Translate

Selasa, 09 Juli 2013

Cerita Logika



Ada hangat mengalir dalam hati ketika berbicara denganmu…Dan perlahan aku masuk dalam cerita yang tidak ingin aku ceritakan kembali.

Sebuah drama dua anak manusia yang bertemu tanpa sengaja, mirip serial FTV di layar televisi Indonesia. Pertemuan absurd yang berakhir perasaan saling suka. Sungguh, aku benci cerita romansa tanpa logika yang ditawarkan, meskipun terkadang aku tertawa. Itu bukan sebentuk pujian, aku hanya menertawakan skenario yang diciptakan karena sangat sederhana dan dipaksakan. Bukankah cinta bukan pemaksaan cerita? Bahkan seringkali proses suka tidak sesederhana di dalam drama.

Pembiasaan dan kebiasaan bersama dalam pertemanan bagiku adalah cara paling tepat untuk memaknai suka. Kita telah saling mengenal, menemani dan ditemani dalam logika persahabatan karena itu rasa menghargai dan memahami itu ada dan akhirnya datanglah suka. Itu baru namanya cinta.

Bukan seperti kita, dua anak manusia yang terpisah dan tak saling jumpa. Hanya sekilas mendengar nama lewat angin yang berlari. Dan…akhirnya tanpa sengaja kita berjumpa di perjalanan bahkan di kota orang setelah lompatan waktu yang panjang. Kau mengenalku sedangkan aku tidak. Lalu dimana letak salah itu? Kemudian kita berteman (pertemanan sambil lalu) tanpa komunikasi yang intens tapi aku menghargaimu dan kau menghargaiku. Aku mengagumimu dan kau (katanya) juga mengagumiku. Lalu itu lah kita yang sekarang. Bertemu tanpa sengaja dan berteman tanpa sengaja.

Perlahan, kamu masuk dalam kehidupanku tapi tidak terlalu drastis toh kita bukan anak kecil yang berebutan memberikan perhatian…tapi perlahan pula kisah hidup kita seperti saling silang, kita saling membicarakan tanpa sengaja dan kita terpaut romansa tanpa terduga. Duniamu dan duniaku seolah saling berhimpitan padahal kita berada di logika yang berbeda, karena tanpa sengaja kau menghadirkan namaku di waktu senggangmu dan aku mendengar namamu di waktu luangku. Kehidupan yang unik, tapi tetap itu bukan awal dari sebuah suka.

sat ini aku benci mengakuinya, tapi aku sedang takut. Aku takut langkahku hanya satu, aku terpaut sedang kau tidak. Kau terpincut sedang aku tidak. Terlalu banyak logika dan nalar yang bermain, terlalu dalam kehati-hatian yang kita gunakan dan semakin jauh kemungkinan damai itu tetap ada dan hancurnya pertemanan singkat kita di depan mata.

Kini hidupku tambah kalut, ketika kau nyaris saja membuatku tergelincir dengan kata-katamu. Meskipun terasa hangat dalam hati, tapi tetap saja aku takut. Seringkali kebodohan memainkan rasa dan menipu logika yang dulunya cerdas. Belum cukup jauh aku mengenalmu, mungkin saja ungkapan itu tanpa maksud, tanpa tujuan hanya selingan ditengah tawa kebosanan. Tapi bagaimana jika itu sungguhan? Harus dimana aku letakkan malu yang menggunung akibat kecerobohanku? Bukan masanya rasa itu bermain, terlebih bukan dengan kamu. Seseorang yang sempat dan masih aku kagumi. Aku mungkin tidak cukup mengenalmu, tidak pernah cukup. Karena itu aku masih sulit melihat ke arah mana kau ingin membawaku, ke jalan apa kau mengharapkanku. Karena aku benci pertemanan kita terbawa ke arah yang salah.

Bantulah aku teman, jangan menjungkirbalikkan duniaku yang tenang. Sudah cukup kesalahpahaman malam ini, tolong jangan diulang kembali. Terlebih dengan kata-kata perhatian dan puja-puji sanjungmu untukku, sudah cukup. Biarkan aku yang jadi pihak pelamun-bahkan penggoda. Asalkan bukan kamu yang melamunkan-dan menggoda aku. Kuatkan lemahku dengan tetap menjadi kamu yang dulu, yang biasa saja ketika aku rayu dengan gombalan “aneh” ku.

Atau mungkin kau tetap biasa saja seperti dulu, hanya aku yang sedang berubah. Bertransformasi menjadi manusia perasa dan penduga yang setiap harinya membayangkan akan kembali punya rasa suka, meskipun sedikit. Dan ketika kau hadir dengan biasanya di jalur lambat, aku menjadi blingsatan dan lepas kendali memaknai bahwa kau sedang “belajar” menggoda, setidaknya dulu kau tidak pernah begitu. Lalu aku hadir dengan kenaifan yang baru, aku takut kamu suka-lebih tepatnya aku takut aku suka- sehingga aku memaksa kamu untuk berhenti berusaha daripada aku yang berusaha menutup hatiku.

Wahai temanku, cukupkan saja candaan kita tentang lamunan, khayalan, bahkan nyanyian kesepian karena ketidakhadiran. Hentikan saja semua cerita tentang cepat pulang dan saling bersama dalam waktu lama. Aku takut goyah, sangat takut. Belum lagi ketika tanpaku kau bilang kehilangan semangat- jangan tanya bagaimana semangatnya diriku mendengar katamu itu di detik pertama, namun logika detik kedua menyadarkanku bahwa ini hanya jebakan rasa kesekian yang harus aku hindari. Aku masih terlalu dini untuk memulai lagi dan masih terlalu jauh bagi nalarku untuk mampu biasa seperti dulu. Tapi setidaknya aku masih bertahan dan akan selalu bertahan dari kebodohan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar