Translate

Kamis, 27 Juni 2013

Monokulturalisme dalam Birokrasi


            Konsep Monokulturalisme
            Konsep monokulturalisme seperti diungkapkan oleh Kymlicka berangkat dari asumsi bahwa perbedaan itu adalah pemicu terjadinya konflik dan perpecahan, oleh karena itu seminimal mungkin perbedaan harus dihilangkan dengan cara menutup peluang terjadinya perbedaan dengan melakukan penyeragaman di dalam suatu komunitas atau kelompok misalnya, dan bila terjadi perlawanan dari sekelompok kecil komunitas maka solusi paling ideal adalah mengeluarkan mereka dari komunitas agar keutuhan tetap dapat terjaga.
Monokulturalisme berasal dari kata; mono (satu/seragam/tunggal) dan cultural (budaya atau kebudayaan), dan isme (paham) yang secara etimologi berarti paham budaya tunggal sehingga pada satu wilayah geografis tertentu hanya ada satu budaya yang dianut. Hal ini juga bermaksud tidak mengakui adanya keragaman dan menginginkan keseragaman. Seorang dikatakan monokulturalisme dilihat dari sejauh mana individu tersebut memegang nilai dari salah satu variabel budaya.
Monokulturalisme merupakan sebuah idelogi atau konsep yang memiliki kehendak akan adanya penyatuan kebudayaan (homogentitas). Dalam monokulturalisme, ditandai adanya proses asimilasi, yakni percampuran dua kebudayaan atau lebih untuk membentuk kebudayaan baru. Sebagai sebuah ideologi, monokulturalisme dibeberapa negara dijadikan landasan kebijakan dan atau strategi pemerintah menyangkut kebudayaan dan sistem negara. 
Birokrasi : Bentuk Rational Organisasi     
Berbicara mengenai birokrasi sering kali kita merujuk pada konsep Max Weber,  birokrasi ala weberian ini cukup populer dengan sebutan birokrasi ideal dan rasional. Beberapa kharakter khusus dari birokrasi weberian ini antara lain : Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya. Kedua,  jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya. Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak. Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian yang kompetitif. Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu. Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif. Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Kesembilan, setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin (Martin Albrow, 1996: 33) dan (Miftah Toha, 2002: 16-17)
  1. Monokulturalisme dalam birokrasi
Konsep monokulturalisme yang mengutamakan keseragaman sejatinya hampir mirip dengan konsep birokrasi yang disampaikan Weber. Sebuah  birokrasi menurut Weber para anggota adalah individu yang bebas namun disisi lain mereka terikat oleh peraturan-peraturan yang membatasi kebebasan mereka. Weber juga menyinggung tentang kontrak jabatan yang harus dijalankan oleh setiap individu yang masuk ke dalam organisasi tertentu. Sehingga individu yang telah memasuki organisasi tidak bisa menentang aturan yang ada termasuk tentang penyeragaman yang biasanya terjadi di dalam organisasi.
Monokulturalisme dalam organisasi mengandaikan adanya penyeragaman untuk menciptakan semangat identitas bersama sehingga perbedaan telah terlebih dahulu diminimalisir ketika proses rekrutmen atau penerimaan anggota baru dan apabila terdapat anggota yang berbeda (biasanya minoritas) di dalam sebuah organisasi menurut konsep monokulturalisme anggota tersebut harus ditertibkan dengan cara peringatan, dikucilkan, bahkan dikeluarkan dari organisasi.
Konsepsi Hegemoni dan Negara Sekuler
            Teori hegemoni dalam jagad teori ilmu politik secara eksplisit diperkenalkan oleh Antonio Gramsci sebagai penjelasan atas teori kelas Marxisme. Dalam teori kelas Marxis, disebutkan bahwa formasi masyarakat kapitalis itu terdiri dari dua kelas, yaitu kelas memiliki kekuasaan “dominasi” dan kelas “sub-ordinasi” (Arif Budiman, 1996). Kelas yang dianggap memiliki kekuasaan “dominasi” adalah kelas borjuis atau pemilik alat produksi. Sedangkan kelas yang dianggap “sub-ordinasi” adalah kelas proletar atau buruh. Eksistensi kelas borjuis Menurut faham marxisme dianggap mengeksploitasi kelas proletar dimana mereka bekerja untuk kelas borjuis sehingga kepemilikan modal dikuasai oleh kelas borjuis, sedangkan kelas proletar selamanya akan menjadi kelas buruh. Untuk memutus adanya dominasi kelas borjuis terhadap kelas proletar, maka dibutuhkan gerakan perlawanan fisik melalui revolusi sehingga menghasilkan formasi masyarakat tanpa kelas. Teori ini cukup berhasil mempengaruhi gerakan revolusi kaum buruh di Eropa Timur seperti Uni Soviet. Meskipun begitu, gerakan perlawanan kaum buruh terhadap kaum borjuis di Eropa Barat seperti Inggris cenderung gagal. Kegagalan inilah yang menjadi titik tolak teori hegemoni Gramsci dalam menjelaskan kegagalan revolusi kaum buruh di Inggris disebebkan karena adanya hegemoni kapitalisme melalui suprastrktur idiologi didalam kepemimpinan masyarakat sipil (Nezar Patria, 1999).
            Konsepsi tentang hegemoni Gramsci merupakan sebuah kekuasaan dominasi antara satu kelompok yang “berkuasa” dengan kelompok yang “dikuasai”. Dalam menjelaskan kekuasaan dominasi, Gramsci membedakan dominasi menjadi dua bentuk, yaitu dominasi langsung dan dominasi secara tidak langsung. Dominasi langsung diekspresikan melalui negara dan pemerintahan yuridis yang sifat mengikat dan memaksa. Sedangkan dominasi tidak langsung diekspresikan melalui kepemimpinan moral di masyarakat sipil. Kedua saluran dominasi tersebut dibingkai dalam satu konsepsi tentang negara, yaitu apa yang disebut oleh Gramsci sebagai “negara integral” . Tentu konsep negara integral ini dapat dibedakan dengan konsep totalitarianisme, karena dalam negara integral terdapat “kesukarelaan” yang tentunya tidak ada dalam konsep totalitarianisme. Di dalam konsep negara integral, diasumsikan adanya sebuah kesepakatan yang didasarkan atas seperangkat gagasan dan nilai, suatu falsafah bersama yang dimiliki oleh sebagian besar orang berdasarkan persetujuan yang aktif dan diberikan secara bebas (Robert Bocock, 2007). Dalam konteks pewajiban dan pelarangan jilbab bagi polwan, persetujuan yang aktif dilakukan sejak proses rekruitmen ditingkat taruni saat menjalani masa pembinaan di Akadimi Kepolisian dengan basis pengetahuan bahwa seragam dinas taruni tidak ada jilbab (selain konteks Aceh).
            Meskipun konsepsi negara hegemoni gramsci diproduksi dalam konteks dominasi kelas burjuis atas kelas proletar dalam negara kapitalis, namun secara intrisik teori dominasinya juga bisa dijadikan sebagai instrumen dalam membaca dominasi kelompok sekuler atas kelompok agama dalam sebuah aparatur negara. Konsepsi tentang negara sekuler sebenarnya telah inheren didalam konsep negara modern dimana agama bukan lagi menjadi persoalan publik yang menjadi urusan negara, melainkan agama adalah persoalan privat yang menjadi urusan individu. Penerapan negara sekuler menjadi sangat beragam tergantung sejauh mana pengaruh idiologi “sekularisme” berkembang didalam suatu negara. Dalam perkembangannya, sekularisme diartikan sebagai bentuk penolakan terhadap transendensi. Dalam paham sekularisme, seseorang melihat agama sebagai sesuatu yang asing, dan Tuhan dianggap sebagai pengahalang. Hal ini dasarkan atas penolakan mitologi gereja dalam sejarah Eropa yang dianggap bertentangan dengan perkembangan pengetahuan dan sains. Oleh karena itu, ada semangat yang muncul untuk membentuk sebuah sistem nilai dan kepercayaan yang baru, yang tidak didasarkan lagi atas agama-wahyu, yaitu sebuah sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Pardoyo, 1993).
            Negara sekuler ketika dibaca dengan menggunakan pendekatan hegemoni gramsci tentang dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain, maka negara sekuler dapat dibagi menjadi tiga tingkatan sesuai dengan tingkatan hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci. Ada tiga tingkatan hegemoni menurut Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decadent) dan hegemoni yang minimum (Nezar Patria, 1999). Pertama, hegemoni total (integral) ditandai dengan afiliasi masa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organisasi antara pemerintah dan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Kedua, hegemoni yang merosot (decadent) ditandai dengan adanya tantangan berat terhadap dominasi ekonomi borjuis. Meskipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan, namun mentalitas massa tidak selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni. Ketiga, hegemoni minimum (minimal hegemony) merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibanding dua bentuk sebelumnya. Hegemoni dalam tingkatan ini dominasi hanya didasarkan atas kesatuan idiologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual. Kelompok borjuis cenderung mempertahankan dominasinya melalui tranformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial, maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan “negara baru” yang dicita-citakan oleh kelompok hegemonis (sub-ordinasi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar