Angin hilir mudik di kiri dan kananku.
Sesekali mereka mengerling mesra padaku, namun entahlah, yang bisa kulakukan saat
ini adalah memalingkan wajah secepat yang aku bisa. Aku belum bisa mengalah
pada masa lalu, mungkin lebih tepatnya aku masih belum mau mengakui bahwa aku
kalah. Lihatlah bahkan dedaunan juga bergoyang mencoba menggoda semangatku yang
semakin menghilang. Telah sejuta kali aku merenungkan hal ini, tidak seharusnya
aku masih memikirkan DIA. Persetan buaya dengan dia dan gadis baru
disampingnya. Tapi bahkan jingganya senja sore ini masih tentang dia,
senyumnya, dan sapa mesranya. Sudahlah…
Tiga musim yang lalu kita masih
bersama, mencoba merangkai ranting yang patah menjadi sebentuk kehangatan
bernama rumah yang kita isi dengan secangkir penuh tawa tiap paginya, hingga
tetangga rumah kita, Jeno si burung hantu tua ikut merasakan kebahagiaan kita.
Entahlah semuanya terlihat baik-baik saja ketika itu. Kecuali ketika kau mulai
berbohong dan aku tidak memiliki cukup kesabaran untuk memahamimu. Lalu
tiba-tiba saja hubungan kita dijungkirbalikkan kenyataan, kenyataan yang
langsung membakar keringnya ranting-patah rumah kita, bahwa cintamu sudah untuk
gadis yang lain.
Sejak kecil aku diajarkan oleh
perkumpulan untuk menjadi burung yang setia yang tidak akan menukar cinta untuk
harta atau bahkan pria yang lain. Aku adalah mascot dari kesetiaan dan cinta
mendalam. Namun ternyata Tuhan menjodohkanku dengan dirimu.
Belum habis pikirku, belum hilang
kecewaku kau telah terbang ke sangkar lainnya. Angin sempat membocorkan
rahasiamu padaku. Katanya dia cantik,
She's beautiful in her simple little way and she don't have too much to
say when she gets mad. Oh, tentu kau merasa damai di dunia tenang itu,
sedamai kau meninggalkan aku dengan semua rumor yang berkembang dengan
prasangka bertabur seakan aku lah yang mengusirmu dari hidupku dan kau hanya
lah burung kesepian yang mengharapkan tempat berlindung dari dia. Gadis barumu
di ranting-patah rumahmu yang baru, tanpa aku pastinya.
Penghujung musim yang sepi bertambah
suram ketika angin kembali membocorkan rahasiamu yang lain, katanya “she understands and she don't let go of
anything even when the pain gets really bad”. I guess I should have been more like that.
Senja sore ini kembali melengkungkan senyummu yang selalu berhasil membuatku bahagia meskipun kau telah berbohong, meskipun…meskipun…
Benar kata angin, dia lebih kuat dibanding aku dan you love her as she loves you with all she has
Seharusnya aku bisa seperti itu juga dulu…
Malam tadi kau meneleponku, sekitar lima menit
yang berharga, seharga hukuman mati bagiku ketika ka uterus memujanya bahwa she's beautiful in her simple little way. Cukup!
Aku memang dilahirkan dalam kesetiaan namun aku tetap seekor burung yang punya
harga diri dan tidak rela jika terus dibohongi.
Musim gugur ini adalah akhir penantianku
untukmu, aku sudah memutuskan untuk membangun rumah di selatan, meninggalkan
kamu dan dia untuk bahagia. Ada senyum terpancar di raut wajahnya tepat ketika handpone itu berdering dan
memunculkan nama pria yang baru, sudah saatnya aku terbang.
**Terinspirasi lagu More Like Her milik
Miranda Lambert
Tidak ada komentar:
Posting Komentar