Translate

Sabtu, 05 Oktober 2013

Drama Uang bernama Logam (Cerita Hidup Sebuah Uang Logam)


Berbicara soal koin maka ada banyak hal yang menarik perhatianku sebagai pecinta koin. Sebagai generasi 90-an tentu kita sudah berteman akrab dengan koin karena koin adalah uang dalam bentuk logam yang diberikan oleh orang tua kita ketika bersekolah, apalagi kalau bukan untuk jajan di kantin. Uang Rp.200  kala itu sudah sangat luar biasa bahkan semenjak saya dibelikan celengan atau tabungan berbentuk ayam jantan saya mulai menabung Rp.50 hingga Rp.100 setiap harinya, menunggu dengan sabar setiap harinya hingga tabungan penuh dan dapat dibelikan benda-benda yang sangat saya inginkan. 

Perkembangan koin mungkin terlalu pesat sehingga saya abai atau terlambat menyadari sejak kapan koin sudah tidak dapat digunakan sebagai alat jual beli di daerah saya tinggal. Ohiya, saya mungkin belum mengatakan dengan gamblang, saya tinggal disebuah desa yang tidak jauh dari kota kecamatan di pantai barat Aceh. Koin disini dipandang sangat rendah, mungkin jika dia dapat menangis dia akan menangis sekeras-kerasnya. Jika di daerah lain dia masih dipandang bahkan dimuliakan sebagaimana seharusnya sebuah mata uang terbitan pemerintah, lain halnya di kecamatan ini oh saya mungkin kurang peka mungkin saja di provinsi ini. Tapi mari kita bicarakan lingkup yang lebih saya mengerti saja. 




Di daerah tempat saya tinggal, saya pernah mendengar desas desus bahwa uang sejenis koin tidak akan diterima lagi sebagai bentuk pembayaran atau bahasa kerennya sudah tidak laku lagi. Terang saja ketika itu saya hanya tersenyum dan heran, loh kok bisa? bukannya kita masih tinggal dan hidup di Indonesia ya?. Namun setelah saya mengalami sendiri pengalaman tertolak ketika ingin membayar segelas bubur yang saya beli dengan pecahan logam Rp.500 dua biji, si ibu penjual langsung-dengan setengah histeris- mengatakan bahwa uang logam itu sudah tidak laku dan tidak akan ada lagi toko atau penjual lain yang mau menerimanya- bahkan tidak juga dengan lembaga resmi penyimpanan uang milik pemerintah bernama BANK, Bank A*** atau pun B** yang berkantor di daerah tempat saya tinggal.
 
Dengan muka kecut saya mengatakan bahwa saya tidak memiliki uang selain itu untuk menggenapi pembelian saya dan saya terpaksa memecahkan uang puluhan ribu saya demi membayar segelas bubur. Itu lah sepenggal pengalaman saya, jika ada yang bertanya apa yang saya rasakan ketika itu, saya akan langsung menjawab, "apakah saya termasukashabul kahfi yaitu pemuda yang ditidurkan oleh Allah di dalam gua selama ratusan tahun dan kemudian dibangunkan kembali oleh Allah dan ketika menuju pasar mereka baru menyadari bahwa mereka telah tertidur selama ratusan tahun karena uang yang mereka miliki sudah tidak laku lagi".

Oke mungkin sedikit berlebihan, tapi apakah benar tindakan para pegawai Bank milik pemerintah tersebut karena mengatakan mereka tidak mau menerima penukaran uang logam dari masyarakat. Jika pun memang kantor cabang Bank tersebut belum memiliki alat untuk menghitung koin atau uang logam sebaiknya katakan dan berikan masyarakat penjelasan bukan melakukan pembohongan seperti ini. Mereka dengan enteng mengatakan mereka tidak menerima penukaran uang logam, hal tersebut pasti dipahami oleh masyarakat bahwa uang logam sudah tidak laku lagi, buktinya Bank pemerintah pun sudah tidak mau lagi menerima penukaran uang logam.

Sekarang siapa yang harus dipersalahkan, uang logam? masyarakat? atau pihak Bank? demi perdamaian yang sama-sama kita junjung tinggi mungkin persalahkan saja saya yang sangat mencintai uang logam dan masih setia menggunakannya untuk berbelanja, membayar parkir, bahkan membayar jasa seorang bahkan puluhan pengamen di jalanan yang sangat membutuhkan uang bahkan walaupun itu berbentuk logam tentu saja saya lakukan di kota lain, tempat yang lebih ramah terhadap uang logam, tempat dimana sementara ini jadi tempat saya belajar menghargai uang logam. Karena uang tetaplah uang yang dapat dipergunakan sebagai alat jual beli. Hidup uang logam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar