Translate

Minggu, 30 Juni 2013

Be Woman


Wanita...
Betapa mudahnya menjadi wanita khusunya dalam fase mini yaitu ketika menjadi gadis kecil. Bagaimana tidak, perhatian seluruh keluarga akan tercurah padamu, sebandel apapun kamu, hal itu tetap akan terlihat menggemaskan di mata keluargamu khususnya ayah.

Ketika kamu mengamuk, kesal, dan membanting semua barang yang ada. Siapa yang akan marah? Tidak ada. Ibu ataupun ayah hanya akan tersenyum sambil sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya sembari keheranan akan kelakuan gadis kecilnya yang lucu. Pun ketika gadis kecil itu berteriak di pasar bahkan menangis ketika meminta untuk dibelikan sebuah boneka, ayah hanya dapat terpana dan segera membelikan boneka itu, atau paling tidak akan berusaha menenangkan dengan sabar.

Memasuki usia sekolah, gadis kecil itu akan semakin "bertingkah" dengan tuntutan ini itu terkait urusan baju dan rambut yang belum ditata setiap pagi, tapi itu bukan masalah untuk kesabaranmu yang menggunung. Belum lagi yang tak kalah penting adalah urusan peralatan sekolah yang harus dengan bentuk dan warna yang bagus atau jika tidak gadis kecil itu akan uring-uringan seharian.

Wanita...
Ketika menginjak masa dewasa, lihatlah bagaimana aturan, mulai dari norma sosial, masyarakat, bahkan aturan dalam rumah sendiri ibarat gulungan benang merah yang sangat banyak dan saling silang mengikat kaki gadis dewasa. Setiap ikatannya membatasi langkah dan sikap yang harus ditunjukkan oleh wanita. Bisa dikatakan semua menjadi tidak boleh.


Tidak ada lagi ibu dan ayah yang pengertian dan serba memaklumi, karena ketika dewasa sang wanita harus mulai belajar memaklumi, sebuah pergantian peran. Setiap melangkah harus mengingat wibawa keluarga, setiap berkata, harus mengingat marwah keluarga. Begitu pun ketika wanita itu jatuh cinta atau bahkan patah hati. Dia tetap harus menjaga nama baik keluarga. Sikap dan perilakunya menjadi indikator kehormatan sebuah keluara.Tetap tersenyum meskipun hati sakit, tetap tertawa meski batin menangis...Karena begitu lah wanita terhormat seharusnya bersikap. Selalu harus begitu.

Tulisan ini hadir karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki seorang wanita dan kerinduan untuk menjadi gadis kecil yang tanpa batasan.

Miranda Lambert : Mama's Broken Heart

I cut my bangs with some rusty kitchen scissors
I screamed his name ‘til the neighbors called the cops
I numbed the pain at the expense of my liver
Don’t know what I did next all I know, I couldn’t stop

Word got around to the barflies and the baptists
My mama’s phone started ringin’ off the hook
I can hear her now sayin’ she ain’t gonna have it
Don’t matter how you feel, it only matters how you look

Go and fix your make up, girl, it’s just a break up
Run and hide your crazy and start actin’ like a lady
'Cause I raised you better, gotta keep it together
Even when you fall apart
This ain’t my mama’s broken heart

I wish I could be just a little less dramatic
Like a Kennedy when Camelot went down in flames
Leave it to me to be holdin’ the matches
When the fire trucks show up and there’s nobody else to blame

Can’t get revenge and keep a spotless reputation
Sometimes revenge is a choice you gotta make
My mama came from a softer generation
Where you get a grip and bite your lip just to save a little face

Go and fix your make up, girl, it’s just a break up
Run and hide your crazy and start actin’ like a lady
'Cause I raised you better, gotta keep it together
Even when you fall apart
This ain’t my mama’s broken heart

Powder your nose, paint your toes
Line your lips and keep 'em closed
Cross your legs, dot your I’s
And never let 'em see you cry

Go and fix your make up, well it’s just a break up
Run and hide your crazy and start actin’ like a lady
'Cause I raised you better, gotta keep it together
Even when you fall apart
This ain’t my mama’s broken heart

Source: http://www.lagubestbest.com/2013/01/mamas-broken-heart-miranda-lambert.html#ixzz2XiM11yYc
Katanya...kamu belum ke Jogja kalau belum mengunjungi keraton kesultanan ngayogyakarta yang legendaris. Tapi ternyata saya baru berkesempatan mengunjunginya setelah hampir setahun tinggal di kota gudeg ini. Sebagian karena kesibukan dan hal lain mungkin karena "belum" dipaksa keadaan untuk kesana. Pada suatu hari di bulan Januari saya akhirnya mengunjungi keraton.


Sabtu, 29 Juni 2013

Dia lagi


Dia lagi!
Berulang kali dia datang dan pergi, tapi kini dia datang lagi. Semua orang tahu siapa dia, don juan yang selalu berkelana dan jumawa bahwa dia lah sang penakluk itu, semua wanita akan terpikat padanya. Tapi mungkin orang-orang lupa bahwa aku lebih tahu siapa dia sebenarnya, bahwa aku telah lama mengamatinya, meski dalam diam.
Dia lagi!

Cukup sebulan pengamatanku berakhir pada beberapa fase hubungan dengannya sang don juan: penasaran, (hampir) jatuh hati, lalu membenci. Mungkin ini siklus “rasa” paling tidak normal yang pernah aku alami. Terlalu cepat menilai, merasakan, dan memutuskan bahwa aku salah dan dia adalah pria terakhir yang “tidak” akan aku pilih di dunia ini. aku cukup sadar di detik-detik kejatuhanku bahwa dia tidak cukup layak untuk dikatakan “pria”. Lihatlah pria macam apa yang mencampakkan wanita  dengan satu kibasan tangan, dan pria macam apa yang tega memberi ketidakpastian bertahun-tahun pada wanita yang sama. Semoga Tuhan menghukumnya.

Dia lagi!

Kedatangannya di tiap-tiap malam gersang menjadikanku biasa, mungkin juga bagi mereka (para wanita) korban dia selama ini. keterikatan dengan dia terlalu biasa untuk dikatakan biasa karena sesungguhnya biasa itu tidak terlihat sebiasa tampaknya. Dia datang menawarkan dingin air. Lalu siapa yang akan menolak ketika mereka (para wanita) terjebak di tepian panasnya neraka. Mereka pasti pasrah, menyerah, dan kalah pada dia yang datang dengan tangan penuh cinta itu.

Harapan..
Harapan…
Masih harapan yang dia taburkan…
Mungkin belum cukup untuk dia
Mungkin belum tuntas penasarannya

Ada baiknya dia datang lagi disini! Sudah seharusnya kita berduel dan saling mengalahkan  disini biar sama-sama kalah. Sebenarnya biar dia yang kalah. Dan aku akan bersembunyi, ketakutan setengah mati. Tapi kini dia lagi! Memandangku dari mata mematikannya itu. “Kuatkan dirimu, jangan terjerembab lagi dan membuatmu malu”. Biarkan dia menyangka jika kau kalah, padahal kau sedang mempermainkannya, bahwa kau sebenarnya sedang bermain diatas kelemahannya.

Sang don juan pun harus menyerah akhirnya, tapi tidak sekarang, mungkin ketika jam-jam ini mulai memilih untuk berhenti berdetak, karena aku akan membuatnya berhenti. Itu pasti!

Kamis, 27 Juni 2013

Monokulturalisme dalam Birokrasi


            Konsep Monokulturalisme
            Konsep monokulturalisme seperti diungkapkan oleh Kymlicka berangkat dari asumsi bahwa perbedaan itu adalah pemicu terjadinya konflik dan perpecahan, oleh karena itu seminimal mungkin perbedaan harus dihilangkan dengan cara menutup peluang terjadinya perbedaan dengan melakukan penyeragaman di dalam suatu komunitas atau kelompok misalnya, dan bila terjadi perlawanan dari sekelompok kecil komunitas maka solusi paling ideal adalah mengeluarkan mereka dari komunitas agar keutuhan tetap dapat terjaga.
Monokulturalisme berasal dari kata; mono (satu/seragam/tunggal) dan cultural (budaya atau kebudayaan), dan isme (paham) yang secara etimologi berarti paham budaya tunggal sehingga pada satu wilayah geografis tertentu hanya ada satu budaya yang dianut. Hal ini juga bermaksud tidak mengakui adanya keragaman dan menginginkan keseragaman. Seorang dikatakan monokulturalisme dilihat dari sejauh mana individu tersebut memegang nilai dari salah satu variabel budaya.
Monokulturalisme merupakan sebuah idelogi atau konsep yang memiliki kehendak akan adanya penyatuan kebudayaan (homogentitas). Dalam monokulturalisme, ditandai adanya proses asimilasi, yakni percampuran dua kebudayaan atau lebih untuk membentuk kebudayaan baru. Sebagai sebuah ideologi, monokulturalisme dibeberapa negara dijadikan landasan kebijakan dan atau strategi pemerintah menyangkut kebudayaan dan sistem negara. 
Birokrasi : Bentuk Rational Organisasi     
Berbicara mengenai birokrasi sering kali kita merujuk pada konsep Max Weber,  birokrasi ala weberian ini cukup populer dengan sebutan birokrasi ideal dan rasional. Beberapa kharakter khusus dari birokrasi weberian ini antara lain : Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya. Kedua,  jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya. Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak. Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian yang kompetitif. Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu. Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif. Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Kesembilan, setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin (Martin Albrow, 1996: 33) dan (Miftah Toha, 2002: 16-17)
  1. Monokulturalisme dalam birokrasi
Konsep monokulturalisme yang mengutamakan keseragaman sejatinya hampir mirip dengan konsep birokrasi yang disampaikan Weber. Sebuah  birokrasi menurut Weber para anggota adalah individu yang bebas namun disisi lain mereka terikat oleh peraturan-peraturan yang membatasi kebebasan mereka. Weber juga menyinggung tentang kontrak jabatan yang harus dijalankan oleh setiap individu yang masuk ke dalam organisasi tertentu. Sehingga individu yang telah memasuki organisasi tidak bisa menentang aturan yang ada termasuk tentang penyeragaman yang biasanya terjadi di dalam organisasi.
Monokulturalisme dalam organisasi mengandaikan adanya penyeragaman untuk menciptakan semangat identitas bersama sehingga perbedaan telah terlebih dahulu diminimalisir ketika proses rekrutmen atau penerimaan anggota baru dan apabila terdapat anggota yang berbeda (biasanya minoritas) di dalam sebuah organisasi menurut konsep monokulturalisme anggota tersebut harus ditertibkan dengan cara peringatan, dikucilkan, bahkan dikeluarkan dari organisasi.
Konsepsi Hegemoni dan Negara Sekuler
            Teori hegemoni dalam jagad teori ilmu politik secara eksplisit diperkenalkan oleh Antonio Gramsci sebagai penjelasan atas teori kelas Marxisme. Dalam teori kelas Marxis, disebutkan bahwa formasi masyarakat kapitalis itu terdiri dari dua kelas, yaitu kelas memiliki kekuasaan “dominasi” dan kelas “sub-ordinasi” (Arif Budiman, 1996). Kelas yang dianggap memiliki kekuasaan “dominasi” adalah kelas borjuis atau pemilik alat produksi. Sedangkan kelas yang dianggap “sub-ordinasi” adalah kelas proletar atau buruh. Eksistensi kelas borjuis Menurut faham marxisme dianggap mengeksploitasi kelas proletar dimana mereka bekerja untuk kelas borjuis sehingga kepemilikan modal dikuasai oleh kelas borjuis, sedangkan kelas proletar selamanya akan menjadi kelas buruh. Untuk memutus adanya dominasi kelas borjuis terhadap kelas proletar, maka dibutuhkan gerakan perlawanan fisik melalui revolusi sehingga menghasilkan formasi masyarakat tanpa kelas. Teori ini cukup berhasil mempengaruhi gerakan revolusi kaum buruh di Eropa Timur seperti Uni Soviet. Meskipun begitu, gerakan perlawanan kaum buruh terhadap kaum borjuis di Eropa Barat seperti Inggris cenderung gagal. Kegagalan inilah yang menjadi titik tolak teori hegemoni Gramsci dalam menjelaskan kegagalan revolusi kaum buruh di Inggris disebebkan karena adanya hegemoni kapitalisme melalui suprastrktur idiologi didalam kepemimpinan masyarakat sipil (Nezar Patria, 1999).
            Konsepsi tentang hegemoni Gramsci merupakan sebuah kekuasaan dominasi antara satu kelompok yang “berkuasa” dengan kelompok yang “dikuasai”. Dalam menjelaskan kekuasaan dominasi, Gramsci membedakan dominasi menjadi dua bentuk, yaitu dominasi langsung dan dominasi secara tidak langsung. Dominasi langsung diekspresikan melalui negara dan pemerintahan yuridis yang sifat mengikat dan memaksa. Sedangkan dominasi tidak langsung diekspresikan melalui kepemimpinan moral di masyarakat sipil. Kedua saluran dominasi tersebut dibingkai dalam satu konsepsi tentang negara, yaitu apa yang disebut oleh Gramsci sebagai “negara integral” . Tentu konsep negara integral ini dapat dibedakan dengan konsep totalitarianisme, karena dalam negara integral terdapat “kesukarelaan” yang tentunya tidak ada dalam konsep totalitarianisme. Di dalam konsep negara integral, diasumsikan adanya sebuah kesepakatan yang didasarkan atas seperangkat gagasan dan nilai, suatu falsafah bersama yang dimiliki oleh sebagian besar orang berdasarkan persetujuan yang aktif dan diberikan secara bebas (Robert Bocock, 2007). Dalam konteks pewajiban dan pelarangan jilbab bagi polwan, persetujuan yang aktif dilakukan sejak proses rekruitmen ditingkat taruni saat menjalani masa pembinaan di Akadimi Kepolisian dengan basis pengetahuan bahwa seragam dinas taruni tidak ada jilbab (selain konteks Aceh).
            Meskipun konsepsi negara hegemoni gramsci diproduksi dalam konteks dominasi kelas burjuis atas kelas proletar dalam negara kapitalis, namun secara intrisik teori dominasinya juga bisa dijadikan sebagai instrumen dalam membaca dominasi kelompok sekuler atas kelompok agama dalam sebuah aparatur negara. Konsepsi tentang negara sekuler sebenarnya telah inheren didalam konsep negara modern dimana agama bukan lagi menjadi persoalan publik yang menjadi urusan negara, melainkan agama adalah persoalan privat yang menjadi urusan individu. Penerapan negara sekuler menjadi sangat beragam tergantung sejauh mana pengaruh idiologi “sekularisme” berkembang didalam suatu negara. Dalam perkembangannya, sekularisme diartikan sebagai bentuk penolakan terhadap transendensi. Dalam paham sekularisme, seseorang melihat agama sebagai sesuatu yang asing, dan Tuhan dianggap sebagai pengahalang. Hal ini dasarkan atas penolakan mitologi gereja dalam sejarah Eropa yang dianggap bertentangan dengan perkembangan pengetahuan dan sains. Oleh karena itu, ada semangat yang muncul untuk membentuk sebuah sistem nilai dan kepercayaan yang baru, yang tidak didasarkan lagi atas agama-wahyu, yaitu sebuah sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Pardoyo, 1993).
            Negara sekuler ketika dibaca dengan menggunakan pendekatan hegemoni gramsci tentang dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain, maka negara sekuler dapat dibagi menjadi tiga tingkatan sesuai dengan tingkatan hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci. Ada tiga tingkatan hegemoni menurut Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decadent) dan hegemoni yang minimum (Nezar Patria, 1999). Pertama, hegemoni total (integral) ditandai dengan afiliasi masa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organisasi antara pemerintah dan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Kedua, hegemoni yang merosot (decadent) ditandai dengan adanya tantangan berat terhadap dominasi ekonomi borjuis. Meskipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan, namun mentalitas massa tidak selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni. Ketiga, hegemoni minimum (minimal hegemony) merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibanding dua bentuk sebelumnya. Hegemoni dalam tingkatan ini dominasi hanya didasarkan atas kesatuan idiologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual. Kelompok borjuis cenderung mempertahankan dominasinya melalui tranformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial, maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan “negara baru” yang dicita-citakan oleh kelompok hegemonis (sub-ordinasi)

Rabu, 26 Juni 2013

Kewajiban Polwan Berjilbab di Aceh : Sebuah Hegemoni Agamakah?

Dalam konsep monokulturalisme, sebuah negara akan bertindak seperti yang terjadi di lembaga kepolisian baik di Aceh maupun di luar Aceh. Melalui monokulturalisme akan diciptakan integrasi politik antar anggota komunitas sehingga tercipta budaya bersama, dan budaya bersama ini yang akhirnya akan digunakan sebagai identitas bersama oleh komunitas. Kesatuan polisi wanita sebelum mendaftar menjadi polwan telah terlebih dahulu mengetahui peraturan-peraturan yang ada termasuk peraturan mengenai seragam yang akan digunakan ketika bertugas dalam kesatuan. Dalam tahap ini berbagai perbedaan akan dilebur menjadi satu, artinya hanya individu-individu yang menyetujui kesepakatan yang akan diterima dan selanjutnya dididik untuk menjadi polwan, dengan kata lain sejak masa rekrutmen penyeragaman telah dilakukan dan yang selanjutnya terjadi adalah minoritas melebur ke dalam mayoritas demi tercapainya budaya nasional (dalam hal ini budaya sekuler) atau budaya religius di Aceh.

Seragam adalah salah satu cara negara melakukan hegemoni yang menurut Gramsci  (1999) dapat dilakukan melalui peraturan tertulis sebagai dominasi langsung maupun tanpa peraturan namun melalui nilai-nilai, falsafah, dan pandangan bersama yang dikembangkan oleh mayoritas individu dalam kelompok dan selanjutnya dijadikan budaya bersama yang harus diamalkan. Masih menurut Gramsci kekuasaan adalah dominasi antara satu kelompok yang “berkuasa” dengan kelompok yang “dikuasai”. Berbicara mengenai kasus seragam bagi polwan yang tidak mengatur mengenai penggunaan hijab (kerudung) dan kewajiban menggunakan hijab khusus di Aceh dapat dilihat sebagai upaya negara untuk melakukan penyeragaman, dan penyeragaman adalah tujuan dari monokulturalisme dimana tidak ada budaya yang saling bersaing semua budaya telah menyatu akibat pelebura dari budaya minoritas. 

Berbicara mengenai Aceh berarti juga berbicara mengenai syariat Islam yang berlaku di Aceh. Formalisasi agama dalam kehidupan bernegara telah menjadikan Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menggunakan dan memasukkan unsur-unsur agama dalam pemerintahan, misalnya terbitnya qanun-qanun (peraturan daerah) yang mengatur tentang pakaian yang dibolehkan dan dilarang untuk digunakan di Aceh, larangan duduk berduaan laki-laki dan perempuan yang belum menikah (qanun tentang khalwat), dan qanun-qanun lainnya yang semuanya bersumber dari ajaran agama Islam.  Sehingga apabila dilanggar atau tidak dipatuhi akan dikenakan sanksi. Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten atau Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam dan bagi yang memeluk selain agaman Islam tapi bertempat tinggal atau berada di provinsi Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam yang berlaku. 

Pelaksanaan syariat Islam di Aceh ini akhirnya menjadikan kesatuan kepolisian wanita di Aceh berbeda dengan provinsi lainnya dalam hal seragam yang digunakan. Aturan hijab bagi polwan muslim hanya ada di Aceh. Itu pun bukan berasal dari aturan internal kepolisian, melainkan mengikuti aturan yang dibuat Pemerintah Provinsi Aceh melalui Qanun nomor 11 Pasal 13 Tahun 2002 mengenai peraturan berbusana yaitu laurat laki-laki dari lutut hingga ke pusar sedangkan bagi perempuan auratnya adalah seluruh tubuh kecuali wajah serta telapak tangan dan kaki yang tidak tempus pandang dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Saat di berbagai daerah Polri masih melarang penggunaan jilbab bagi Polwan, Aceh justru sebaliknya. Polwan muslim wajib mengenakan jilbab di sana. Hal tersebut terjadi karena peraturan polwan mengenai seragam yang berlaku secara nasional terbentur dengan qanun (peraturan daerah) mengenai pakaian yang pantas digunakan menurut ajaran Islam. Pemberlakuan kebolehan menutup aurat bagi polwan di Aceh dengan diwajibkan polwan di Aceh mengenakan hijab karena aturan (qanun) yang telah ditetapkan di provinsi Aceh. Sesuai syariat Islam yang berlaku di negeri Serambi Makkah tersebut polwan diharuskan berhijab bagi yang Islam karena polwan yang beragama Islam wajib mengikuti hukum Islam di sana (republika.co.id, 08/06/2013).

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri, Kombes Pol Agus Rianto mengatakan:
"Tak ada klausul dalam Skep Kapolri nomor 702 yang melarang Polwan menggunakan jilbab, kita hanya mengatur seragam bagi anggota Polri dan PNS Polri agar tertib, kecuali Polwan yang bertugas di Aceh memang harus pakai jilbab, yang namanya seragam tentunya ada kekhususan sehingga penggunaannya juga diatur agar tidak terkesan tidak tertib  

Pewajiban polwan untuk berjilbab dengan menggunakan kacamata monokultural dapat dilihat sebagai upaya menyeragaman terbatas. Artinya ada usaha penyeragaman yang dilakukan oleh negara dalam hal ini Pemerintah daerah bekerjasama dengan institusi kepolisian wilayah kerja Aceh agar para polisi wanita menggunakan hijab sebagai dampak dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Dengan pandangan bahwa Polwan diwajibkan berhijab untuk memudahkan mereka ketika melakukan pelayanan ke masyarakat. Namun pada dasarnya pewajiban ini sebagai upaya pembentukan budaya bersama melalui peleburan identitas. Karena meskipun beragama Islam tidak semua polisi wanita yang bertugas di Aceh adalah wanita yang menggunakan hijab dalam keseharian, namun sejak pemberlakuan syariat Islam sebagai bentuk formalisasi agama Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh dan diikuti oleh kewajiban mengenai penggunaan seragam tambahan yaitu hijab membuat para polwan harus mematuhi peraturan yang berlaku terutama ketika sedang melaksanakan tugas.

Kondisi polwan terkait penggunaan hijab sebagai tambahan seragam dinas yang berlaku di Aceh sekilas terlihat sangat berlawanan dengan kondisi polwan di provinsi lainnya. Terlebih saat ini isu penggunaan hijab di kalangan polwan terus memanas, banyak kalangan menilai seharusnya polwan diberikan kebebasan untuk menggunakan hijab sebagai hak mereka dalam menjalankan ajaran agama Islam yang mereka anut yaitu menutup aurat. Dukungan terus berdatangan untuk kalangan polwan yang ingin berhijab meskipun dibayang-bayangi oleh isu pemecatan bagi yang tetap memaksa atau berani menggunakan hijab. Isu pemecatan dan teguran keras dari pimpinan kepolisian menurut Kymlicka dapat dilihat sebagai upaya kepolisian untuk menghindari perpecahan atau konflik yang terjadi dalam tubuh institusi, yaitu individu-individu yang berbeda dan tidak mematuhi kesepakatan atau peraturan yang ada harus dikeluarkan dari institusi agar perpecahan tidak terjadi. 

Disisi lain hal yang sekilas terlihat berbeda itu ternyata memiliki kesamaan pola yaitu baik di Aceh maupun di daerah lain, ada usaha dari kepolisian untuk menciptakan keseragaman dengan cara melarang atau mewajibkan penggunaan hijab di kalangan polwan. Melalui polwan kita dapat melihat bagaimana hegemoni barat (sekuler) bekerja dan bagaimana hegemoni agama (Islam) bekerja. Dalam ranah penggunaan seragam bagi polwan. Di Aceh semua polwan Islam diwajibkan untuk menggunakan hijab, mereka tidak diberikan pilihan untuk tidak menggunakan sesuai hak mereka sebagai individu karena mereka harus mematuhi peraturan dalam kesatuan. Begitu pula yang terjadi dalam kesatuan polisi wanita di provinsi selain Aceh, mereka juga tidak memiliki kebebasan untuk menggunakan hijab sebagai bagian dari hak yang mereka miliki untuk menjalankan ajaran agama Islam, hal itu terjadi untuk menciptakan keseragaman dalam kesatuan yang dalam konsep monokulturalisme dilakukan untuk menghindari konflik dalam tubuh kelompok atau organisasi.

Song : Philosophy


Too high....but not really high if you see it from my side...actually i'm climbing potatoes tree without using chair or longest stair
Too low...but not really low if you wanna join me on the water flow
let's flow...
lets go...
actually i wanna grow...
so there is no too high or too low

but there is pain...
when the trees cutting down, and i still on
so maybe we can go around a second...
because...
after all this matter, i will keep my imagination
after all this accident, i'll try it is never happen
 I'm done.
Yogyakarta 2013

Selasa, 25 Juni 2013

Ketika Wanita Tidak Memerlukan Laki-Laki


Buat semua Independent lady

ketika dunia katanya mulai kekurangan sosok laki-laki, begitu laki-laki bangga karena kelangkaan mereka, semua perempuan harusnya mulai khawatir dan mengemis cinta pada mereka
ketika dunia katanya mulai kekurangan laki-laki, begitu laki-laki bangga akan kepunahan mereka, semua perempuan harusnya sabar bila dikhianati dan diduakan
karena ketika dunia katanya mulai kekurangan laki-laki, begitu laki-laki bangga akan minoritasnya, semua perempuan harusnya mulai menurunkan harga dirinya yang selangit dan mengalah di hadapan mereka

begitu banyak laki-laki yang bangga dia langka

bagitu banyak laki-laki yang bangga dia punah

banyak laki-laki yang bangga dia adalah minoritas

namun nyatanya masih ada independent lady yang tidak terpengaruh karena mereka tidak perlu lelaki yang mengkasihani mereka, menatap mereka dengan pandangan”itu” dan mengira mereka adalah weak lady yang menggantungkan mimpi untuk menikah dengan mereka..
andai laki-laki itu tahu, betapa beruntungnya mereka dicintai independent lady yang tidak akan merengek pada mereka minta ini itu, tidak akan mengganggu hobi mereka atau pekerjaan mereka…
andai laki-laki tahu, independent lady hanya perlu cinta, cinta yang tidak dibagi pada wanita lainnya, bukan karena mereka serakah tetapi karena mereka mencintai kemurnian rasa
karena…

sebelah kaki tidak akan sempurna menapak

sebelah tangan tidak akan sempurna merangkul

sebelah hati tidak akan sempurna mencinta

berikan laki-laki itu seutuhnya

Benarkah independent lady tidak perlu laki-laki? Begitu aku bertanya pada bayangan di cermin dan Dia tersenyum…

Inspiring “I dont need a man” MISS A


Senin, 24 Juni 2013

Pernikahan Impian



Wahai wanita yang sedang resah hatinya
Saat ini engkau sedang menunggu belahan jiwa, dan bertambah resah di hati ketika teman sekelas ketika SD-SMP, SMA ataupun universitas, satu persatu mulai mengundangmu di acara pernikahan mereka, sedang kamu masih sendiri, bahkan tanpa seorang pun kandidat yang berpeluang untuk kamu nikahi. Bagi kebanyakan wanita dewasa, pernikahan dianggap sebagai sebuah pencapaian bahkan pembuktian akan kualitas diri, seperti cantik, menarik, mapan, dan pintar, sehingga layak untuk dikejar-kejar oleh para pria, hingga akhirnya memilih salah satu dari pria-pria itu untuk dinikahi. Akibatnya undangan pernikahan bagi seorang yang masih sendiri seumpama penegasan bahwa si wanita penerima undangan adalah sosok yang “tidak diinginkan”. Akibatnya wanita ini akan terus-terusan resah dan mendikte Allah atas ketidakadilan yang dia terima sambil terus berusaha mencari kekurangannya dibanding di pengantin wanita. Hidup memang kadang kejam, begitulah si wanita penerima undangan sering bergumam.

Wahai wanita penerima undangan

      Andai kamu tahu pernikahan itu bukanlah sebuah tropi pertandingan yang diperebutkan, bahkan bukan pula garis finish yang harus kamu kejar dan taklukkan. Pernikahan adalah awal dari kehidupan baru, dengan permasalahan yang lebih multisektoral yang akan menghimpitmu dari utara ke selatan. Karena itu, jangan hadirkan iri di hatimu ketika undangan bertinta emas itu datang menghampirimu, tersenyumlah, berdoalah demi kebaikan temanmu dan pasangan hidupnya, semoga mereka berbahagia dan mampu bekerjasama dalam fase kehidupan mereka yang baru. Hingga nanti tiba giliranmu untuk berbahagia.

         Dan untuk kamu, janganlah resah. Banyaklah meminta pada Allah, dan nikmatilah kesendirian yang ada, anggap kesendirianmu adalah paket liburan yang diberikan Allah untukmu, demi menenangkan hatimu, melapangkan jiwamu, dan menjernihkan pikiranmu. Kesendirianmu adalah sebuah kesempatan bagimu untuk mengaktualisasikan diri dan ketika kamu mencapai fase kemapanan jiwa itu, lihatlah ada pria disana yang dipilihkan Allah untukmu, lengkap dengan paket sabar dan cinta yang tulus darinya. Maka usahlah bebankan hatimu untuk mempertanyakan kuasa yang dimiliki Allah azza wajalla.

Karena maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?