan bisa mudur dari awal. Dominasi ini kemudian diperkuat dengan tidak adanya aturan khusus bagi Polwan yang berkeinginan berjilbab, selain Skep/702/IX/2005.

       Sedangkan dominasi tidak langsung diekspresikan melalui kepemimpinan moral di masyarakat sipil. Polwan merupakan bagian dari polri yang selalu diharapkan menjadi pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat. Untuk mewujudkan itu, sosok Polwan saat ini selalu dikonstruksikan sebagai sosok perempuan yang tegas, menonjolkan maskulinitas, dengan ciri fisik berambut pendek, tinggi, dan sebagainya.Dengan kontruksi seperti ini Polwan diharapkan mampu menyampaiakan pesan-pesan moral, sebagai sosok pemimpin yang disiplin dan penuh integritas.  Konstruksi identitas inilah yang sekiranya menjadi identitas tunggal yang dipaksakan kepada semua jajaran anggota Polwan. 

Kedua saluran dominasi tersebut dibingkai dalam satu konsepsi tentang negara, yaitu apa yang disebut oleh Gramsci sebagai “negara integral”. Tentu konsep negara integral ini dapat dibedakan dengan konsep totalitarianisme, karena dalam negara integral terdapat “kesukarelaan” yang tentunya tidak ada dalam konsep totalitarianisme. Kesukarelaan ini terbentuk dengan kesepakatan yang terjadi pada institusi Polri. Dalam konteks pewajiban dan pelarangan jilbab bagi polwan, persetujuan yang aktif dilakukan sejak proses rekruitmen ditingkat taruni saat menjalani masa pembinaan di Akadimi Kepolisian dengan basis pengetahuan bahwa seragam dinas taruni tidak ada jilbab. Selanjutnya ada pula kesepakatan yang terjadi pada institusi Polri bahwa sebagai pelayan masyarakat, Polwan harus bersifat netral, sehingga menurut Wakapolri Nanan Soekarna,  penggunaan jilbab dikalangan Polwan ini disinyalir akan mempengaruhi kinerja Polwan yang akan bersifat imparsial (Detik, 24 Mei 2013).


Daftar Pustaka
Patria, Nezar. 1999.  Antonio Gramsci dan Hegemoni. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Robert Bocock. 2007. Pengentar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni, Yogyakarta: Jala Sutra.
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik. 1993.  Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Toha, Miftah. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta : Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar