Semua berawal
dari kelas sederhana ini yang nama daerahnya pun tak terdeteksi di google. Aku
duduk di sana bersama teman-teman kecilku yang gila. Tunggu..aku akan
menceritakan tentang mereka nanti sekarang ada pria berdiri di hadapan kami
dengan percaya diri, dia guruku namanya Irwan Effendi, dia guru kelas 6 kami.
Pria muda yang datang dari negeri jauh, jauh sebelum aku dilahirkan ke dunia
ini. Setiap hari dia menjejali kami dengan nasehat-nasehat dan terlebih
motivasi untuk berubah. Ya…teman, kami anak pelosok yang minim motivasi.
Sungguh mengenaskan, kami kurang motivasi dan miskin. Apalagi yang lebih
menyedihkan dari itu, padahal hanya motivasi dan mimpi yang membuat orang miskin
seperti kami tetap hidup, tidak menguap ke udara layaknya debu truk perkebunan
yang mondar-mandir di depan rumah kami. Mereka kaya sedang kami hanya kebagian
asap derita. Aku kembali teringat dengan kakak kelas yang nekat belajar ke kota
tapi akhirnya malah kehabisan motivasi dan kembali ke pelosok tempat ribuan
hektar sawit-sawit tumbuh dan dipanen tanpa menjadikan kami kaya raya.
Aku tidak
berkisah tentang ketidakadilan, ini cerita tentang minimnya motivasi dan
kenakalan remaja berkembang luas di pelosok desa ini. Terkadang aku dan
teman-teman kecilku mencoba menganalisa hal ini dengan otak kecil kami yang
kurang nutrisi. Seperti yang terjadi siang itu dibawah rimbunnya cemara di
depan kelas 6. Aku, Kika gadis kecil dengan rambut dikucir dua hasil kreasi
ibuku yang terburu-buru tadi pagi dan mereka kedua sahabat terbaikku, yang putih
itu Muti dan si kurus (aku tidak pernah mau mengakui kalau aku juga kurus) itu
Tia. Kami sangat dekat bahkan hingga tidak berani membayangkan nantinya kami
akan berpisah. Bisa dikatakan kami tumbuh besar bersama diantara polusinya
lingkungan di sekitar kami dan tetap berusaha menjadi kebanggaan keluarga
bahkan disaat teman-teman kecil kami mulai sibuk dengan televisi setiap sore
menjelang sedangkan kami tetap harus belajar mengaji pada ustadz Din. Ustadz
Din adalah orang yang sangat sabar dan baik hati bahkan kami diizinkan
mengambil buah-buahan yang tumbuh di dekat rumahnya. Aku paling suka buah
salak, tapi Muti tidak suka, menurutnya salak adalah tumbuhan yang paling mengerikan. Menurut
teorinya salak di kehidupan sebelumnya (ya..dia percaya reinkarnasi) adalah
pembunuh, “ lihat duri-duri di tubuhnya yang seperti keris, duri salak itu pasti
dulunya adalah senjatanya untuk membunuh”.
Mengapa Muti sangat takut pada salak? Sangat aneh, apakah ini termasuk
penyakit ketakutan akan sesuatu yang bahasa kerennya phobia? Sayangnya aku
bukan dokter jadi aku tidak tahu. Mungkin nanti ketika aku bertemu abangku yang
ganteng akan aku tanyakan, dia calon dokter di ibukota propinsi. Sebenarnya dia
abang sepupuku, dia anak dari kakak ayahku, bagaimana ya mengatakannya, tapi
hubungan kami sangat erat, bahkan sejak kelas satu sekolah dasar dia rutin
mengirimkanku surat. Suratnya sangat indah, selalu memotivasi dan membuatku
tersenyum. Untuk ukuran otak kecilku, mungkin aku suka dia membayangkan jika
suatu saat nanti kami akan menjadi pengantin. Pasti sangat membahagiakan punya
suami dokter yang ganteng dan sangat baik seperti dia. Tahun pun berganti,
obsesiku akan dia mulai berkurang, mungkin aku akan sudah cukup bahagia jika
nantinya dia menikah dengan gadis yang baik sepadan dengan dia. Dan dengan
kapasitas jiwa dewasa yang terjebak di tubuh mungil ini bisa dikatakan aku akan
cemburu pada gadis beruntung itu, tidak seperti aku yang hanya berani
menyukainya diam-diam.
……………
“Mut, kamu setuju gak sama yang
dibilang pak iwan tadi?” kataku sambil cemberut, terlintas kembali kata-kata
pak iwan di kelas siang tadi, sebagai penduduk asli desa ini jelas aku
tersinggung ketika dia mengatakan kami penduduk desa seperti katak dalam
tempurung, mudah puas dengan yang kami miliki saat ini bahkan sangat minim
motivasi untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Muti kelihatan berpikir
sejenak. “Udah lah Kika jangan kesal gitu, bukannya emang benar ya desa kita
ini kemajuannya super lambat, terima aja lah kata-kata pak iwan jangan diambil
pusing” kata Muti akhirnya, mataku beralih kepada Tia berharap dia lebih
berpihak padaku. Yang dilihat hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti “kalian
ngomongin kata-kata pak iwan yang mana sih? Aku ingatnya cuma waktu dia bilang
harus sekolah di kota”. Senyum kurasakan mengembang diwajahku, aku berharap
rindangnya pohon cemara mampu membawa damai di hati kami untuk sebuah kata
sepakat. “Muti, Tia…gimana kalau kita lanjutin sekolah di kota? Demi perubahan
desa kita” kataku bersemangat “emangnya kalian mau disamakan dengan katak? Udah
katak, tejebak lagi dalam tempurung..apa hebatnya coba”. Diiringi sepoi angin
yang menyapa lembut aku mulai membayangkan hari-hari indahku di kota bersama
mereka, kami pasti akan menjadi trio terhebat, dan dapat mengulang persahabatan
kami yang lengket seperti lem di lokasi dan situasi yang berbeda nantinya,
sangat heroik. Belajar di kota demi perubahan dan kemajuan di kampung halaman,
seperti cerita yang pernah kubaca di
sebuah perpustakaan sepi di sekolah kami, sepi murid dan sepi buku.
Nantinya kami akan disanjung-sanjung melebihi sanjungan masyarakat kota Gotham
pada Batman sang hero yang sangat kaya dan hebat.
“Sepertinya kami gak bisa sekolah
di kota Kika” kata Muti. Mendadak angin terasa berhenti bertiup bahkan halaman
sekolah yang sepi tiba-tiba menjadi kerontang, sejak kapan mereka
mengidentikkan diri menjadi satu kesatuan tanpa aku? Sekarang mereka menyebut
kami, bukan kita seperti yang selama ini kami lakukan, apakah aku diam-diam
dikeluarkan dari lingkaran persahabatan yang kami bangun…”kenapa? Kataku kelu,
aku rasa lidahku tergigit atau aku yang menggigit, entahlah aku ingin menangis.
“kami gak bisa Kika” Tia pun kini bersekongkol dengan Muti menepikan aku disisi
yang lain jauh dari mereka. Siang sedang hamil tua diatas kami, kami terdiam cukup
lama dan kehilangan canda untuk hari-hari selanjutnya, tepatnya sejak aku tidak
ingin menjadi katak lagi. Aku adalah katak yang durhaka, mungkin begitu mereka
menganggapku kini.
Desa pelosok ini tidak perlu
perubahan, kata tetua desa, kata para ayah, bahkan kata para ibu. Kestabilan
selalu dicintai tanpa melihat dampak buruk yang diam-diam terjadi. Selalu
begitu, bahkan katak desa kami yang belajar merangkak dari tempurung pun
seringkali terpeleset jatuh dan menyerah pulang dengan muka tertunduk bahkan
setelah ladang orang tuanya sudah tergadai demi pendidikannya di kota. Selalu
begitu, lagu lama desa kecil kami bahkan kabar duka dan bahagia tersebar dalam
hitungan detik disini.
Pagi ini dia kembali berdiri
gagah di hadapan kami, murid-muridnya yang kekurangan motivasi. “ anak-anakku,
tahukah kalian? 15 tahun lalu bapak menginjakkan kaki di desa ini, jauh sebelum
kalian lahir, ternyata setelah belasan tahun berlalu desa kita tetap seperti
ini, jalan tetap berlubang, jembatan tetap bobrok, dan desa kita tetap tidak
memiliki jaringan telepon, lalu apa yang mau kita banggakan lagi? Kalian harus
menginjakkan kaki kalian di kota, bukan untuk gaya-gayaan tetapi untuk membuka
wawasan kalian” mata pak iwan terlihat menerawang, “sangat kasihan si katak
itu, hanya terjebak di dalam tempurung, pikirnya tempurungnya adalah tempat
paling indah sedunia karena dia tidak pernah tahu dan melihat dunia di luar
tempurung”. Entah mengapa aku merasa jantungku berdetak sangat cepat (biasanya
ini tanda jika aku bersemangat akan sesuatu). “apa kalian mau jadi seperti
katak?” dan kami pun menjawab lantang “tidaaaaak!!!”. Senyum mengembang di
wajahnya “bagus, belajarlah yang rajin dan kejar impianmu di kota, bukan di
desa ini yang sudah terpolusi atau kalian akan tetap menjadi katak dalam
tempurung selamanya”. Katanya sambil menutup kelas yang sedang diluap semangat
sekolah ke kota, sempat kulihat Muti dan Tia ternyata mereka juga bersemangat,
harapanku pada mereka kembali tumbuh, aku berdoa dalam hati semoga kami bisa
bersekolah bersama di kota. Kegembiraan ini terasa meluap sampai matahari siang
terasa sejuk menimpa kulitku. Gilaku mulai bertambah lagi.
Tepat 6 bulan telah berlalu sejak
kami pekikkan kata-kata perubahan, apalagi kalau bukan tidak ingin menjadi katak,
mengingat kata-kata itu sekarang membuatku bahagia, ada dua alasan untuk kebahagiaanku,
pertama sekarang rambutan sedang merah-merahnya, dan kedua, esok pagi aku akan meninggalkan
desa ini demi perubahan dan demi kemajuan desa walaupun aku masih bingung
kemajuan seperti apa yang akan aku ciptakan nanti. Pastinya adalah aku tidak
ingin jadi katak apalagi terjebak dalam tempurung selamanya. Dan aku penasaran,
nantinya aku akan dikenang seperti apa (teringat kata-kata Keke dalam Surat
Kecil Untuk Tuhan). Semoga yang dikenang dalam senyuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar