Translate

Kamis, 06 Februari 2014

Bagai Mie Merindukan Bulan



Bulan mulai menua…
Lihatlah keriputnya bertambah dan kecantikannya pun memudar seiring berjalannya waktu. Begitu katanya. Seumpama seorang gadis, kini tubuhnya tak lagi sintal menggoda, kerlipan matanya pun hambar, cenderung pahit malah seumpama kopi yang dipaksa bertemu gula sejumput, hilang sudah semua gairah masa muda. Lihat juga kerut-kerut di mata sayu itu, apa masih ada cinta disana? Entahlah, aku hanya melihat tanya yang mengambang, “kapan bulan akan kembali muda?” pertanyaan murah yang diobral oleh semua bulan yang menua. 

Aku sedikit jengah.
Bulan ini terlalu cerewet ku rasa, bosan aku akan semua keluhannya. Bukan, bukan karena telah hilang simpatiku, hanya saja kata orang kehidupan ini bagai roda yang berjalan, mungkin saat ini sudah sepantasnya dia menua, keriput, dan layu jadi alangkah baiknya jika dia diam di sudut jangan menggangguku yang sedang sibuk dengan novel yang baru aku beli sehari yang lalu ini. Cerita novel ini jauh lebih meyakinkan, atau tepatnya lebih seru dibandingkan ocehan bulan tua yang tidak mutu. Bagaimana tidak, kapan lagi aku membaca kisah negeri yang dihuni oleh ribuan koruptor yang tersebar di seluruh negara, tapi negaranya tetap berjalan normal, masyarakatnya tetap bisa tidur nyenyak seperti tidak ada hal buruk yang terjadi. Manusianya bahkan tidak lebih bagai robot yang diprogram maju dan mundur sesuai keinginan pemesan. Sangat klasik dan mudah ditebak, tapi setidaknya kisah ini masih lebih menarik daripada melihat keriput bulan yang menua.

Bulan semakin tua. Dan aku tidak berani keluar rumah.
Lihatlah, pagi baru beranjak dengan malasnya, perlahan tanpa dikejar jadwal yang terburu, begitupun aku yang masih ingin menikmati harum-apek bantal kesayangan yang sarungnya tiga bulan belum ku cuci. Pagi ini akan sangat sempurna sebelum bulan tua itu kembali nyinyir mengingatkanku untuk mengantarkannya konsultasi ke pakar kesehatan. Ohh sepertinya alam belum memberikan mukjizatnya padaku, yang hingga hari ini masih di-ganduli si bulan yang ku benci, bulan tua bangka. Dikiranya ada obat awet muda, kalau sudah tua terima sajalah nasib yang ada, jangan merengek seperti anak kecil "ngambek" minta gulali. Aku lelah harus selalu bersamamu. Aku kan hanya manusia biasa yang merindukan senyum-sapa dara jelita yang segar, ranum, dan menggoda. Bukan berkutat bersama kamu yang tua, ooh lihatlah aku pun jadi terluhat kusam dan tua di dekatmu, bulan tua, pergilah aku mohon, pergilah yang jauh supaya aku bisa hidup tenang, tanpa kamu yang mengganggu.

Siang menjelang. Langkah pun memberat seiring waktu berjalan.
Malas kaki ini melangkah, begitupun kepala ini semakin malas berpikir. Mengertilah, apa yang akan mampu “otak sederhana” ini pikirkan jika bahan bakar untuk otak ini bekerja saja belum lagi terpenuhi karena bulan sudah menua. Ku pandangi dompet dengan penuh dendam karena yang terlihat disana hanya kerontang dan debu kering beterbangan, bak gurun sahara di saat musim yang paling kemarau, ya! apalagi, di sana hanya ada kertas-kertas tagihan yang berdesakan satu sama lain minta diperhatikan. Dasar manja!
Bulan masih tua, mengeringkan semangat untuk belajar, bagaimana tidak sahabat pun kini hilang satu persatu, yang tinggal hanya sebungkus mie instan sisa bulan lalu di pojokan kamar. Lihatlah betapa seksinya dia dengan baju hijau bertuliskan “rasa soto”. Dia berkedip manja padaku, sayang aku terlalu tidak bersemangat untuk bercumbu dengannya, setidaknya tidak malam ini. Aku sudah terlalu lelah mendengar ocehan si bulan tua ini. Tiada henti dia memarahiku. Katanya aku terlalu boros lah, tidak bisa menentukan prioritas, plin-plan. Sungguh, untung dia sudah keriput kalau tidak akan aku jambak rambutnya, aku seret ke tengah jalan untuk aku permalukan. Tidakkah dia tahu aku ini adalah tipe manusia “visioner?”. Oke, mungkin barang-barang yang aku beli sekarang belum aku butuhkan, tapi lihat, sebulan, tiga bulan, setahun dari sekarang? Bulan akan berterima kasih padaku yang punya target dan pandangan jauh kedepan, tidak seperti orang lain. Bagiku, tak apa melarat sekarang asalkan di masa depan jadi konglomerat. Bagaimana bulan? Pasti kamu sekarang sedang terpesona kan? Easy…aku tidak sedang membuatmu kagum, sama sekali tidak, aku hanya ingin kamu mengerti bahwa setiap kamu datang maka mood-ku akan rusak, pecah berantakan, emosi dan air matapun akan lebih mudah mengalir bagai didiskon dan selanjutnya diobral dengan harga terendah. Oke, mungkin aku mulai lebay, tapi gara-gara kamu datang, dan dompetku kerontang, aku harus menangis di depan orang lain hanya karena tersinggung ketika si seksi “soto ayam” berupa semangkok mie yang berhasil kuseduh (yang sebelumnya berhasil aku beli dengan sisa-sisa koin yang ada di dompet) direbut paksa oleh temanku, sebenarnya dia bermaksud baik (aku tahu itu), dia hanya ingin membagi makanan miliknya sehingga tidak mengizinkanku makan “makanan jelata” itu. Tidak sehat katanya. Tapi tahu apa dia, dan tahu apa semua orang kalau “makanan jelata” yang dia maksud adalah tetes akhir harapan yang aku punya, simbolisasi dari sedikit harga diri yang aku punya. Aku masih punya sedikit harga diri untuk tidak meminta bantuan bahkan pinjaman dari orang lain hanya karena kamu semakin menua wahai bulan. Teringat kata temanku yang lain, bahwa hidupnya sangat tidak tenang bahkan hanya karena meminjam uang seribu dariku, seribu rupiah yang bahkan aku lupa pernah meminjamkannya. Tapi dia ingat itu, dan menjadi sulit tidur katanya. Lalu manusia macam apa aku yang karena kamu si bulan tua bangka datang aku harus mengemis meminjam sana-sini. Aku juga punya malu!

Dalam ketiadaanku aku bahkan masih punya harga diri, meski secuil dan susah payah aku pertahankan.

Mungkin si teman tersinggung? Biarlah..biar dia tahu bagaimana hatiku terluka ketika my baby “soto ayam” direbut paksa dan dilarang makan. Biar dia tahu dan biar orang lain tahu, aku tidak pernah mengintervensi “apa” dan “bagaimana” orang lain makan, lalu kenapa aku harus diintervensi? Bukankah sekarang jaman kemerdekaan?, kecuali babi dan anjing asalkan halal semua boleh dimakan? Meskipun tidak sehat untuk tubuh setidaknya akan sehat untuk jiwa terutama harga diri yang kumiliki yang seperti kulit bayi lembut dan rapuh sehingga mudah terluka.

Karena kamu semakin menua, maka aku sebaiknya aku menyendiri, sementara waktu hingga yang muda kembali datang untuk menggoda.

Yogyakarta, 2014
Untuk uang sepuluh ribuan tercinta,
aku mohon, tetaplah setia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar