Translate

Sabtu, 06 Juli 2013

Awal mulanya impian gadis kecil



Semua berawal dari kelas sederhana ini yang nama daerahnya pun tak terdeteksi di google. Aku duduk di sana bersama teman-teman kecilku yang gila. Tunggu..aku akan menceritakan tentang mereka nanti sekarang ada pria berdiri di hadapan kami dengan percaya diri, dia guruku namanya Irwan Effendi, dia guru kelas 6 kami. Pria muda yang datang dari negeri jauh, jauh sebelum aku dilahirkan ke dunia ini. Setiap hari dia menjejali kami dengan nasehat-nasehat dan terlebih motivasi untuk berubah. Ya…teman, kami anak pelosok yang minim motivasi. Sungguh mengenaskan, kami kurang motivasi dan miskin. Apalagi yang lebih menyedihkan dari itu, padahal hanya motivasi dan mimpi yang membuat orang miskin seperti kami tetap hidup, tidak menguap ke udara layaknya debu truk perkebunan yang mondar-mandir di depan rumah kami. Mereka kaya sedang kami hanya kebagian asap derita. Aku kembali teringat dengan kakak kelas yang nekat belajar ke kota tapi akhirnya malah kehabisan motivasi dan kembali ke pelosok tempat ribuan hektar sawit-sawit tumbuh dan dipanen tanpa menjadikan kami kaya raya.

Aku tidak berkisah tentang ketidakadilan, ini cerita tentang minimnya motivasi dan kenakalan remaja berkembang luas di pelosok desa ini. Terkadang aku dan teman-teman kecilku mencoba menganalisa hal ini dengan otak kecil kami yang kurang nutrisi. Seperti yang terjadi siang itu dibawah rimbunnya cemara di depan kelas 6. Aku, Kika gadis kecil dengan rambut dikucir dua hasil kreasi ibuku yang terburu-buru tadi pagi dan mereka kedua sahabat terbaikku, yang putih itu Muti dan si kurus (aku tidak pernah mau mengakui kalau aku juga kurus) itu Tia. Kami sangat dekat bahkan hingga tidak berani membayangkan nantinya kami akan berpisah. Bisa dikatakan kami tumbuh besar bersama diantara polusinya lingkungan di sekitar kami dan tetap berusaha menjadi kebanggaan keluarga bahkan disaat teman-teman kecil kami mulai sibuk dengan televisi setiap sore menjelang sedangkan kami tetap harus belajar mengaji pada ustadz Din. Ustadz Din adalah orang yang sangat sabar dan baik hati bahkan kami diizinkan mengambil buah-buahan yang tumbuh di dekat rumahnya. Aku paling suka buah salak, tapi Muti tidak suka, menurutnya salak adalah  tumbuhan yang paling mengerikan. Menurut teorinya salak di kehidupan sebelumnya (ya..dia percaya reinkarnasi) adalah pembunuh, “ lihat duri-duri di tubuhnya yang seperti keris, duri salak itu pasti dulunya adalah senjatanya untuk membunuh”.  Mengapa Muti sangat takut pada salak? Sangat aneh, apakah ini termasuk penyakit ketakutan akan sesuatu yang bahasa kerennya phobia? Sayangnya aku bukan dokter jadi aku tidak tahu. Mungkin nanti ketika aku bertemu abangku yang ganteng akan aku tanyakan, dia calon dokter di ibukota propinsi. Sebenarnya dia abang sepupuku, dia anak dari kakak ayahku, bagaimana ya mengatakannya, tapi hubungan kami sangat erat, bahkan sejak kelas satu sekolah dasar dia rutin mengirimkanku surat. Suratnya sangat indah, selalu memotivasi dan membuatku tersenyum. Untuk ukuran otak kecilku, mungkin aku suka dia membayangkan jika suatu saat nanti kami akan menjadi pengantin. Pasti sangat membahagiakan punya suami dokter yang ganteng dan sangat baik seperti dia. Tahun pun berganti, obsesiku akan dia mulai berkurang, mungkin aku akan sudah cukup bahagia jika nantinya dia menikah dengan gadis yang baik sepadan dengan dia. Dan dengan kapasitas jiwa dewasa yang terjebak di tubuh mungil ini bisa dikatakan aku akan cemburu pada gadis beruntung itu, tidak seperti aku yang hanya berani menyukainya diam-diam.

……………

“Mut, kamu setuju gak sama yang dibilang pak iwan tadi?” kataku sambil cemberut, terlintas kembali kata-kata pak iwan di kelas siang tadi, sebagai penduduk asli desa ini jelas aku tersinggung ketika dia mengatakan kami penduduk desa seperti katak dalam tempurung, mudah puas dengan yang kami miliki saat ini bahkan sangat minim motivasi untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Muti kelihatan berpikir sejenak. “Udah lah Kika jangan kesal gitu, bukannya emang benar ya desa kita ini kemajuannya super lambat, terima aja lah kata-kata pak iwan jangan diambil pusing” kata Muti akhirnya, mataku beralih kepada Tia berharap dia lebih berpihak padaku. Yang dilihat hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti “kalian ngomongin kata-kata pak iwan yang mana sih? Aku ingatnya cuma waktu dia bilang harus sekolah di kota”. Senyum kurasakan mengembang diwajahku, aku berharap rindangnya pohon cemara mampu membawa damai di hati kami untuk sebuah kata sepakat. “Muti, Tia…gimana kalau kita lanjutin sekolah di kota? Demi perubahan desa kita” kataku bersemangat “emangnya kalian mau disamakan dengan katak? Udah katak, tejebak lagi dalam tempurung..apa hebatnya coba”. Diiringi sepoi angin yang menyapa lembut aku mulai membayangkan hari-hari indahku di kota bersama mereka, kami pasti akan menjadi trio terhebat, dan dapat mengulang persahabatan kami yang lengket seperti lem di lokasi dan situasi yang berbeda nantinya, sangat heroik. Belajar di kota demi perubahan dan kemajuan di kampung halaman, seperti cerita yang pernah kubaca di  sebuah perpustakaan sepi di sekolah kami, sepi murid dan sepi buku. Nantinya kami akan disanjung-sanjung melebihi sanjungan masyarakat kota Gotham pada Batman sang hero yang sangat kaya dan hebat.

“Sepertinya kami gak bisa sekolah di kota Kika” kata Muti. Mendadak angin terasa berhenti bertiup bahkan halaman sekolah yang sepi tiba-tiba menjadi kerontang, sejak kapan mereka mengidentikkan diri menjadi satu kesatuan tanpa aku? Sekarang mereka menyebut kami, bukan kita seperti yang selama ini kami lakukan, apakah aku diam-diam dikeluarkan dari lingkaran persahabatan yang kami bangun…”kenapa? Kataku kelu, aku rasa lidahku tergigit atau aku yang menggigit, entahlah aku ingin menangis. “kami gak bisa Kika” Tia pun kini bersekongkol dengan Muti menepikan aku disisi yang lain jauh dari mereka. Siang sedang hamil tua diatas kami, kami terdiam cukup lama dan kehilangan canda untuk hari-hari selanjutnya, tepatnya sejak aku tidak ingin menjadi katak lagi. Aku adalah katak yang durhaka, mungkin begitu mereka menganggapku kini.

Desa pelosok ini tidak perlu perubahan, kata tetua desa, kata para ayah, bahkan kata para ibu. Kestabilan selalu dicintai tanpa melihat dampak buruk yang diam-diam terjadi. Selalu begitu, bahkan katak desa kami yang belajar merangkak dari tempurung pun seringkali terpeleset jatuh dan menyerah pulang dengan muka tertunduk bahkan setelah ladang orang tuanya sudah tergadai demi pendidikannya di kota. Selalu begitu, lagu lama desa kecil kami bahkan kabar duka dan bahagia tersebar dalam hitungan detik disini.

Pagi ini dia kembali berdiri gagah di hadapan kami, murid-muridnya yang kekurangan motivasi. “ anak-anakku, tahukah kalian? 15 tahun lalu bapak menginjakkan kaki di desa ini, jauh sebelum kalian lahir, ternyata setelah belasan tahun berlalu desa kita tetap seperti ini, jalan tetap berlubang, jembatan tetap bobrok, dan desa kita tetap tidak memiliki jaringan telepon, lalu apa yang mau kita banggakan lagi? Kalian harus menginjakkan kaki kalian di kota, bukan untuk gaya-gayaan tetapi untuk membuka wawasan kalian” mata pak iwan terlihat menerawang, “sangat kasihan si katak itu, hanya terjebak di dalam tempurung, pikirnya tempurungnya adalah tempat paling indah sedunia karena dia tidak pernah tahu dan melihat dunia di luar tempurung”. Entah mengapa aku merasa jantungku berdetak sangat cepat (biasanya ini tanda jika aku bersemangat akan sesuatu). “apa kalian mau jadi seperti katak?” dan kami pun menjawab lantang “tidaaaaak!!!”. Senyum mengembang di wajahnya “bagus, belajarlah yang rajin dan kejar impianmu di kota, bukan di desa ini yang sudah terpolusi atau kalian akan tetap menjadi katak dalam tempurung selamanya”. Katanya sambil menutup kelas yang sedang diluap semangat sekolah ke kota, sempat kulihat Muti dan Tia ternyata mereka juga bersemangat, harapanku pada mereka kembali tumbuh, aku berdoa dalam hati semoga kami bisa bersekolah bersama di kota. Kegembiraan ini terasa meluap sampai matahari siang terasa sejuk menimpa kulitku. Gilaku mulai bertambah lagi.

Tepat 6 bulan telah berlalu sejak kami pekikkan kata-kata perubahan, apalagi kalau bukan tidak ingin menjadi katak, mengingat kata-kata itu sekarang membuatku bahagia, ada dua alasan untuk kebahagiaanku, pertama sekarang rambutan sedang merah-merahnya, dan kedua, esok pagi aku akan meninggalkan desa ini demi perubahan dan demi kemajuan desa walaupun aku masih bingung kemajuan seperti apa yang akan aku ciptakan nanti. Pastinya adalah aku tidak ingin jadi katak apalagi terjebak dalam tempurung selamanya. Dan aku penasaran, nantinya aku akan dikenang seperti apa (teringat kata-kata Keke dalam Surat Kecil Untuk Tuhan). Semoga yang dikenang dalam senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar