Ada
hangat mengalir dalam hati ketika berbicara denganmu…Dan perlahan aku masuk
dalam cerita yang tidak ingin aku ceritakan kembali.
Sebuah drama dua anak manusia yang bertemu
tanpa sengaja, mirip serial FTV di layar televisi Indonesia. Pertemuan absurd
yang berakhir perasaan saling suka. Sungguh, aku benci cerita romansa tanpa
logika yang ditawarkan, meskipun terkadang aku tertawa. Itu bukan sebentuk
pujian, aku hanya menertawakan skenario yang diciptakan karena sangat sederhana
dan dipaksakan. Bukankah cinta bukan pemaksaan cerita? Bahkan seringkali proses
suka tidak sesederhana di dalam drama.
Pembiasaan dan kebiasaan bersama dalam
pertemanan bagiku adalah cara paling tepat untuk memaknai suka. Kita telah
saling mengenal, menemani dan ditemani dalam logika persahabatan karena itu
rasa menghargai dan memahami itu ada dan akhirnya datanglah suka. Itu baru
namanya cinta.
Bukan seperti kita, dua anak manusia yang
terpisah dan tak saling jumpa. Hanya sekilas mendengar nama lewat angin yang
berlari. Dan…akhirnya tanpa sengaja kita berjumpa di perjalanan bahkan di kota
orang setelah lompatan waktu yang panjang. Kau mengenalku sedangkan aku tidak. Lalu
dimana letak salah itu? Kemudian kita berteman (pertemanan sambil lalu) tanpa
komunikasi yang intens tapi aku menghargaimu dan kau menghargaiku. Aku mengagumimu
dan kau (katanya) juga mengagumiku. Lalu itu lah kita yang sekarang. Bertemu tanpa
sengaja dan berteman tanpa sengaja.
Perlahan, kamu masuk dalam kehidupanku tapi
tidak terlalu drastis toh kita bukan anak kecil yang berebutan memberikan
perhatian…tapi perlahan pula kisah hidup kita seperti saling silang, kita
saling membicarakan tanpa sengaja dan kita terpaut romansa tanpa terduga. Duniamu
dan duniaku seolah saling berhimpitan padahal kita berada di logika yang
berbeda, karena tanpa sengaja kau menghadirkan namaku di waktu senggangmu dan aku
mendengar namamu di waktu luangku. Kehidupan yang unik, tapi tetap itu bukan
awal dari sebuah suka.
sat ini aku benci mengakuinya, tapi aku sedang takut. Aku takut langkahku hanya satu, aku terpaut sedang kau tidak. Kau terpincut sedang aku tidak. Terlalu banyak logika dan nalar yang bermain, terlalu dalam kehati-hatian yang kita gunakan dan semakin jauh kemungkinan damai itu tetap ada dan hancurnya pertemanan singkat kita di depan mata.
sat ini aku benci mengakuinya, tapi aku sedang takut. Aku takut langkahku hanya satu, aku terpaut sedang kau tidak. Kau terpincut sedang aku tidak. Terlalu banyak logika dan nalar yang bermain, terlalu dalam kehati-hatian yang kita gunakan dan semakin jauh kemungkinan damai itu tetap ada dan hancurnya pertemanan singkat kita di depan mata.
Kini hidupku tambah kalut, ketika kau nyaris
saja membuatku tergelincir dengan kata-katamu. Meskipun terasa hangat dalam
hati, tapi tetap saja aku takut. Seringkali kebodohan memainkan rasa dan menipu
logika yang dulunya cerdas. Belum cukup jauh aku mengenalmu, mungkin saja
ungkapan itu tanpa maksud, tanpa tujuan hanya selingan ditengah tawa kebosanan.
Tapi bagaimana jika itu sungguhan? Harus dimana aku letakkan malu yang
menggunung akibat kecerobohanku? Bukan masanya rasa itu bermain, terlebih bukan
dengan kamu. Seseorang yang sempat dan masih aku kagumi. Aku mungkin tidak
cukup mengenalmu, tidak pernah cukup. Karena itu aku masih sulit melihat ke
arah mana kau ingin membawaku, ke jalan apa kau mengharapkanku. Karena aku
benci pertemanan kita terbawa ke arah yang salah.
Bantulah aku teman, jangan menjungkirbalikkan
duniaku yang tenang. Sudah cukup kesalahpahaman malam ini, tolong jangan
diulang kembali. Terlebih dengan kata-kata perhatian dan puja-puji sanjungmu
untukku, sudah cukup. Biarkan aku yang jadi pihak pelamun-bahkan penggoda. Asalkan
bukan kamu yang melamunkan-dan menggoda aku. Kuatkan lemahku dengan tetap
menjadi kamu yang dulu, yang biasa saja ketika aku rayu dengan gombalan “aneh” ku.
Atau mungkin kau tetap biasa saja seperti dulu,
hanya aku yang sedang berubah. Bertransformasi menjadi manusia perasa dan
penduga yang setiap harinya membayangkan akan kembali punya rasa suka, meskipun
sedikit. Dan ketika kau hadir dengan biasanya di jalur lambat, aku menjadi
blingsatan dan lepas kendali memaknai bahwa kau sedang “belajar” menggoda,
setidaknya dulu kau tidak pernah begitu. Lalu aku hadir dengan kenaifan yang
baru, aku takut kamu suka-lebih tepatnya aku takut aku suka- sehingga aku
memaksa kamu untuk berhenti berusaha daripada aku yang berusaha menutup hatiku.
Wahai temanku, cukupkan saja candaan kita
tentang lamunan, khayalan, bahkan nyanyian kesepian karena ketidakhadiran. Hentikan
saja semua cerita tentang cepat pulang dan saling bersama dalam waktu lama. Aku
takut goyah, sangat takut. Belum lagi ketika tanpaku kau bilang kehilangan
semangat- jangan tanya bagaimana semangatnya diriku mendengar katamu itu di
detik pertama, namun logika detik kedua menyadarkanku bahwa ini hanya jebakan
rasa kesekian yang harus aku hindari. Aku masih terlalu dini untuk memulai lagi
dan masih terlalu jauh bagi nalarku untuk mampu biasa seperti dulu. Tapi setidaknya
aku masih bertahan dan akan selalu bertahan dari kebodohan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar