Berbicara soal koin maka ada banyak hal yang
menarik perhatianku sebagai pecinta koin. Sebagai generasi 90-an tentu kita
sudah berteman akrab dengan koin karena koin adalah uang dalam bentuk logam
yang diberikan oleh orang tua kita ketika bersekolah, apalagi kalau bukan untuk
jajan di kantin. Uang Rp.200 kala itu sudah sangat luar biasa bahkan
semenjak saya dibelikan celengan atau tabungan berbentuk ayam jantan saya mulai
menabung Rp.50 hingga Rp.100 setiap harinya, menunggu dengan sabar setiap
harinya hingga tabungan penuh dan dapat dibelikan benda-benda yang sangat saya
inginkan.
Perkembangan koin mungkin terlalu pesat
sehingga saya abai atau terlambat menyadari sejak kapan koin sudah tidak dapat
digunakan sebagai alat jual beli di daerah saya tinggal. Ohiya, saya mungkin
belum mengatakan dengan gamblang, saya tinggal disebuah desa yang tidak jauh
dari kota kecamatan di pantai barat Aceh. Koin disini dipandang sangat rendah,
mungkin jika dia dapat menangis dia akan menangis sekeras-kerasnya. Jika di
daerah lain dia masih dipandang bahkan dimuliakan
sebagaimana seharusnya sebuah mata uang terbitan pemerintah, lain halnya di
kecamatan ini oh saya mungkin kurang peka mungkin saja di provinsi ini. Tapi
mari kita bicarakan lingkup yang lebih saya mengerti saja.
Di daerah tempat saya tinggal, saya pernah
mendengar desas desus bahwa uang sejenis koin tidak akan diterima lagi sebagai
bentuk pembayaran atau bahasa kerennya sudah tidak laku lagi.
Terang saja ketika itu saya hanya tersenyum dan heran, loh kok bisa? bukannya
kita masih tinggal dan hidup di Indonesia ya?. Namun setelah saya mengalami
sendiri pengalaman tertolak ketika ingin membayar segelas bubur yang saya beli
dengan pecahan logam Rp.500 dua biji, si ibu penjual langsung-dengan setengah
histeris- mengatakan bahwa uang logam itu sudah tidak laku dan tidak akan ada
lagi toko atau penjual lain yang mau menerimanya- bahkan tidak juga dengan
lembaga resmi penyimpanan uang milik pemerintah bernama BANK, Bank A*** atau
pun B** yang berkantor di daerah tempat saya tinggal.
Dengan muka kecut saya mengatakan bahwa saya
tidak memiliki uang selain itu untuk menggenapi pembelian saya dan saya
terpaksa memecahkan uang puluhan ribu saya demi membayar segelas bubur. Itu lah
sepenggal pengalaman saya, jika ada yang bertanya apa yang saya rasakan ketika
itu, saya akan langsung menjawab, "apakah saya termasukashabul kahfi yaitu
pemuda yang ditidurkan oleh Allah di dalam gua selama ratusan tahun dan
kemudian dibangunkan kembali oleh Allah dan ketika menuju pasar mereka baru
menyadari bahwa mereka telah tertidur selama ratusan tahun karena uang yang
mereka miliki sudah tidak laku lagi".
Oke mungkin sedikit berlebihan, tapi apakah
benar tindakan para pegawai Bank milik pemerintah tersebut karena mengatakan
mereka tidak mau menerima penukaran uang logam dari masyarakat. Jika pun memang
kantor cabang Bank tersebut belum memiliki alat untuk menghitung koin atau uang
logam sebaiknya katakan dan berikan masyarakat penjelasan bukan melakukan
pembohongan seperti ini. Mereka dengan enteng mengatakan mereka tidak menerima
penukaran uang logam, hal tersebut pasti dipahami oleh masyarakat bahwa uang
logam sudah tidak laku lagi, buktinya Bank pemerintah pun sudah tidak mau lagi
menerima penukaran uang logam.
Sekarang siapa yang harus dipersalahkan, uang
logam? masyarakat? atau pihak Bank? demi perdamaian yang sama-sama kita junjung
tinggi mungkin persalahkan saja saya yang sangat mencintai uang logam dan masih
setia menggunakannya untuk berbelanja, membayar parkir, bahkan membayar jasa
seorang bahkan puluhan pengamen di jalanan yang sangat membutuhkan uang bahkan
walaupun itu berbentuk logam tentu saja saya lakukan di kota lain, tempat yang
lebih ramah terhadap uang logam, tempat dimana sementara ini jadi tempat saya
belajar menghargai uang logam. Karena uang tetaplah uang yang dapat
dipergunakan sebagai alat jual beli. Hidup uang logam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar